Untuk Indonesia

Prabowo dan Khilafah di Belakangnya

'Perlu berapa lagi bukti bahwa Prabowo sendiri membiarkan dirinya dan partainya secara nyata mendukung keberadaan HTI?' - Denny Siregar
Bakal calon presiden Prabowo Subianto tiba di kediaman Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di Kuningan, Jakarta, Rabu (12/9/2018). Kedatangan pasangan bakal capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ke rumah SBY itu untuk membahas pemenangan dalam Pemilihan Presiden 2019. (Foto: Antara/Hafidz Mubarak A)

Oleh: Denny Siregar*

Ketika berkunjung ke kediaman Bu Shinta Nuriyah Wahid, istri almarhum Gus Dur, Prabowo ditanya satu hal penting.

"Apakah mendukung pengubahan Pancasila menjadi sistem Khilafah?"

Sontak Prabowo menjawab, "Masalah khilafah itu adalah propaganda yang sebetulnya picik, tapi berbahaya karena rakyat bisa terpengaruh." Prabowo juga bercerita bahwa ia mempertaruhkan nyawanya untuk NKRI, jadi tidak mungkin akan keluar dari sistem Pancasila dan NKRI.

Sebuah pernyataan yang sangat nasionalis dari seorang Prabowo. Tapi benarkah kenyataannya begitu?

Ketika Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan oleh Jokowi pada bulan Juli 2017,  tidak terdengar sedikit pun suara dukungan dari Prabowo maupun partainya terhadap pembubaran kelompok pro khilafah itu. Bahkan pada Mei 2018, Gerindra, PAN dan PKS mendukung HTI mengajukan banding atas pembubaran itu.

Ini tentu bertentangan dengan pernyataan Prabowo bahwa ia tidak mendukung khilafah, toh bukti di lapangan terlihat jelas partainya mendukung keberadaan HTI.

Prabowo juga mengetahui bahwa gerakan #2019GantiPresiden ditunggangi oleh HTI.

Bukti itu jelas dan nyata dari video yang viral yang menampilkan Mardani Ali Sera dari PKS dan Ismail Yusanto Jubir HTI yang mengeluarkan statemen, "ganti sistem". Gerakan "ganti Presiden" ini didukung penuh oleh Gerindra, dimana Fadli Zon, Waketum Gerindra, tampak aktif melindungi para penggerak gerakan ini.

Jika Prabowo memang berjiwa nasionalis, kenapa ia tidak melarang gerakan yang jelas-jelas ditunggangi HTI?

Prabowo sendiri dikabarkan dekat dengan Yordania, karena ia sempat menghabiskan waktu selama 2 tahun di sana, pasca-kejadian 1998. Dan seharusnya ia tahu, bahwa Yordania sudah melarang keberadaan Hizbut Tahrir sejak tahun 1969 karena percobaan kudeta yang gagal, dimana Hizbut Tahrir menyusup ke dalam tubuh militer.

Tapi kenapa Prabowo tidak mengikuti jejak negeri sahabatnya, ikut berseru melarang keberadaan Hizbut Tahrir Indonesia?

Perlu berapa lagi bukti bahwa Prabowo sendiri membiarkan bahwa dirinya dan partainya secara nyata mendukung keberadaan HTI?

Jadi jelas bahwa kedekatan Prabowo dan HTI bukan propaganda yang picik, karena bukti-bukti menunjukkan sebaliknya.

Prabowo mungkin nasionalis, ia mungkin merasa dirinyalah yang menunggangi HTI, bukan sebaliknya. Dan mungkin ia bercita-cita bahwa jika kelak ia berkuasa, HTI tidak akan mampu mengubah Pancasila menjadi negara khilafah.

Tapi Prabowo lupa, bahwa HTI itu adalah gerakan transnasional, yang tidak terbatas pada batas negara. Ia gerakan ideologi.

Keberadaannya sendiri akan merusak sendi-sendi suatu negara jika ia dibiarkan berkembang biak. Hizbut Tahrir tidak bisa dijadikan teman, karena ia mampu menyusup ke elemen pemerintahan sampai aparat sebelum melakukan kudeta yang merugikan. Melarang keberadaannya jauh lebih berguna daripada membiarkannya berkembang.

Jika Hizbut Tahrir mudah ditunggangi, lalu kenapa belasan negara melarang keberadaannya? Apakah Prabowo lebih perkasa dari belasan negara yang melarang keberadaan gerakan ideologis itu?

Prabowo mungkin tidak ingin mengubah Pancasila menjadi sistem khilafah, tetapi membiarkan pendukung khilafah di dalam negara berasas Pancasila tentu akan menggerogoti sistem itu sendiri.

Dari berbagai kejadian di beberapa negara yang melarang keberadaan HTI, pola mereka sama, melakukan infiltrasi di tubuh militer dan pemerintahan, sebelum menguasainya dengan kudeta untuk mewujudkan konsep khilafah.

Pada waktu Asian Games 2018, Prabowo menyatakan dengan nasionalisme yang sama, bahwa "Beda pendapat boleh, tapi untuk kepentingan nasional kita satu."

Tapi itu sepertinya tidak berlaku bagi pembubaran HTI yang dilakukan demi kepentingan nasional, karena ada 2 juta suara anggota HTI yang dendam pada Jokowi, yang bisa dimanfaatkan untuk mendapat kekuasaan.

Seruput dulu kopinya....

*Denny Siregar penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Berita terkait