TAGAR.id - Kamboja akan mengadakan pemilihan umum (Pemilu) pada 23 Juli 2023 mendatang. Perdana Menteri (PM) Kamboja, Hun Sen, telah melarang partai oposisi utama negara itu dan menekan media independen dan sekarang hampir tanpa lawan. Tommy Walker melaporkannya untuk DW.
Hun Sen telah memerintah Kamboja selama hampir 40 tahun dan masih ingin mempertahankan kekuasaannya. Karena itu dia akan mencalonkan diri lagi untuk masa jabatan lima tahun mendatang dengan partainya, Partai Rakyat Kamboja CPP.
Kritikus mengatakan, Hun Sen telah menghilangkan kubu oposisi untuk memastikan bahwa tidak ada yang menantang pemerintahannya. Pemilihan mendatang yang ditetapkan pada 23 Juli mengingatkan kembali pada pemungutan suara di Kamboja tahun 2018 lalau yang banyak dikritik, di mana partai oposisi CNRP dilarang mencalonkan diri. Partai itu sekarang tidak ada lagi.
Kali ini, oposisi utama Partai Cahaya Lilin juga didiskualifikasi, dengan alasan tidak memegang dokumen yang tepat. Pada Maret lalu, mantan pemimpin CNRP Kem Sokha divonis 27 tahun penjara atas tuduhan bersekongkol dengan kekuatan asing untuk menggulingkan pemerintah.
Kontrol media yang ketat
Cengkeraman Hun Sen pada politik Kamboja juga meluas ke media. Vanna Hay, seorang aktivis politik Kamboja yang berbasis di Jepang, kepada DW mengatakan, media tradisional di Kamboja kebanyakan pro-pemerintah. "Stasiun televisi dan radio semuanya dikelola oleh organisasi pro-pemerintah, sehingga tidak ada informasi yang dipercaya. Itu sebabnya orang cenderung menggunakan Facebook untuk mendapatkan informasi,” katanya seraya menambahkan bahwa platform media sosial memang menjadi sumber informasi populer di kalangan oposisi politik.
Sejak 2017, Hun Sen telah menindak media-media independen di Kamboja, menurut pengawas media Reporters Without Borders (RSF). Tahun lalu, tiga media Kamboja dicabut izinnya. Awal tahun ini, Hun Sen menutup Voice of Democracy, salah satu media independen terakhir Kamboja. Saat ini Kamboja ada di peringkat 147 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia versi RSF.
Media sosial bisa menjadi alternatif penting untuk informasi politik, tapi itu ada batasannya. "Meskipun konektivitas meningkat, banyak warga Kamboja masih memiliki pengetahuan terbatas tentang penggunaan media sosial,” kata Sopheap Chak, direktur eksekutif Pusat Hak Asasi Manusia Kamboja, kepada DW.
Risiko kesalahan informasi
"Saat negara mendekati pemilihan umum, ada beberapa risiko misinformasi dan penyebaran berita palsu di kalangan pemilih,” kata Sopheap Chak. "Oleh karena itu diperlukan situs berita yang kredibel dan terpercaya untuk memberikan informasi yang benar, sehingga mereka dapat lebih memahami proses pemilu.”
"Facebook telah muncul sebagai salah satu platform media sosial terpopuler yang digunakan masyarakat untuk berbagi ide dan pemikiran, mengakses, dan menyebarkan informasi kritis,” kata Chak. "Di masa lalu, itu juga memainkan peran penting selama pemilu, meski dampaknya terus menyempit di pedesaan."
Perdana menteri Hun Sen sendiri merupakan pengguna Facebook yang rajin menyebarkan pesan politik kepada 14 juta pengikutnya. Pada akhir Juni lalu, dewan pengawas independen di perusahaan induk Facebook, Meta, merekomendasikan agar akun HunSen ditangguhkan karena melanggar kebijakan kontennya. Mereka menyimpulkan bahwa pidato perdana menteri yang dibuat pada bulan Januari berisi ancaman kekerasan terhadap lawan politiknya. Pidato 40 menit itu disampaikan dalam bahasa Khmer dan diunggah sebagai video di Facebook.
Sebagai tanggapan, Hun Sen mengatakan dia menutup akun Facebook-nya, dan akan beralih ke Telegram untuk streaming langsung, yang menurutnya merupakan cara yang "lebih baik" untuk menjangkau publik. Dia menambahkan bahwa dia juga akan meluncurkan akun TikTok. (hp/as)/dw.com/id. []