Pilkada, Jual Agama, dan 350 Tahun Penjajahan

Sentimen agama dalam Pilkada saat ini sebenarnya hanya ‘mainan’ segelintir oknum untuk merebut kekuasaan saja dan rakyat atau umat hanya dijadikan alat.
Jauhi Isu SARA (Foto: Istimewa)

Buku-buku sejarah menyebutkan bangsa Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Juga disebutkan bahwa penjajahan itu bisa berlangsung begitu lama karena bangsa kita diadu domba.

Benarkah demikian?

Berkaca pada Pilkada yang telah berlangsung dan akan berlangsung lagi tahun 2018 ini, juga pengalaman Pilpres 2014 lalu, saya menjadi ragu bahwa keberhasilan Belanda menjajah Indonesia karena politik adu domba atau devide et impera. Kenapa?

Pengalaman Pilpres 2014 dan terutama Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, saya mulai meyakini bahwa sebenarnya bangsa ini sendiri yang saling mengadu domba dirinya.

Jangan-jangan sifat asli bangsa Indonesia adalah mudah iri, dengki, cemburu terhadap sesama bangsanya. Belanda bukan menciptakan politik adu domba tetap hanya sekadar memanfaatkan potensi ini sehingga dengan mudah menguasai bangsa ini selama 350 tahun.

Karena kalau bukan itu sifat asli bangsa ini, kenapa begitu mudahnya Kolonial Belanda yang jumlahnya minoritas itu bisa berkuasa sepanjang 350 tahun terhadap kita yang mayoritas? Yang lebih hebat tentara yang dipakai Belanda untuk menjajah bangsa kita mayoritas adalah penduduk pribumi juga.

Lihatlah, setelah 72 tahun kita merdeka, sifat dengki, iri, cemburu, dan mudah diadu domba masih menjadi budaya bangsa ini. Pilpres 2014 dan terutama Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu membuktikan bahwa sesama anak bangsa terkoyak-koyak hanya karena kekuasaan. Slogan suku, agama, dan ras (SARA) menjadi slogan yang membutakan hati nurani dan mengoyak persaudaraan.

Sebenarnya tak ada yang salah ketika memilih seorang pemimpin karena persamaan agama, suku, atau ras. Itu adalah sesuatu yang sah, tak ada yang melarang walau sebaiknya juga harus melihat track record si calon apakah punya kompetensi atau tidak. Tak ada yang salah ketika Muslim memilih Muslim atau Kristen memilih Kristen.

Namun yang terjadi di Indonesia ini sentimen SARA menjadi senjata pamungkas yang digunakan untuk mendudukkan seseorang di kursi pemimpin. Tak lagi melihat apakah calon tersebut layak atau tidak. Saat ini tampaknya sentimen SARA, terutama sentimen agama, menjadi senjata yang paling ampuh merebut kekuasaan.

Namun tahukah Anda bahwa sentimen agama yang dipakai dalam Pilkada saat ini sebenarnya hanya ‘mainan’ segelintir oknum untuk merebut kekuasaan saja dan rakyat atau umat hanya dijadikan alat? Kita mengadu domba diri kita sendiri, persis seperti 350 tahun kita dijajah oleh Belanda.

Konferensi pers yang dilakukan La Nyalla Mattalitti, Kamis (11/1) lalu mengenai ‘uang mahar’ dan dihadiri Sekjen Forum Umat Islam (FUI), Al-Khathath, setidaknya membuka tabir bahwa semua gerakan agama yang berjilid-jilid terbukti adalah politik semata atau politisasi agama.

Dalam acara tersebut Al-Khathath kecewa dengan sejumlah partai yang dinilainya membela Islam, ternyata membelot dari aspirasi umat Islam.

Menurut Al-Khathath, Gerindra, PAN dan PKS tidak mendengar aspirasi umat di daerah dalam Pilkada serentak 2018 ini.

Pasalnya, ketiga partai tersebut menolak lima kader Alumni 212 untuk bertarung dalam Pilkada serentak tahun ini. Menurut Al Khathath, para ulama sudah memperjuangkan dengan pengerahan Aksi Bela Islam 212 yang sangat fenomenal. Selain itu para ulama juga sudah berhasil memunculkan Gubernur Anies-Sandi di Jakarta.

Apa yang disampaikan Al-Khathath ini sangat jelas membuka mata kita bahwa gerakan demo berjilid 411 dan 212 bukan tujuan agama semata tetapi bertujuan memenangkan calon dari poros Gerindra-PKS-PAN.

Pengakuan Al-Khathath ini menunjukkan dengan jelas bahwa agama dijadikan slogan utama untuk kepentingan mobilisasi politik. Akibatnya, masyarakat diadu domba dengan isu agama dan muncullah kebencian pada sesama warga. Persaudaraan dan persahabatan terkoyak-koyak.

Pilkada serentak 2018 pun sentimen agama dimainkan. Semakin jelas bahwa agama dipolitisasi ketika mereka menjalankannya tak konsisten. Di beberapa daerah mereka ‘menjual’ agama dengan jargon ‘Pilihan Umat’, “Kami Pilih Yang Cinta Masjid’, ‘Satu Aqidah Pilihan Kita’, dan jargon lainnya.

Namun di daerah lain, partai-partai tersebut justru mengusung calon yang tak satu agama dengan mereka. Lihat saja bagaimana partai pengusung calon di Papua, Maluku, Nusa Tenggara Timur, atau di Sulawesi Utara berasal dari partai mana. Jelas tak konsisten jika merujuk pada jargon-jargon di atas. Gerindra, PKS, atau PAN mengusung calon Kristen atau Katolik, konsistenkah itu?

Atau lihatlah bagaimana PDIP atau Golkar yang katanya partai Perppu Ormas justru bersanding dengan PKS dan Gerindra di Jawa Timur.

Jadi jelaslah terlihat bahwa agama hanya dipolitisasi dan dijadikan alat. Semua demi kepentingan politik dan kekuasaan. Rakyat diadu domba dan saling membenci.

Saatnya kita berpikir dengan jernih tak mudah dihasut atau diadu domba dengan isu agama. Terlalu mahal ke-Indonesia-an dan persaudaraan kita terkoyak hanya karena kekuasaan. Mari memilih dengan bebas tanpa sentimen apapun. Kita ingin kembali ke zaman Belanda? Atau sebenarnya kita belum merdeka?

Tulisan ini adalah opini pribadi penulis...

Fetra Tumanggor

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.