Presiden Filipina Ingin ASEAN Bebas Narkoba

"Kita harus tegas dalam mewujudkan mimpi Asia Tenggara yang bebas obat-obatan ilegal," kata Duterte di hadapan para kepala negara ASEAN yang hadir di Manila.
Para pemimpin negara ASEAN (kanan-kiri) Perdana Menteri Laos Thongloun Sisoulith, Presiden Indonesia Joko Widodo, Perdana Menteri Kamboja Hus Sen, Raja Brunei Darussalam Sultan Hassanal Bolkiah, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, Presiden Filipina Rodrigo Duterte, Presiden Vietnam Nguyen Xuan Phuc, Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-O-Cha, Penasehat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi, dan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak bergandengan tangan pada pembukaan KTT ASEAN ke-30 di Coconut Palace, Manila, Filipina, Sabtu (29/4). KTT ASEAN tahun ini mengambil tema Partnering for Change, Engaging the World dengan harapan bisa menciptakan ekosistem perdamaian dan pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN. (Foto: Ant/Rosa Panggabean)

Manila, (Tagar 29/4/2017) - Presiden Filipina Rodrigo Duterte pada Sabtu (pagi di Manila membuka Konferensi Tingkat Tinggi Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (KTT ASEAN) dengan mengatakan bahwa kawasan tersebut harus bebas terhadap narkoba sebelum obat-obatan mematikan itu membunuh banyak warga.

"Kita harus tegas dalam mewujudkan mimpi Asia Tenggara yang bebas obat-obatan ilegal," kata Duterte di hadapan para kepala negara ASEAN yang hadir di Manila, termasuk di antaranya Presiden Indonesia Joko Widodo.

Laporan PBB menyebutkan bahwa Myanmar adalah produsen opium kedua terbesar di dunia, di bawah Afghanistan. Kedua negara berkontribusi terhadap hampir 95 persen opium global.

Opium itu disebut dihasilkan dari sebuah ladang yang disebut sebagai Segitiga Emas, sebuah wilayah yang melintasi tiga negara dari Myanmar, Thailand, dan Laos. Dari wilayah itulah narkoba menyebar ke negara-negara Asia Tenggara lain dan juga ke China.

"Tingginya angka perdagangan narkoba di Asia Tenggara ini mengancam pencapaian ASEAN dalam hal pembangunan masyarakat," kata Duterte yang yakin ASEAN bisa mewujudkan mimpi tersebut dengan tekad politik yang kuat.

"Kita harus segera memberantas narkoba sebelum obat-obatan itu membunuh kita," kata dia.

ASEAN pada 2012 lalu sempat menandatangani deklarasi tentang pembebasan kawasan dari narkoba dengan tenggat waktu yang hanya tiga tahun. Namun target tersebut hingga kini gagal tercapai di sejumlah negara.

Lembaga sipil International Drug Policy Consortium (IDPC) mengkritik penetapan target yang tidak realistis tersebut karena membuat negara-negara anggota ASEAN menerapkan kebijakan yang keras, dan bahkan dinilai melanggar hak asasi manusia, untuk memberantas persoalan narkoba.

IDPC mencontohkan bagaimana banyak negara masih menerapkan hukuman yang terlalu berat, termasuk hukuman mati, bagi para pengedar maupun pengguna. Kerasnya kebijakan itu juga memicu membludaknya penghuni penjara melebihi kapasitas, sebagaimana yang terjadi di Filipina saat ini.

Filipina di bawah kepemimpinan Duterte dinilai sebagai contoh bagaimana kebijakan pemberantasan narkoba bisa membuat ribuan nyawa melayang dalam waktu beberapa bulan. Amnesti Internasional menyatakan bahwa pemerintah sengaja membiarkan pembunuhan ekstra judisial demi mewujudkan misi mereka.

Namun demikian, ada dua negara ASEAN, Thailand dan Myanmar yang sempat dipuji oleh kepala lembaga Global Commission on Drug Policy, yang juga mantan presiden Swiss, Ruth Dreifuss.

Menurut Dreifuss, cara terbaik memberantas narkoba adalah bukan dengan menggunakan keamanan yang menggunakan instrumen kekerasan, melainkan dengan pendekatan kesehatan. (Fet/Ant)

Berita terkait
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.