Raja Yogyakarta Memaknai Keberadaan Warga Tionghoa

Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) 2019 resmi dibuka Rabu malam (13/2).
Penampilan Barongsai dari Grup Nagata menandai secara resmi pembukaan PBTY 2019 di Kampung Pecinan Ketandan Yogyakarta, Rabu malam (13/2/2019). Acara berlangsung selama sepekan sampai 19 Februari mendatang. (Foto: Tagar/Ridwan Anshori)

Yogyakarta, (14/2/2019) - Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) 2019 resmi dibuka Rabu malam (13/2). Beragam kesenian maupun seluk beluk tentang Tionghoa ditampilkan selama sepekan penuh sampai 19 Februari mendatang. Acara ini dalam merayakan Tahun Baru Imlek 2570.

Gubernur DIY sekaligus Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X hadir dalam acara itu.  Rasa syukur itu semakin bermakna. Karena kita bisa merasakan suasana kehidupan yang menandai betapa kayanya keragaman suku-suku bangsa yang hidup di taman sarinya Indonesia," kata Sultan.

Menurut Sultan, suasana guyub-rukun ini perlu dihidup-hidupkan menjelang Pilpres yang tinggal 60-an hari. Dalam suhu panasnya perpolitikan ini, harus berhati-hati dalam perkataan dan tindakan, agar tidak disalahartikan yang bisa berakibat renggangnya kohesi sosial pada pasca Pilpres nanti.

"Padahal, bukankah “Indonesia Maju” atau pun “Indonesia Menang” sama-sama ditujukan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia," papar dia.

Raja Keraton yang sudah bertahta  30 tahun ini mengungkapkan, konon dalam kosmologi China, unsur bumi dalam tahun Babi Tanah ini membawa aura kemurahan hati, solidaritas dan soliditas serta instrospeksi diri. Sehingga berpeluang menciptakan kedamaian guna memperkokoh pcrsatuan dan kesatuan. "Kebhinnekaan adalah kekayaan bangsa Indonesia, dan bukan untuk dipertentangkan," tegasnya.

Mirip dengan budaya Tionghoa, kata Sultan, dalam budaya Jawa, elemen tanah sebagai lbu Bumi membawa sifat keibuan, pengasuh dan penyayang serta memberi berkah kedamaian. 

"Karena, hakikat sifat lbu adalah mencerahkan jiwa, merekatkan persaudaraan dan merekahkan harapan," kata Sultan.

Suami dari GKR Hemas ini berharap, sebagai bangsa agar penanda makro kosmos itu bisa dikonversi menjadi kaidah penuntun hidup mikro kosmos dalam kehidupan bermasyarakat-bangsa. Tindak lanjutnya, tidak hanya berhenti memaknainya sekadar pada ajaran kebaikan semata. Namun hendaknya bisa di-bumi-kan menjadi ujaran kebaikan yang menjejukkan bagi sesama anak bangsa.

Menurut Sultan, Pekan Budaya Tionghoa ini dapat menjadi peristirahatan sejenak. Merenungkan kembali membangun semangat kelndonesiaan yang sedang terlanda hawa panas perpolitikan nasional yang berpotensi menjadi disintegrasi sosial.

"Kita telah mengukuhkannya sejak Sumpah Pemuda. Kurun waktu lebih 90 tahun, kiranya cukup untuk mengentalkan suatu identitas kemajemukan budaya. Identitas budaya Tionghoa menjadi salah satu unsur pembentuknya," kata Sultan.

Bapak lima putri ini menjelaskan, awalnya bangsa Tionghoa datang ke Nusantara berabad-abad lalu dari Fujian, Tiongkok Selatan. Kemudian berakulturasi menjadi bangsa Indonesia. Bung Karno, kata Sultan,  dengan bangga menyatakan kepada Ho Chi Minh, Indonesia mengenal banyak “suku” -yang dalam bahasa Jawa artinya “sikil” atau “kaki”. "Itu menandai bangsa Indonesia banyak kakinya. Ada kaki Jawa, kaki Batak,  kaki Sunda, dan kaki peranakan Tionghoa," ujarnya.

Menurut Sultan, pengandaian Bung Karno itu sejalan dengan konsep integrasi. Setiap suku adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia, di mana “kaki-kaki" ini tidak perlu hilang identitasnya. "Suku Batak, Minang, Jawa atau Bugis, tetap bisa melestarikan kebudayaannya. Demikian juga keturunan Tionghoa, asal mereka “menyehatkan” dan “menguatkan” tubuh bangsa Indonesia," paparnya.

Sultan berpendapat, perilaku budaya merupakan perilaku simbolik yang harus dipahami secara kontekstual. Setiap kelompok masyarakat harus memahami makna simbolik perilaku budaya kelompok yang lain. Pemahaman yang sama terhadap perilaku simbolik kelompok yang berbeda, bisa meminimalisasi kesalahpahaman dalam interaksi sosial. "Bahkan mengeliminasi potensi konflik yang bemuansa ras," imbuhnya.

Terakhir, Sultan berpendapat, pasa abad 19 adalah Abad Inggris, dan Abad 20 adalah Abad Amerika. Maka Abad-21 adalah Abad China karena terbukti di berbagai lini ekonomi dan teknologi, China acapkali berada di depan Amerika. "Dalam konteks itu, diharapkan setiap Paguyuban Warga Tionghoa bisa mengembangkan kontak untuk mentransfer kemajuan China guna ikut menguatkan Jogja Istimewa agar semakin maju," jelasnya.

Sementara itu, Ketua Panitia PBTY 2019 Harry Setya Subagyo mengatakan, even PBTY diprakarsai oleh Jogja Chinese Art and Culture Centre (JCACC) yang sudah berlangsung 14 tahun. "PBTY membuahkan hasil yang luar biasa. Karena sudah masuk dalam Pesona Indonesia dan diprogramkan dalam Wonderful Indonesia," katanya.

Menurut dia, PBTY mengedepankan aspek kebudayaan Tionghoa maupun akulturasinya. Even PBTY merupakam yang terlama di Indonesia, berlangsung selama tujuh hari penuh.  

"Berdasarkan pengalaman tahun lalu, dalam sehari tingkat kunjungan bisa mencapai puluhan ribu orang. Tentu ini mendongkrak tingkat kunjungan wisatawan di Yogyakarya," ungkapnya.

Beragam atraksi seni dan budaya dihadirkan dalam PBTY 2019 ini. Antara lain Karnaval Budaya dan Jogja Dragon Festival,  panggung hiburan - pameran budaya, beragam lomba, aneka bazaar dan stand kuliner, Pemilihan Koko dan Cici Jogja 2019 dan lainnya. []

Berita terkait
0
Amerika Desak Israel dan Palestina Redakan Ketegangan
AS ungkapkan keprihatinan pada 27 Juni 2022 atas ketegangan yang "nyata dan berbahaya" yang terjadi antara warga Israel dan Palestina