Pilpres Amerika Serikat Demokrasi Tak Langsung dan Misoginis

Hari ini, 3 November 2020, rakyat Amerika Serikat akan memilih kandidat presiden antara Trump atau Biden yang sebenarnya bukan pemilihan langsung
Ilustrasi: Kandidat Demokrat, Joe Biden, dan kandidat Republik, Donald Trump (Foto: bbc.com)

Gairah warga Amerika Serikat (AS) mengikuti perjalanan pemilihan presiden (Pilpres) seakan-akan merekalah yang menentukan kemenangan calon presiden (Capres), padahal sistem politik di AS ternyata demokrasi tidak langsung. Jumlah suara sebagai hasil pemilihan bukan faktor yang menentukan kemenangan seorang kandidat presiden. Pemenang ditentukan jumlah suara wakil electoral college, semacam pemilihan presiden dan wakil presiden oleh MPR di masa Orde Baru.

Kandidat yang memperoleh suara terbanyak pada Pilpres 3 November 2020 tidak otomatis jadi pemenang sebagai presiden terpilih. Suara terbanyak hanya menentukan jumlah wakil electoral college dari partai apa di negara bagian mana. Ada 538 wakil electoral college dari 50 negara bagian. Setiap negara bagian berbeda jumlah wakil electoral college tergantung jumlah populasi.

Maka, pemenang Pilpres AS ditentukan oleh jumlah suara electoral college yaitu 270. Suara ini diperoleh dari hasil pemberian suara wakil electoral college di tiap ibu kota negara bagian pada Desember 2020. Hasil pemungutan suara electoral college disampaikan ke Kongres yang akan menghitung suara wakil electoral college pada Januari 2021 untuk menentukan pemenang Pilpres.

1. Tidak Puas dengan Sistem Electoral College

Kandidat yang tidak memperoleh suara mayoritas pada Pilpres bisa saja jadi pemang jika wakil electoral college memilihnya. Ini terjadi pada Pilpres 2016 ketika Kongres memenangkan Donald Trump yang kalah suara pemilih dari Hillary Clinton. Trump memenangkan jumlah wakil electoral college lebih banyak daripada Hillary biar pun kalah suara rakyat. Trump menang dengan selisih suara tipis di beberapa negara bagian membuat electoral college lebih banyak.

Jika memakai logika tentulah wakil electoral college akan memberikan suara kepada kandidat dengan suara mayoritas, tapi bisa terjadi sebalikya seperti yang dialami oleh Hillary. Ini merupakan kejadian kelima di AS Capres pemenang suara terbanyak tidak jadi presiden. Hanya 10 negara bagian dan Ibu Kota AS, Washington DC, yang bersikap selalu memberikan suara electoral college kepada kandidat dengan suara pemilih terbanyak.

Maka, amatlah beralasan kalau kemudian sebagian rakyat AS merasa tidak puas dengan sistem electoral college karena mereka tidak bisa langsung menentukan presiden melalui Pilpres. Hanya saja diperlukan tiga perempat suara Kongres dan tiga perempat dukungan negara bagian agar electoral college bisa diamandemen.

Jika diperhatikan selain sistem politik, dalam hal ini Pilpres, terkait dengan kekalahan Hillary bisa jadi terkait dengan persoalan nonpolitis yang di kalangan rakyat AS disebut misoginis (pembenci perempuan). Ada pemilih di beberapa negara bagian dengan electoral college terbanyak dipengaruhi misoginis sehingga mereka memilih kandidat laki-laki.

2. Mengejek dan Merendahkan Perempuan

Sebuah kelompok ekstrem kanan religi di AS pernah menyerang kegiatan perempuan di luar rumah karena menurut mereka perempuan tidak boleh membuat kegiatan di luar rumah. Ini juga terjadi di Indonesia ketika Megawati Soekarnoputri maju jadi calon presiden. Berbagai tafsir dan interpretasi religi dijadikan amunisi menyerang Megawati. Padahal, PM Pakistan, sebuah negara Islam, Benazir Bhutto, seorang perempuan.

Kasus di Indonesia bisa terjadi karena pola patriarkat (sistem pengelompokan sosial yang sangat mementingkan garis turunan bapak, dalam kaitan ini laki-laki) sehingga perempuan ditempatkan sebagai subordinat laki-laki yang dibumbui dengan tafsir religi.

Ketika kampanye Pilpres AS tahun 2016 berkali-kali Trump mengejek dan merendahkan Hillary sebagai perempuan, misalnya dengan mengatakan ‘perempuan itu’, tidak ada protes karena bisa jadi karena ada sikap misoginis dan paham ekstrem kanan religi. Begitu juga ketika Presiden Bill Clinton terlibat skandal seks dengan Monica Samille Lewinsky, sekretaris magang di Gedung Putih, Clinton lolos dari impeachment (1997).

Pada sebuah seminar di Jakarta tahun 1990-an seorang dokter tanpa beban moral mengatakan: “Perempuan paling gampang cari uang, tinggal ngangkang.” Perempuan yang hadir terbahak-bahak. Begitu juga kalau ada perempuan korban kejahatan seksual justru kaum perempuan yang mengejek dan menyalahkan korban dengan berbagai alasan, misalnya ‘habis pakaiannya’, dan lain-lain. Padahal, banyak korban kejahatan seksual dengan pakaian yang menutup sebagian besar tubuh.

Hak suara bagi perempuan di AS pada Pilpres baru diakui tahun 1920 atau 144 tahun setelah AS merdeka dan 28 kali Pilpres. Ini juga mendukung sikap misoginis. Maka, kans pasangan kandidat Partai Demokrat Joe Biden dan Kamala Harris (peranakan India dan Jamaika) bisa juga bernasib seperti Hillary karena pemberian suara yang bisa saja berlatar misoginis (dari berbagai sumber). []

Berita terkait
Pemilih Hispanik Pilih Joe Biden di Pilpres Amerika Serikat
Sehari jelang pemungutan suara, jajak pendapat dari televisi NBC dan Wall Street Journal Biden unggul atas Trump 2-1 di antara pemilih Hispanik
71 Juta Pemilih Berikan Suara di Pilpres Amerika Serikat
Sekitar 71 juta warga Amerika telah berikan suara lebih awal Pilpres tahun 2020 yang dilangsungkan pada 3 November 2020, juga hindari kerumunan
Pilpres Amerika Serikat 2020 Pemilih Terbesar Satu Abad
Partisipasi pemilih awal terus meroket dengan jumlah mencapai 94 juta sejauh ini, partisipasi tertinggi dalam pemilu di negara itu dalam satu abad
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.