Profil Cipto Mangunkusumo

Cipto Mangunkusumo dikenal sebagai salah satu tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia yang didorong oleh keresahannya terhadap kelakuan Belanda
Cipto Mangunkusumo (Foto: medium.com)

Jakarta - Keresahannya terhadap kesewenang-wenangan pemerintahan Belanda kepada masyarakat Indonesia membuatnya melancarkan berbagai aksi pemberontakan. Cita-citanya menyingkirkan Belanda dari Tanah Air mulai terpupuk sejak dia duduk di bangku sekolah.

Cipto Mangunkusumo dikenal sebagai salah satu tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pria kelahiran Pecangaan, Jepara, Jawa Tengah, 1886 ini adalah anak sulung dari seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa, Mangunkusumo.

Namanya diabadikan jadi nama rumah sakit di Jakarta yaitu Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo, sebuah rumah sakit pemerintah yang juga berfungsi sebagai RS pendidikan, salah satunya adalah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 

Meski begitu, ia dan adik-adiknya berhasil menempuh jenjang pendidikan yang cukup tinggi. Cipto bersama tiga saudaranya, Gunawan, Budiarjo, dan Syamsul Ma'arif bersekolah di sekolah kedokteran School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA). Sementara adik-adiknya yang lain, Darmawan, memperoleh beasiswa untuk meneruskan studinya di Universitas Delft jurusan Ilmu Kimia, dan Sujitno menempuh studinya di STIH Jakarta.

1. Aksi Perlawanan terhadap Pemerintahan Belanda

Menempuh pendidikan di STOVIA membuat sikap kritisnya semakin terbentuk. Dibandingkan teman-temannya yang lain yang lebih suka berpesta, Cipto memilih menghabiskan waktunya untuk menghadiri ceramah, membaca buku, dan bermain catur.

Pada acara-acara khusus, Cipto juga kerap tampil eksentrik dengan mengenakan surjan sambil menghisap rokok kemenyan. Kesempatannya untuk berpidato di acara-acara tersebut sering dimanfaatkan Cipto untuk mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap lingkungan sekelilingnya.

Beberapa peraturan di sekolahnya dianggap sebagai perwujudan politik kolonial yang arogan dan diskriminatif. Salah satunya adalah dengan mewajibkan seluruh mahasiswa Jawa dan Sumatra yang bukan bagian dari umat Kristen mengenakan pakaian tradisional saat berada di lingkungan sekolah.

Berbagai kritikannya juga muncul dalam bentuk tulisan di surat kabar harian kolonial, De Locomotief. Sejak 1907, Cipto sering mengirimkan tulisannya yang menggambarkan kondisi masyarakat yang dinilai tidak "sehat". Hubungan feodal dan kolonial sering menjadi sasaran kritiknya karena dinilai menjadi sumber penderitaan rakyat.

Hal lain yang menjadi perhatiannya yakni diskriminasi ras orang Eropa dan pribumi di mana Eropa lebih diuntungkan dari segala kebijakan yang diberlakukan saat itu.

Bentuk pemberontak lain yang ia lakukan yakni dengan masuk ke societeit (semacam tempat berpesta) orang-orang Eropa. Saat itu, Societeit menjadi tempat terlarang bagi orang Indonesia, namun Cipto, dengan pakaian batik dan jas luriknya dengan santainya masuk ke wilayah tersebut yang sontak membuatnya menjadi pusat perhatian pengunjung dan menimbulkan kegaduhan. Seorang penjaga mengusirnya, namun Cipto berteriak dan memaki-maki penjaga dan orang-orang di sekitarnya dengan Bahasa Belanda yang fasih yang membuat beberapa pengunjung tercengang.

2. Pembentukan Budi Utama

Selain aksi-aksi pemberontakan individual yang dilakukan, di STOVIA, Cipto juga bertemu dengan Suwardi Suryaningrat dan Ki Hadjar Dewantara. Bersama siswa lainnya, ia rutin berkumpul di asrama Indonesia Club untuk membicarakan nasib rakyat Indonesia saat itu. Di sana, ia juga bertemu dengan Wahidin Sudiro Husodo dan melahirkan organisasi Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Di organisasi pemuda ini, Cipto semakin menampakan jati diri politiknya.

Pada kongres pertama Budi Utama yang diadakan di Yogyakarta keretakan antara kaum konservatif dan progresif mulai terlihat. Hal tersebut menyebabkan perpecahan ideologi anggotanya.

Dalam kongres tersebut, terjadi perpecahan antara Cipto (perwakilan progresif) dan Radjiman Wedyodiningrat (perwakilan konservatif). Dari sudut pandang kaum progresif ingin Budi Utama menjadi organisasi politik yang bergerak secara demokratis. Sedangkan, kaum konservatif ingin Budi Utomo berdiri sebagai suatu gerakan kebudayaan Jawa.

