Pertemuan Trump-Kim, Dendam Tiga Turunan Korea Utara dan Amerika

Menjadi hari bersejarah saat kedua pemimpin tertinggi Korea Utara dan Amerika Serikat sebab untuk pertama kalinya berjabat tangan setelah hampir tujuh dekade bermusuhan dan tukar ancaman untuk saling menghancurkan.
Presiden Amerika Serikat Kim Jong Un dan pimpinan Korea Utara Kim Jong Un. (news.sky.com)

Jakarta, (Tagar 11/6/2018) - Selasa (12/6) akan menjadi hari bersejarah saat kedua pemimpin tertinggi Korea Utara dan Amerika Serikat sebab untuk pertama kalinya berjabat tangan setelah hampir tujuh dekade bermusuhan dan tukar ancaman untuk saling menghancurkan.

Tetapi tidak selamanya hubungan antara Pyongyang dan Washington antagonistik. Pun demikian halnya dengan gambaran Korea Utara sebagai negara terbelakang dengan despot muda berambut lucu yang rela membunuh paman sendiri.

Sementara tetangga Pyongyang di selatan, yang sekarang relatif sejahtera, pada awalnya adalah negara miskin yang beberapa kali dikuasai oleh para pemimpin dengan darah puluhan ribu orang di tangan. Sementara Korea Utara merupakan negara dengan ide-ide agraria progresif dengan industri yang maju pada zamannya.

Gara-gara Majalah

Seperti dilansir Antara, sebagaimana nasib bangsa-bangsa terjajah lainnya, Korea terbelah menjadi dua gara-gara pembagian kekuasaan di antara para penjajah. Takdir Korea bahkan lebih konyol karena berawal dari sebuah peta dalam majalah.

Saat Jepang mulai menunjukkan tanda-tanda kekalahan menjelang berakhirnya Perang Dunia II, Amerika Serikat khawatir Korea akan jatuh ke tangan Uni Soviet yang semakin agresif mengirim pasukan ke semenanjung yang akan menjadi tanpa tuan sepeninggal Nippon.

Washington kemudian menugaskan dua orang tentara untuk menentukan zona kekuasaan Amerika Serikat di Korea. Tanpa pengetahuan yang cukup dan bermodal peta majalah bulanan National Geographic, keduanya menarik garis lintang utara 38 derajat untuk membelah negara Asia Timur itu (buku Oberdorfer dan Carlin, The Two Koreas: a Contemporary History).

Inilah yang menjadi cikal bakal dendam tiga turunan antara Seoul dengan Pyongyang. Usai perang, Amerika Serikat mengokupasi atau menduduki daerah selatan selama tiga tahun sampai 1948 sambil membunuh puluhan ribu gerilyawan kiri, sementara Uni Soviet juga menempatkan pasukan di utara dalam waktu yang sama. Sebelum angkat kaki, dua negara adidaya itu membentuk pemerintahan boneka yang berperang dua tahun kemudian.

Di selatan, Syngman Rhee menjadi presiden pertama dengan memperoleh 92,3 persen suara dalam pemilu "abal-abal". Hanya dalam dua tahun sebelum pecah perang Korea tahun 1950, Rhee beberapa kali melakukan pembunuhan massal terhadap simpatisan komunis dengan korban belasan ribu jiwa.

Sementara di utara, Kim Sung Il, kakek pemimpin Korea Utara yang sekarang Kim Jong Un, menjadi perdana menteri. Dia mengakibatkan ratusan ribu orang mengungsi ke selatan saat menerapkan reformasi agraria yang membagi tanah untuk para petani penggarap.

Tentara Amerika di Korea 

Karena mengaku sebagai pewaris sejati Semenanjung Korea, Kim dan Rhee memutuskan untuk mengakhiri sengketa dengan berperang selama tiga tahun dari 1950-53. Perang ini berakhir dengan imbang setelah Rhee mendapat bantuan signifikan dari Amerika Serikat yang bersama sejumlah negara lain, mengirim pasukan di bawah bendera PBB.

Sejak saat itulah Amerika Serikat membuat pangkalan militer permanen dan menugaskan puluhan hingga ratusan ribu tentara di Korea Selatan hingga sekarang. Mereka khawatir dengan efek domino yang akan membuat laju komunisme dan pengaruh Uni Soviet tidak terbendung ke selatan.

