Pestisida dari Tanaman Obat Buatan Profesor Pisang di Bantul

Seorang petani di Dusun Ponggok, Desa Sidomulyo,Bambanglipuro, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta menbuat pestisida dari tanaman obat.
Lasiyo, 69 tahun (kanan) dan sang anak, Bisri Mustofa, 34 tahun, menuangkan pestisida cair ke dalam botol, Rabu, 20 Januari 2021. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Bantul – Lasiyo Syaifuddin, Pria berusia 69 tahun itu, keluar dari pintu belakang rumahnya. Di kepalanya bertengger kopiah hitam. Sementara tubuhnya dibalut dengan kemeja batik lengan panjang berwarna merah, dan sarung menutupi bagian bawah tubuhnya.

Lasiyo menyapa ramah. Barisan gigi yang sebagian sudah tanggal terlihat jelas saat dia tertawa dan menyilakan masuk. Wajahnya yang dihiasi dengan kerutan keriput di sekeliling kelopak mata terlihat segar. Dia baru saja mandi dan bersiap melaksanakan salat Zuhur di musala kecil di depan rumahnya, Rabu, 20 Januari 2021.

Lasiyo dikenal sebagai profesor pisang dari Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia menyempatkan diri menceritakan asal-usul penamaan prof pisang sebelum melangkah menuju musala.

Di halaman rumah Lasiyo yang cukup luas, di Dusun Ponggok, Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

terlihat sejumlah tanaman, mulai dari bibit kelapa, anggur, hingga sejumlah tanaman obat, dan tentu saja ratusan bibit pohon pisang di dalam polybag yang tertata rapi.

Belum sempat Lasiyo bercerita panjang lebar, dia sudah bergegas berdiri dan berjalan menuju musala saat azan Zuhur terdengar.

Cerita Pestisida Hernal 2Lasiyo, 69 tahun, profesor pisang dari Dusun Ponggok, Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pulang dari masjid, Rabu, 20 Januari 2021. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Beberapa belas menit kemudian, setelah dia selesai menunaikan ibadah salat Zuhur, Lasiyo mengganti pakaiannya dengan kaus oblong berwarna putih, dan menunjukkan sejumlah alat dan bahan yang digunakannya.

Pestisida Berbahan Tanaman Obat

Lasiyo berjalan menuju sudut pekarangan rumahnya. Dua dandang berukuran cukup besar ada di situ. Salah satunya masih berdiri di atas tungku masak berbahan tanah liat, tempatnya merebus pestisida berbahan tanaman obat.

Beberapa tong plastik berjejer tidak jauh dari dandang-dandang itu. Isinya pestisida cair yang belum disaring dan dikemas dalam botol plastik.

Aroma menyengat tercium saat Lasiyo membuka salah satu tong berisi pestisida cair. Dia menunjukkan bentuk pestisida buatannya.

Pestisida nabati kita buat dari rimpang. Rimpang itu empon-empon atau tanaman obat keluarga (Toga).

Beberapa bahan yang digunakan dia antaranya temuireng, temulawak, temugiring, kunyit, dan sejumlah tanaman obat lain. Bahan lain adalah batang atau daun brotowali. Jika tidak ada daun brotowali, dapat diganti dengan daun memba, daun mahoni, atau daun pepaya.

“Tidak harus semuanya ada, bisa dipilih salah satunya, mana yang ada di lingkungan kita agar tidak sulit mencarinya,” kata Lasiyo.

Lasiyo menjelaskan proses pembuatan bahan-bahan itu menjadi pestisida. Pertama, kata dia, rimpang-rimpang dan dedaunan tersebut dicacah atau ditumbuk atau digiling sampai hancur. Setelah hancur, kemudian direbus bersamaan sampai mendidih.

“Setelah direbus, mendidih, barang dimasukkan, kemudian direbus lagi sampai mendidih kembali, cukup. Selesai,” kata Lasiyo melanjutkan.

