Pertemuan Rahasia Jokowi-PA 212, Ini Tafsir Politiknya

Kenapa pertemuan itu harus rahasia. Kenapa Jokowi tidak seperti biasanya.
Presiden Joko Widodo. (Foto: Biro Pers Setpres)

Jakarta, (Tagar 26/4/2018) - Peristiwa penting-menarik dalam konstelasi politik mutakhir di Tanah Air adalah pertemuan informal yang berlangsung di Bogor, Jawa Barat, antara Presiden Joko Widodo dan sejumlah elite Persaudaraan Alumni 212.

Apa makna peristiwa itu? Tafsir normatif atas kejadian itu adalah bahwa Jokowi merupakan presiden rakyat Indonesia sehingga tak ada yang ganjil untuk bertemu dan bersilaturahim dengan siapa pun, termasuk dengan para pentolan massa yang menuntut proses hukum atas penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Tafsir yang sarat aroma politisnya kurang lebih menunjukkan bahwa Jokowi perlu mendekati kelompok-kelompok yang selama ini berseberangan dengan posisinya sebagai pemegang kekuasaan.

Di samping bertemu dengan PA 212, Jokowi juga melakukan pertemuan-pertemuan informal dengan pentolan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang selama ini memosisikan dirinya sebagai oposan pemerintah. Dalam konteks pertemuan dengan PKS ini pun, bisa diberi dua tafsir seperti konteks pertemuan antara Jokowi dan PA 212.

Sebagai presiden, Jokowi lumrah dan sah-sah saja untuk berkomunikasi dengan partai politik mana pun. Bukan hanya dengan elite PKS, bahkan sebelumnya Jokowi beberapa kali bertemu dengan bos Partai Gerindra Prabowo Subianto, yang juga kubu oposan. Hanya saja, pertemuan dengan Prabowo dilakukan secara terbuka. Demikian kurang lebih tafsir normatif atas pertemuan Jokowi dan elite PKS.

Tafsir politisnya? Jokowi sedang melakukan manuver politik untuk membangun koalisi yang lebih kuat lagi dalam persiapan Pilpres 2019. Pertanyaan atas absurditas tafsir politis ini adalah: masih kurang kuatkah koalisi yang sudah terbentuk selama ini, terutama terkait dengan pencapresan Jokowi sebagai petahana untuk mempertahankan kursi kepresidenan hingga 2024? Saat ini sesungguhnya koalisi parpol yang mendukung pencapresan Jokowi untuk Pilpres 2019 sudah terlampau kokoh untuk situasi politik normal, yang menjadi pilar berlangsungnya demokrasi.

Setidaknya jika dibandingkan dengan kondisi menjelang Pilpres 2014, saat ini Jokowi mendapat dukungan banyak parpol, salah satunya Partai Golkar (partai terbesar kedua setelah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat yang kini sudah bukan lawan dalam koalisi. Partai Persatuan Pembangunan dan beberapa parpol baru untuk Pilpres 2019, seperti Partai Solidaritas Indonesia dan Perindo memperkuat koalisi pendukung pencapresan Jokowi.

Masih perlukah Jokowi menggalang dukungan dengan merangkul PKS untuk memperkuat keterpilihannya dalam Pilpres 2019? Menurut ukuran nalar yang lugas dan sederhana, jawaban atas pertanyaan itu pastilah negatif. Artinya, Jokowi tak perlu lagi menambah alias mempergemuk koalisi parpol pendukungnya.

Bahkan, yang lebih absurd lagi, sebagaimana dilontarkan secara terbuka oleh Ketua Umum PPP Romahurmuziy, Jokowi pernah memberikan tawaran kepada Prabowo Subianto sebagai cawapresnya dengan argumen untuk menghindari perpecahan di kalangan pendukung masing-masing seperti tercermin dalam situasi Pilpres 2014.

Manuver politik Jokowi belakangan ini untuk merangkul semua kelompok atau kekuatan sosial politik, termasuk kubu yang menjadi lawan politiknya, agaknya dilatarbelakangi oleh prediksi muram tentang kemungkinan terjadinya keterbelahan antara kubu yang mendukung dan kubu yang menentangnya.

Yang ironis bahkan di kalangan elite politik ada yang mengobarkan prediksi yang sama sekali tak layak diucapkan dalam kerangka pendidikan politik bagi publik. Elite politik yang berlaku negarawan mestinya mengobarkan optimisme bahwa Pilpres 2019 akan berlangsung aman dan demokratis karena publik sudah dewasa dan sudah tiga kali berpengalaman menunaikan pencoblosan untuk pilpres secara langsung.

Tampaknya masih ada politikus yang berusaha menangguk keuntungan politis dengan mengobarkan wacana bahwa akan ada gempa politik menjelang Pilpres 2019.

Bagi kalangan yang kontra dengan pemerintah saat ini, termasuk mereka yang kehilangan kenyamanan duniawi akibat naiknya Jokowi ke panggung kekuasaan lewat Pilpres pada 2014, wacana akan terjadinya gempa politik menjelang Pilpres 2019 jelas menjadi tema sentral yang layak diembuskan-embuskan.

Kalangan pegiat prodemokrasi perlu mengikis pesimisme dan ramalan suram yang ditiupkan oleh politikus pengail di air keruh itu. Mereka perlu terus-menerus melakukan edukasi dan pencerahan bahwa hanya lewat pemilulah seorang presiden bisa dipilih dan diberhentikan.

Presiden tak bisa diberhentikan di tengah jalan oleh manuver politik oposan, entah lewat politisasi agama maupun agamaisasi politik. Jika Jokowi terlalu kuat untuk dikalahkan pada Pilpres 2019, kesempatan untuk meraih kekuasaan justru sangat terbuka untuk Pilpres 2014 karena saat itu Jokowi sudah hilang dari orbit pencapresan.

Senyampang dengan pendidikan politik publik oleh kalangan aktivis prodemokrasi, Jokowi agaknya tak perlu lagi melakukan pertemuan-pertemuan informal dengan kekuatan politik mana pun untuk menghindari spekulasi yang tak produktif bagi pemantapan kehidupan berdemokrasi.

Semua pertemuan atau silahturahmi dengan kekuatan sosial politik mana pun perlu terbuka bagi awak media dan manuver politik yang dilakukan Jokowi menjadi peristiwa politik yang transparan. Bisa saja pertemuan itu tertutup bagi pers namun setelah pertemuan, seperti biasanya dalam pertemuan formal, Jokowi atau mitra pertemuan memberikan keterangan pers kepada awak media.

Dengan jalan demikianlah politik menjadi urusan publik dan bukan urusan elite semata sebagaimana yang terjadi di era pemerintahan otokrat.

Bagi Jokowi, keterbukaan dalam bermanuver akan menghadirkan manfaat lain yang tak kalah signifikannya: Jokowi bisa bebas dari tuduhan sedang membangun politik oligarkis, membagi-bagi kue kekuasaan hanya untuk lingkaran elite koalisinya dan abai terhadap kepentingan rakyat banyak. (sun/ant/af)

Berita terkait