Politik Dua Kaki, Demokrat Cari Aman di Pilpres 2019

"Demokrat sejak awal serba susah. Ke Jokowi mentok, gabung ke Prabowo juga mentok," tukas Adi.
Komandan Kogasma Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono menyaksikan keterangan pers yang disampaikan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto seusai pertemuan tertutup di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Selasa (24/7). Pertemuan tersebut menyepakati kesamaan visi dan misi sebagai dasar untuk membangun koalisi dalam Pilpres 2019. (Foto: Ant/Dhemas Reviyanto)

Jakarta, (Tagar 10/9/2018) - Partai Demokrat dianggap memainkan dua kaki dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2019. Sebab, dua kadernya, yakni Ketua DPD Partai Demokrat Papua Lukas Enembe dan Ketua Majelis Pertimbangan Daerah (MPD) Demokrat Jabar Deddy Mizwar merapatkan dukungan pada pasangan calon presiden dan wakil presiden Presiden Joko Widodo dengan Ma'ruf Amin.

"Demokrat ingin main di dua kaki. Politik cari aman," ujar Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno saat dihubungi Tagar News, Senin, di Jakarta (10/9).

Menurut dia, jika memang Partai Demokrat serius mendukung Prabowo-Sandi, tidak seharusnya membiarkan kadernya menyatakan dukungan pada kubu Jokowi-Ma'ruf.

Seperti Lukas yang juga Gubernur Papua, memang telah resmi bersikap dan diikuti kader daerahnya dan Demiz yang merupakan mantan Wakil Gubernur Jawa Barat disebut-sebut akan menjadi salah satu juru bicara Jokowi-Ma'ruf di Pilpres 2019.

Gubernur Papua Lukas EnembeGubernur Papua Lukas Enembe. (Foto: bataraonline.com)

"Jika all out dukung Prabowo mestinya Demokrat tertibkan kadernya yg memilih Jokowi. Ini malah Demokrat membiarkan kader terbaiknya, bebas menentukan pilihan. Apa pun alasannya itu politik dua kaki," jelas Adi.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia ini mengungkapkan, sejak awal Partai Demokrat memang terlihat setengah hati mendukung Prabowo. Gabungnya PD hanya untuk memenuhi kewajiban tidak golput agar lolos di pemilihan legislatif.

"Sejak awal memang Demokrat terlihat setengah hati dukung Prabowo. Semacam hanya ingin menggugurkan kewajiban bahwa setiap parpol wajib dukung capres. Karena jika golput, Demokrat akan datang ikut pemilu berikutnya," urai Adi.

Deddy MizwarDeddy Mizwar yang disebut-sebut menjadi juru bicara Jokowi-Ma'ruf di Pilpres 2019. (Foto: Tagar/Gemilang Isromi Nuari)

Jadi, wajar jika Demokrat membiarkan suara-suara liar kadernya di bawah untuk milih siapa pun pasangan capres dan cawapres. PD hanya ingin amankan Pileg. "Demokrat tak peduli siapa capres yang menang, yang dipikirkan bagaimana memenangkan pileg," tambahnya.

Kondisi PD yang dukungannya saat ini terbelah, menurutnya karena sejak awal kebingungan juga akan seperti apa dalam Pilpres 2019 mendatang.

Awalnya PD akan merapat ke kubu Jokowi, namun mentok karena hambatan psikologis Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekaroputri. Tak ada pilihan lain PD pun merapat ke kubu Prabowo-Sandi.

"Demokrat sejak awal serba susah. Ke Jokowi mentok karena hambatan psikologis Megawati serta penolakan partai-partai koalisi. Sementara gabung Prabowo hanyalah pilihan mentok karena sudah ditolak kubu Jokowi. Jadinya, serba rancu politik Demokrat," tukas Adi.

Agus Harimurti YudhoyonoAHY dan Kado Pahit di Hari Ulang Tahun | Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Komisi Pemilihan Umum, Jumat 10/8/2018. (Foto: Tagar/Gemilang Isromi Nuari)
Sedangkan menurut Pengamat Politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio, memang sejak awal alasan PD merapat ke kubu Prabowo-Sandi, karena Partai Demokrat inginkan anaknya Agus Harimurti Yudhoyono berlaga di Pilpres 2019.

"Sejak awal kan kita paham bahwa SBY hanya ingin AHY yang maju ke panggung Pilpres," tutur Hendri Satrio kepada Tagar News, di Jakarta, Senin (10/9).

Maka, saat AHY tak dipilih Prabowo, PD mau tak mau harus membuktikan dukungannya terhadap pasangan Prabowo-Sandi. Bagaimana caranya? Dengan memberikan dukungan secara penuh.

"Nah sekarang begitu gagal, ya maka harus dibuktikan bahwa PD memang mendukung penuh Prabowo gitu kan. Ini kan yang sebetulnya memprihatinkan sih, Demokrat harus bisa membuktikan itu. Caranya bagaimana ya all out-lah disini," jelas Hendro.

Pasalnya, menurut Founder Lembaga Survei KedaiKOpi ini, apa yang sedang dipetontonkan PD soal politik dua kaki terlihat tidak bagus.

"Ga bagus sih apa yang dipertontonkan Demokrat ini. Ya mudah-mudahan saja opini publik tentang bermain dua kakinya Demokrat ini segera diluruskan oleh Demokrat," sambungnya.

Jika memang terbukti PD bermain dua kaki dalam politik, Hendro menyarankan pasangan Prabowo-Sandi tidak usah memperhitungkan PD. Jika akhirnya menang artinya jatah menteri untuk PD berkurang, dan jika kalah, tidak rugi.

"Yang jelas kalau buat saya kalau memang main di dua kaki ya sudah tidak usah dihitung sama Prabowo-Sandi, anggap saja kehadiran Demokrat memang untuk kehadiran administrasif, lanjut saja dengan kekuatan yang ada bersama PKS dan PAN," terang Hendri yang juga akademisi di Universitas Indonesia dan Padjajaran itu.

"Nanti kan kalau Prabowo yang menang jatah menterinya untuk Demokrat berkurang. Ya, kalau kemudian kalah tidak rugi juga jadi menurut saya kalau setengah hati ya tidak perlu dihitung dilupain saja," lanjut Hendri.

Namun, Hendri pun masih menunggu gerak gerik PD pada akhirnya. Apakah akan memperjuangkan Prabowo sebagai calon presiden di Pilpres 2019 atau tidak.
 
"Ya, nanti apakah SBY mau memperjuangkan Prabowo sebagai presidennya, kita tunggu saja. Apakah AHY akan masuk di Timsesnya kan kita tunggu saja," tandasnya. []

Berita terkait
0
David Beckham Refleksikan Perjalanannya Jadi Pahlawan untuk Inggris
David Beckham juga punya tips untuk pesepakbola muda, mengajak mereka untuk menikmati momen sebelum berlalu