Merasa aspirasinya tidak terwakilkan di Budi Utama, Cipto memutuskan memundurkan diri dari jajaran pengurus Budi Utama.

3. Pertemuan dengan Douwes Dekker dan Pengasingan

Usai meninggalkan Budi Utama, Cipto sempat membuka praktek dokternya sendiri di Solo, Jawa Tengah. Meski begitu, ia tak serta merta meninggalkan dunia perpolitikan. Bahkan perhatiannya pada politik semakin berkembang setelah bertemu dengan Ernest Douwes Dekker yang tengah berpropaganda mendirikan Indische Partij. Hingga pada 1912, Cipto pindah ke Bandung dengan tujuan agar pertemuannya dengan Douwes menjadi lebih intens.

Pada November 1913, Belanda hendak memperingati seratus tahun kemerdekaannya dari Perancis. Bahkan perayaan tersebut juga akan dilakukan di Indonesia yang mana membuat Cipto semakin dongkol. Bersama Suwardi, Cipto kemudian mendirikan komite perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda dengan nama Komite Bumi Putra.

Komite tersebut berencana mengumpulkan dana untuk mengirim telegram kepada Ratu Wilhelmina yang isinya meminta agar pasal terkait pembatasan kegiatan politik dicabut. Selain itu, Cipto bersama Suwardi juga menyebarkan selebaran kepada rakyat Indonesia dengan tujuan menyadarkan masyarakat bahwa rencana perayaan kemerdekaan yang dilakukan Belanda di Indonesia merupakan suatu penghinaan.

Aksinya bersama Suwardi mencapai puncaknya kala harian De Express menerbitkan artikel Suwardi dan mendukung pergerakan Komite Bumi Putera untuk memboikot perayaan kemerdekaan Belanda. Hal tersebut menyinggung pemerintah Hindia Belanda. Alhasil pada 30 Juli 1913, Cipto dan Suwardi dipenjarakan.

Melihat kawan-kawannya mendapat perlakuan tak adil, Douwes Dekker tergugah untuk menulis sesuatu yang isinya menyatakan kedua sahabatnya adalah seorang pahlawan.

Hingga pada pada 18 Agustus 1913, Cipto, Suwardi, dan Douwes dibuang ke Belanda karena propaganda anti Belanda yang dilakukan sudah terlalu meremehkan.

Meski diasingkan, kegiatan berpolitik mereka bertiga tak berhenti. Di tempat pengasingan, Cipto, Suwardi, dan Dekker tetap giat melancarkan aksi propagandanya yang berupaya menyadarkan masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan. Ia aktif menyebarkan propaganda di sebuah organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda, Indische Vereeniging.

Pada 1914, Cipto diizinkan pulang ke Tanah Air karena penyakit asma yang dideritanya. Di Indonesia, Cipto kembali berjuang demi kedaulatan Indonesia dan bergabung bersama organisasi Insulinde yang kemudian berubah nama menjadi National-Indische Partij (NIP).

Berbagai aksinya yang dinilai telah menyabotase Belanda membuatnya kembali menjalani hari-hari di pengasingan di Banda Neira. Cipto dan pemerintahan Belanda saat itu sempat terlibat tawar menawar. Dia diizinkan kembali ke tanah kelahirannya, Jawa, asalkan mau melepas hak politiknya, namun cipto menolak.

Cipto menghembuskan napas terakhirnya pada 8 Maret 1943 di Jakarta dan dimakamkan di TMP Ambarawa.

Atas jasa-jasanya, melalui Surat Keputusan Presiden No. 109/TK/1964, pada tanggal 2 Mei 1964, ia diangkat sebagai pahlawan nasional. Tak hanya itu, berdasarkan keputusan Bank Indonesia pada 19 Desember 2016, sosoknya diabadikan dalam pecahan uang logam Rp 200,00.

4. Lain-lain

Sebelum aktif berpolitik, Cipto sempat bekerja sebagai guru Bahasa Melayu di sekolah dasar di Ambarawa. Kemudian menjadi kepala sekolah di SD di Semarang, dan menjadi petugas administrasi Dewan Kota di Semarang.

Cipto menikah dengan seorang pengusaha batik, sesama anggota organisasi Insulinde, Marie Vogel, pada 1920.

Cipto Mangunkusumo, Ki Hadjar Dewantara, dan Douwes Dekker dikenal sebagai "Tiga Serangkai" yang giat menyebarluaskan ide pemerintahan sendiri dan kritis terhadap pemerintahan penjajahan Hindia Belanda.

Berita terkait
Jepara Sepi Terompet Tahun Baru, Ada Apa?
Penjual terompet Tahun Baru di Jepara jarang dan sepi pembeli. Karena minat terompet tergusur dengan game online.
0
LaNyalla Minta Pemerintah Serius Berantas Pungli
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, meminta pemerintah serius memberantas pungutan liar (pungli). Simak ulasannya berikut ini.