Jakarta - Seorang gadis Singapura bernama Felicia Tissue merasa jadi korban ghosting Kaesang Pangarep putra bungsu Presiden Joko Widodo. Sementara Kaesang merasa tidak melakukan ghosting kepada Felica, karena ia tidak menghilang tiba-tiba, sudah menyampaikan kepada Felicia untuk mengakhiri hubungan, walau risikonya ia dimaki-maki Felicia, ia terima saja.
Istilah ghosting terdengar di mana-mana seiring mencuatnya kabar putus hubungan Kaesang dan Felicia. Ghosting adalah kondisi ketika pasangan atau kekasih menghilang tiba-tiba, tidak lagi menelepon, tidak lagi mengirim pesan, tidak merespons saat ditelepon, tidak membalas saat dikirimi pesan. Hilang. Tidak bisa dijangkau. Tidak ada kejelasan. Menggantung. Mengambang. Apakah masih lanjut hubungan atau sudah putus hubungan. Tidak jelas. Seperti judul lagi Melly Goeslow 'Gantung'.
Di laman Psycom dijelaskan orang yang melakukan ghosting ingin mengakhiri hubungan tanpa repot-repot menjelaskan atau memberitahu pasangannya. Beberapa psikolog mengidentifikasi ghosting melalui beberapa teori perilaku. Gwendolyn Seidman, Associate Professor Psikologi dan Ketua Departemen Psikologi di Albright College, Pennsylvania, Amerika Serikat, mengatakan ghosting berkaitan dengan perilaku seseorang.
Seseorang yang melakukan ghosting diidentifikasi sebagai peragu. Orang yang percaya diri tidak akan melakukan ghosting, akan mengajak bicara baik-baik pasangan, bagaimana tentang perasaanya, situasinya, menyampaikan terus terang untuk memastikan kejelasan dua belah pihak.
Pelaku ghosting atau juga disebut ghoster adalah seorang yang tertutup, menutup ruang diskusi, seperti tidak punya empati kepada orang lain. Tidak merasa bersalah dengan perilaku ghosting. Ghosting bukan hanya terjadi dalam hubungan asmara, bisa juga terjadi dalam pertemanan, hubungan kerja.
Orang yang memilih ghosting berpikir begitulah cara terbaik mengakhiri hubungan dengan cepat, mudah, tanpa drama. Sementara pada pihak sebelahnya, perilaku tersebut sangat menyakitkan. Ia terus bertanya-tanya apa salahnya, kenapa pasangan tiba-tiba berubah, apa yang ia harus lakukan, bagaimana ke depannya, apakah masih ada harapan.
Ini sangat menyakitkan terutama bagi orang-orang yang sangat percaya kepada pasangannya, yang selama ini menaruh harapan terlalu tinggi kepada pasangannya. Ia tidak percaya dengan apa yang terjadi. Kenapa bisa begini. Pesan moralnya, percaya itu baik, tapi realistis jauh lebih baik, selalu sediakan ruang untuk kemungkinan terburuk, agar tidak terlalu sakit ketika memang hal buruk terjadi pada akhirnya. []