Saat ditanya mengenai jumlah rimpang dan dedaunan yang digunakan, Lasiyo mengatakan, dari sekilogram rimpang dan satu kilogram dedaunan bisa menghasilkan 15 liter pestisida cair.

“Airnya lima liter. Setelah selesai direbus kemudian ditambahkan air sebanyak 10 liter. Jadi kita memproduksi dua kilo bahan bisa mendapatkan 15 liter pestisida,” kata dia menegaskan.

Proses fermentasi pestisida yang telah melalui proses perebusan tersebut bisa satu hari hingga tiga bulan, tergantung pada keinginan. Tetapi, semakin lama difermentasi hasilnya akan semakin bagus.

Cerita Pestisida Herbal 3Lasiyo membuka penutup tong berisi pupuk cair yang terbuat dari rumen atau isi perut hewan ternak, Rabu, 20 Januari 2021. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Nantinya, setelah siap digunakan, pengguna harus menambahkan air bersih sebanyak minimal lima kali takaran atau maksimal 10 kali takaran pestisida.

“Nanti saat mau diaplikasikan masih harus ditambah dengan air sebanyak minimal lima kali, maksimal sepuluh kali. Itu pestisida untuk hama trip, kutu kebul, tawon lanceng, dan serangga lain. Lalat buah juga.”

Pestisida buatannya dibanderol dengan harga Rp 15 ribu per liter.

Selain menunjukkan lokasi pembuatan pestisida cair, Lasiyo juga menunjukkan tempat pembuatan pupuk cair dari isi perut hewan atau rumen.

Proses pembuatan pupuk, lanjut Lasiyo, lebih mudah, yakni rumen difermentasi selama beberapa hari.

“Dibuat pupuk itu satu liter dibanding 10 liter untuk diaplikasikan pada tanaman. Tapi kalau akan dijadikan sebagai dekomposer juga bisa. Tapi bandingannya hanya 1:5,” ucapnya menambahkan. Satu liter pupuk cair dijualnya seharga Rp 5 ribu.

Harga jual pestisida 15 ribu satu liter, kalau pupuk 5 ribu satu liter. Pemasarannya masih door to door. Kita belum patenkan makanya harganya masih murah. Banyak yang sudah datang membeli, mulai dari Bali, Semarang, juga dari Surabaya. Biasanya beli 50 liter hingga 100 liter.

Regenerasi Budidaya Pisang

Pupuk dan pestisida cair buatannya itu, menurut Lasiyo sangat cocok digunakan pada tanaman pohon pisang. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan untuk digunakan pada tanaman buah atau bunga lainnya.

Lasiyo menuturkan, keterampilannya membuat pestisida, pupuk cair, dan membudidayakan puluhan varietas pisang diperolehnya pada tahun 2008 atau dua tahun setelah bencana gempa bumi yang melanda Yogyakarta pada tahun 2006.

Cerita Pestisida Herbal 4Bibit pisang milik Lasiyo, di Dusun Ponggok, Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu, 20 Januari 2021. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

“Saya pascagempa giat bekerja di bidang pertanian. Saya belajar di Jakarta di Dinas Irigasi Jakarta, saya belajar di antaranya tentang pemuatan pupuk, pestisida, pembuatan ZPT, dll. Itu tahun 2008,” ucapnya mengenang.

Kala itu Lasiyo tidak sendirian. Dia bersama 39 rekannya. Namun dari 40 peserta pelatihan tersebut, hanya Lasiyo yang melanjutkan kegiatan pertanian itu.

Kegiatannya di bidang budidaya pisang dan pembuatan pupuk serta pestisida rupanya terdengar hingga mancanegara, termasuk Italia.

Pada tahun 2014 Lasiyo kedatangan amu dari Italia yang berniat untuk melakukan survei kegiatannya. Para surveyor itu, lanjut Lasiyo, sudah berkeliling wilayah Indonesia untuk mencari orang lain yang memiliki keterampilan seperti Lasiyo, tapi mereka tidak menemukannya.