Pada akhir 1950-an, Washington juga mengirim sejumlah rudal dan meriam berhulu ledak nuklir di Korea Selatan. Tentu saja Kim tidak mau nasib negaranya berakhir seperti Jepang yang hancur karena bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.

Korea Utara, yang mewarisi kawasan industrial relatif sejahtera tinggalan penjajah Jepang, menjadi negara miskin karena mengonsentrasikan sebagian besar sumber daya mereka untuk keperluan militer di tengah ancaman nuklir Amerika Serikat yang mangkal di rumah saudaranya sendiri.

Dari tahun 1960-an sampai akhir tahun 1980-an, Korea Utara menjadi negara dengan proporsi alokasi militer tertinggi di dunia dengan prosentasi sekitar 20 sampai 25 persen dari total produk nasional bruto. Strategi pembangunan tujuh tahun yang dicanangkan gagal membuahkan hasil akibat besarnya belanja militer ini.

Tiga generasi pemimpin di Korea Utara, Kim Sung Il, Kim Jong Il, sampai Kim Jong Un, mengakui kegagalan mereka di bidang ekonomi dengan selalu mengatakan kepada rakyatnya untuk bersabar mengetatkan ikat pinggang.

Sementara itu di selatan, Seoul di bawah jaminan keamanan dari Amerika Serikat melaju menjadi macan Asia, meski beberapa kali mengalami guncangan pemerintahan dan kudeta.

Hampir berdamai Kim Sung Il sadar negaranya akan terus miskin di bawah ancaman meriam dan bom atom Amerika. Awalnya dia mencoba melakukan upaya diplomatik dengan bergabung ke dalam traktat nonproliferasi dengan tuntutan menghapus nuklir di Semenanjung Korea pada tahun 1985.

Namun Amerika Serikat balik menuding Korea Utara juga sedang mengembangkan senjata nuklir sendiri, yang kemudian diperkuat dengan pengusiran petugas badan pengawas atom dunia (IAEA) oleh Kim Jong Il pada 1993.

Setahun kemudian kedua negara berunding dan menghasilkan kesepakatan yang berpotensi mengakhiri konfrontasi berkepanjangan. Saat itu Pyongyang setuju untuk menghentikan program nuklir mereka dengan syarat Washington menggantinya dengan reaktor yang lebih sulit digunakan dalam pengembangan senjata.

Dalam masa transisi ke reaktor baru itu, disepakati bahwa Amerika Serikat akan menyediakan subsidi minyak untuk Korea Utara. Yang terakhir, kedua negara sepakat untuk mengupayakan normalisasi hubungan, termasuk jaminan bahwa Washington tidak akan menggunakan nuklir untuk menyerang Pyongyang.

Namun dalam catatan profesor Universitas Dongseo di The Diplomat, Presiden Amerika Serikat Bill Clinton ternyata kesulitan mencari anggaran untuk pembangunan reaktor baru dan subsidi minyak karena Kongres dikuasai tiba-tiba oleh Partai Republik yang menentang perjanjian damai dengan Korea Utara.

Padahal Korea Utara sudah menaati isi perjanjian 1994 dengan mengundang kembali IAEA untuk memantau program nuklirnya.

Perjanjian ini bubar di tengah jalan setelah George Bush berkuasa di Amerika Serikat dan langsung menyebut Korea Utara sebagai bagian dari poros setan dunia.

Hingga kini, tiga generasi setelah perang Korea berakhir, persoalan di semenanjung Asia Timur ini masih saja sama meski pertaruhannya semakin besar. Pyongyang kini dikabarkan telah menguasai teknologi rudal yang mampu menyasar daratan Amerika Serikat.

Mereka masih miskin dan butuh jaminan keamanan untuk berkonsentrasi membangun ekonomi di tengah sikap permusuhan dari beberapa pejabat Gedung Putih yang mengatakan bahwa nasib rezim di Pyongyang akan sama dengan Muammar Gaddafi di Libya.

Namun, Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan pemimpin Korea Utara punya kesempatan untuk mengakhiri dendam tiga turunan. (ant/rmt)

Berita terkait
0
DPR Terbuka Menampung Kritik dan Saran untuk RKUHP
Arsul Sani mengungkapkan, RUU KUHP merupakan inisiatif Pemerintah. Karena itu, sesuai mekanisme pembentukan undang-undang.