Pusing! Kontroversi Reklamasi Teluk Jakarta Tunggu Gubernur

Persoalan reklamasi Teluk Jakarta termasuk bikin pusing. Kebijakan pemerintah pusat mengehendaki proyek reklamasi dilanjutkan, sementara Anies menolak.
Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru, Anies Baswedan (kanan) dan Sandiaga Uno (kiri) bersalaman usai berkunjung ke Masjid Sunda Kelapa di Jakarta, Senin (16/10). Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menggelar acara doa bersama para ulama, relawan dan pimpinan partai politik sebelum dilantik di Istana Negara oleh Presiden Joko Widodo. (Foto: Ant/Bernadeta Victoria)

Jakarta, (Tagar 16/10/2017) – Kontroversi reklamasi Teluk Jakarta menunggu penyelesaian Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno, yang dilantik pada Senin (16/10). Persoalan yang diharapkan dapat mereka tuntaskan ini termasuk bikin pusing. Pasalnya, kebijakan pemerintah pusat mengehendaki proyek reklamasi dilanjutkan, sementara Anies menolak.

Sebagaimana diketahui, tahun lalu aktivitas reklamasi Teluk Jakarta dihentikan berdasarkan Moratorium yang dikeluarkan sesuai keputusan Menteri LHK pada tanggal 10 Mei 2016. Surat Moratorium Menteri LHK ini diterbitkan antara lain terkait izin lingkungan, yaitu di material yang ada ternyata melebihi kapasitas.

Selain itu, perusahaan dinilai tak menyampaikan pengamatan maupun pencatatan lapangan tentang tanah mereka dalam laporan pelaksanaan rencana pemantauan lingkungan. Namun saat ini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan telah memastikan, reklamasi Teluk Jakarta dapat terus dilanjutkan setelah moratorium proyek tersebut dicabut menyusul penyelesaian masalah administrasi yang dipenuhi pengembang.

Luhut memaparkan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mencabut sanksi administratif Pulau C, Pulau D dan Pulau G. Pengembang pun telah memenuhi sanksi moratorium dari pemerintah pusat karena masalah analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Atas dasar tersebut, Kemenko Maritim mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Nomor S-78-001/02/Menko/Maritim/X/2017 pada Kamis (5/10). Surat ini mencabut surat keputusan yang dikeluarkan Rizal Ramli, Menko Maritim terdahulu, yang pada 2016 menghentikan sementara pembangunan reklamasi.

Dalam kutipan surat itu disebutkan, penghentian sementara (moratorium) pembangunan Proyek Reklamasi Teluk Jakarta (sebagaimana dalam surat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Nomor : 27.1/Menko/Maritim/IV/2016, tanggal 19 April 2016), dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.

Lebih lanjut, Luhut mengatakan dalam penyelesaian penerapan sanksi tersebut dilibatkan juga pengawasan dan evaluasi dari PT PLN, PT Nusantara Regas, dan PT PHE (Pertamina Hulu Energi). Khusus untuk Pulau G, menurut mantan Menko Polhukam ini, seluruh syarat administratif telah dipenuhi pengembang.

Permintaan PLN kepada pengembang untuk menyelesaikan permasalahan yang mengganggu aliran listrik PLTU Muara Karang juga telah diselesaikan dengan membangun terowongan bawah tanah dan kolam berisi air pendingin yang disalurkan ke PLTU.

Ada pun biaya pembangunan terowongan akan dibebankan kepada pengembang Pulau G, PT Muara Wisesa Samudra yang merupakan anak usaha PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN). Kajian juga telah dilakukan untuk memastikan agar proyek reklamasi tak mengganggu ativitas PLTU Muara Karang dan pipa PHE.

Dengan demikian, Luhut meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat melakukan pengawasan sesuai kewenangannya agar pelaksanaan proyek reklamasi di teluk pantai utara Jakarta bisa dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.

Kontra

Namun, meski pemerintah telah memutuskan demikian, masih saja ada suara yang menolak proses reklamasi di Teluk Jakarta, seperti Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta yang menyatakan, rencana terkait kelanjutan reklamasi di Teluk Jakarta seharusnya menghormati janji Anies Baswedan yang menginginkan untuk menghentikan aktivitas yang bisa merusak lingkungan.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati seperti reklamasi yang sedang digalakkan di sejumlah daerah termasuk di Teluk Jakarta, dinilai merupakan kegiatan yang tidak merawat dan menjaga laut nusantara.

Menurut Susan, reklamasi tidak cocok untuk bangsa Indonesia yang memiliki daerah sangat luas yang seharusnya lebih dioptimalkan ketimbang mengambil jalan pintas dengan mereklamasi.

Pusat Data dan Informasi Kiara 2016 mencatat lebih dari 107.000 keluarga nelayan yang telah merasakan dampak buruk 16 proyek reklamasi yang tersebar di berbagai daerah.

Selain itu, ujar dia, pertambangan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang tersebar di 20 wilayah di Tanah Air juga disebut telah berkontribusi menghilangkan penghidupan warga dan menghancurkan ekologi pesisir.