“Mereka cari keliling Indonesia dan saya dipanggil ke Italia. Jadi kunjungan dari Italia itu untuk membuktikan seperti apa Mbah Lasiyo dan seperti apa dengan lingkungan, bagaimana perilaku setiap harinya,” ucapnya menambahkan.

Setahun kemudian, tepatnya tahun 2017, Lasiyo lagi-lagi dipanggil ke luar negeri untuk berbagi pengalaman dan keterampilan di Singapura.

“Setelah itu, sampai perjalanan saat ini saya merasa ikut bertanggung jawab untuk melestarikan lingkungan,” kata dia melanjutkan.

Lasiyo mengaku memilih budidaya pisang karena karena mudah, murah, ramah lingkungan. Terlebih untuk menanam pisang tidak perlu harus banyak pohon.

“Di rumah sendiri tidak perlu harus banyak, dari satu batang sampai 1000 batang kalau ada lahannya tidak masalah. Kalau lahannya kecil, sebatang tidak apa-apa, dua batang tidak apa-apa, tidak seperti padi di sawah, harus banyak.”

Saat ini dia sudah membudidayakan sekitar 30 varietas pisang. Dari 30-an varietas tersebut ada delapan jenis pisang yang paling laku di pasaran, yakni pisang raja bagus, pisang raja bulu, pisang kepok putih, kepok kuning, pisang ambon kuning, pisang ambon lumut, pisang emas kirana, dan cavendish.

“Posisi saya sudah renta tapi saya masih ingin mengorbitkan generasi penerus. Pisang dari pembibitan sampai panen sekitar 1 tahun. Harga bibitnya rata Rp 14 ribu,” lanjutnya.

Penjelasan Lasiyo tersebut dibenarkan oleh anak kandungnya, Bisri Mustofa, 34 tahun. Menurut Bisri sang ayah rajin mengajarkan pengetahuan yang dimiliki pada orang yang datang. Bahkan tak jarang Bisri turut membantu sang ayah.

Cerita Pestisida Herbal 5Bisri Mustofa, 34 tahun, menyaring pestisida cair yang sudah melalui proses fermentasi, Rabu, 20 Januari 2021. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

“Saya ikut bantu bapak untuk budidaya pisang sejak tahun 2017. Saya sambil kerja kalau libur ya membantu bapak. Ilmu dari bapak manfaatnya bisa buat bisnis.”

Dalam usaha budidaya pisang, Bisri bertugas membantu menyiram, menambah pupuk, menambah tanah jika kurang, dan sesekali membantu membuat pestisida.

“Kalau buat pestisida sedikit-sedikit sudah bisa tapi belum full, masih dibimbing sama bapak. Kalau untuk bahan-bahan saya sudah tahu,” ucapnya. []

Berita terkait
Cara Perajin Tempe di Jakarta Hadapi Lonjakan Harga Kedelai
Melonjaknya harga kedelai impor membuat pembuat tempe harus memutar otak untuk mengatasinya. Ini cerita seorang pembuat tempe di Jakarta.
Asa Pemuda Kampung Nelayan di Utara Jakarta
Sejumlah pemuda Kampung Kali Adem, Muara Angke, Jakarta Utara, yang tergabung dalam REMKA mencoba mengubah pola pandang warga terkait pendidikan.
Sarwani dan Cerita Lampu Garam Penerang Lokasi Gempa Mamuju
Hanya dengan mencampur air bersih dan sesendok garam, lampu menyala hingga 12 jam dalam kekuatan sinar LED 1,6 watt setara terang bohlam 25 watt.
0
Hasil Pertemuan AHY dan Surya Paloh di Nasdem Tower
AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono mengaku sudah tiga kali ke Nasdem Tower kantor Surya Paloh. Kesepakatan apa dicapai di pertemuan ketiga mereka.