Sekjen Kiara juga berpendapat agar jangan membandingkan Indonesia dengan Singapura terkait dengan persoalan reklamasi, karena luas Singapura relatif kecil, dan RI memiliki banyak area yang bisa dimanfaatkan dan dikembangkan.

Sementara itu, Ketua Bidang Ekonomi Keuangan, Industri, Teknologi dan Lingkungan Hidup DPP PKS Memed Sosiawan mengemukakan, reklamasi Teluk Jakarta dinilai bakal memperparah kondisi banjir tahunan karena pembuatan 17 pulau di kawasan tersebut berdampak buruk.

Menurut Memed, gubernur baru diharapkan dapat memerhatikan bahaya reklamasi partial terhadap Teluk Jakarta, dan kembali mendalami, mengoreksi serta melanjutkan konsep rencana proyek The National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) dalam rangka meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Memed melihat ada dua isu penting dalam rangka menyelamatkan Jakarta dari bencana yang selalu terjadi, yaitu melindungi Jakarta terhadap datangnya banjir dari laut dan intrusi air laut yang asin ke akuifer air tawar yang dapat mengontaminasi sumber air minum, serta melindungi Jakarta terhadap banjir yang datangnya dari 13 sungai yang bermuara di teluk Jakarta.

Sedangkan Wakil Sekjen DPP PKB Dita Sari menyatakan, program reklamasi di Teluk Jakarta membuat pihak perusahaan swasta seperti yang bergerak di bidang properti dapat mengomersialkan tata ruang yang seharusnya bisa dipergunakan cuma-cuma oleh publik.

Dita juga tidak setuju dengan argumen bahwa reklamasi bermanfaat untuk menambah hunian bagi penduduk Jakarta. Ia membandingkan Jakarta dengan tingkat kepadatan 150 jiwa/ha yang masih lebih lengang dibandingkan dengan Paris (400 jiwa/ha) atau Kopenhagen (600 jiwa/ha).

Solusi

Sedangkan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) merekomendasikan usulan penghentian privatisasi atau swastanisasi air minum merupakan solusi penurunan muka tanah Jakarta sehingga sebenarnya reklamasi dan pembuatan tanggul laut raksasa tidak diperlukan.

"Putusan Mahkamah Agung Nomor 31 K/Pdt/2017 yang memerintahkan penghentian privatisasi atau swastanisasi air minum merupakan jawaban atas masalah penurunan muka tanah di Jakarta yang mencapai 10-12 cm per tahun," kata Ketua Umum KNTI Marthin Hadiwinata.

Menurut Marthin Hadiwinata, hal tersebut bisa terjadi karena privatisasi air minum tersebut memaksa warga Jakarta menggunakan air tanah yang mengakibatkan terjadinya penurunan muka tanah.

Karena itu, ia berpendapat anggapan tanggul laut raksasa sebagai satu-satunya pelindung banjir rob akibat penurunan muka tanah menjadi tidak relevan bagi ibu kota.

Sebab utama penurunan muka tanah, lanjutnya, yaitu pengambilan air tanah bisa dihentikan dengan memastikan akses atas air minum dan air bersih dipenuhi oleh Pemerintah.

Menurut Marthin, berkaca dari pengalaman kota Tokyo tentang penurunan muka tanah dapat dihentikan dengan tidak sama sekali menggunakan air tanah dalam kurun waktu 10 tahun.

Sementara itu, ada pula pihak yang menginginkan reklamasi sebaiknya dimanfaatkan untuk lahan-lahan pengembangan sumber energi baru dan terbarukan.

Hal ini disampaikan oleh Dosen Teknik Pertambangan Universitas Proklamasi 45 M. Sigit Cahyono, yang mengusulkan pemerintah bisa membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya di salah satu pulau tersebut.

Ide menarik lainnya adalah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah sehingga selain menghasilkan listrik dalam jumlah besar, juga mengurangi penumpukan sampah di TPA Bantar Gebang.

Sigit juga memaparkan, hal tersebut dinilai bisa membuka banyaknya lapangan pekerjaan bagi para nelayan yang kehilangan mata pencaharian akibat adanya pulau reklamasi.

Beberapa hari sebelum pelantikan, Gubernur DKI Jakarta terpilih, Anies Baswedan menyatakan sikapnya terkait reklamasi sudah jelas dalam janji kampanye pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta.

Anies di Jakarta Selatan, Jumat (13/10) mengemukakan, dalam menjalin hubungan terkait sikap pemerintah pusat yang mencabut moratorium reklamasi, dia mengatakan bahwa pemerintah daerah itu bekerja berdasarkan undang-undang.

Dia menegaskan, gubernur itu bekerja berdasarkan koridor dengan peraturan dan undang-undang termasuk juga akan koordinasi kerjasama dan pembagian wewenang.

Pernyataan tersebut tentu saja positif, tetapi hal itu diharapkan juga bisa berlanjut kepada kejelasan agar kontroversi seputar reklamasi Teluk Jakarta bisa benar-benar sepenuhnya dituntaskan. (Muhammad Razi Rahman/ant/yps)

Berita terkait
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.