Untuk Indonesia

Perlukah Fatwa Halal MUI untuk Vaksin Pfizer, Sinopham, Cansino?

Vaksin Sinovac sudah mendapat label halal dari MUI. Vaksin lain di antaranya Pfizer, Sinopham, Cansino, harus tunggu label halal juga dari MUI?
Seorang pekerja kesehatan menyiapkan satu dosis vaksin Covid-19 buatan Pfizer-BioNtech di pusat vaksinasi di Kotamadya Tel Aviv-Yafo dan Tel Aviv Sourasky Medical Center, Tel Aviv, Israel, 31 Desember 2020 (Foto: voaindonesia.com/AFP)

Oleh: Syafiq Hasyim*

Akhirnya Majelis Ulama Indonesia menyatakan vaksin Sinovac itu suci dan tayyib, pada tanggal 8 Januari 2021. Jokowi sendiri sudah divaksin pada Rabu, 13 Januari 2021, dengan vaksin Sinovac. Makna suci dalam fatwa MUI adalah vaksin Sinovac bisa dikonsumsi alias halal. Dan makna tayyib artinya baik, vaksin Sinovac tidak menimbulkan kerusakan pada tubuh manusia. Demikian bahasa fiqih memaknai kandungan vaksin Sinovac yang ramai kita bicarakan akhir-akhir ini. 

Sudah barang tentu hal ini sesuai yang kita harapkan semua. Fatwa selengkapnya masih menunggu kajian aspek lain dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Namun, terus terang saya merasa kecewa dengan sikap MUI yang seolah-olah membuat social pressure tentang vaksin Sinovac sebelum mengumumkan kehalalannya. 

Misalnya dalam pernyataan salah satu tokoh teras MUI, pemerintah tidak akan melakukan vaksinasi selama belum ada fatwa kehalalan tentang vaksin Sinovac dari MUI. Pernyataan ini bisa ditafsirkan bahwa fatwa di atas merupakan hal yang wajib dipatuhi negara dan itu harus dilaksanakan dan diperhatikan pemimpin kita. 

Bagaimana jika vaksin yang sudah didatangkan ke Indonesia itu ternyata tidak halal? Vaksin Sinovac memang sudah jelas halalnya sebagaimana MUI putuskan, namun vaksin-vaksin lain yang sudah dipesan pemerintah, bagaimana keputusan tentang vaksin-vaksin tersebut, apakah kita menunggu fatwa MUI lagi atau bagaimana untuk vaksinasi nanti?

Dalam situasi di mana orang meninggal semakin banyak dan jumlah kasus baru semakin meningkat, bahkan menembus 10 ribuan per hari, kenapa MUI mengeluarkan pernyataan yang seolah-olah menghambat vaksinasi dan ada kesan mengekang pemerintah. 

Vaksin yang dibeli pemerintah bukan hanya Sinovac, juga ada Pfizer, Sinopham, Cansino, dan lain sebagainya.


Penyerahan Sertifikat Halal Vaksin SinovacPenyerahan Sertifikat Halal Vaksin Sinovac kepada PT Bio Farma pada Rabu, 13 Januari 2021. (foto: Tagar/Rusydi/kemenag.go.id)

Bukankah MUI bisa mengatakan bahwa meskipun vaksin Sinovac dinyatakan haram, vaksinasi tetap dibolehkan dalam keadaan darurat. Hal inilah yang dikatakan Kiai Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU. Beliau menyatakan halal atau haram vaksin Sinovac itu tetap boleh digunakan karena keadaan emergency atau darurat. Diktum hukum ini sangat terkenal dan semua orang Islam kayaknya sudah mengetahui diktum ini. Jika pernyataan demikian tersebut, suasana tidak akan menjadi gaduh. 

Saya kira kasus penentuan halal dan haram vaksin Sinovac kali ini tidak akan terulang lagi dalam fatwa-fatwa MUI mendatang berkaitan dengan vaksin-vaksin lainnya. Soal sertifikasi atau pernyataan halal ini memang menyimpan masalah, terutama dengan hak-hak kewargaan yang inklusif. 

Saya pribadi bisa memahami pemerintah sekarang sedang giat-giatnya membentang ekonomi halal. Pemerintah ingin mendapatkan peluang ekonomi besar melalui bisnis halal. Pelbagai upaya menuju arah itu sudah dilakukan dan salah satunya adalah meresmikan peraturan pemerintah atas UU 33/2014, tentang Jaminan Produk Halal. Dan sejak 2019 sertifikasi halal adalah hal yang mandatory atau wajib.

Ketika masalah itu baru diluncurkan, banyak orang mengatakan ekonomi halal itu bersifat inklusif. Tidak ada diskriminasi di dalamnya. Muslim dan non-muslim memiliki pandangan yang sama, bahwa mereka memang ingin makanan dan minuman halal dan baik. Bolehlah orang berargumentasi demikian, termasuk MUI dan para pejabat pemerintah yang membidangi masalah ini. Namun, jika terjadi berkaitan dengan masalah hidup dan mati seperti soal vaksin Sinovac ini, pembicaraan halal dan tidak halal itu mestinya dihindarkan dulu.

Hal paling utama diprioritaskan adalah bagaimana menjaga warga negara, menjaga orang dari kematiannya, meskipun divaksin dengan vaksin yang tidak halal. Pernyataan bahwa pemerintah tidak akan melakukan vaksinasi tanpa fatwa halal ini jelas merugikan mereka yang menganggap konsep halal menurut Islam tidak dikenal bagi mereka.

Katakanlah jika sebuah vaksin mengandung babi atau bahan lainnya yang menurut non-muslim bukan haram, pernyataan MUI di atas jelas merugikan mereka. Mereka tidak usah menunggu fatwa MUI untuk vaksinasi. Jika mereka terlambat mendapatkan vaksinasi karena fatwa halal dan negara menurutinya, jelas negara merugikan hak warga negara mendapatkan perlindungan dari negara. Apalagi kalau negara menunda vaksin karena harus menunggu fatwa halal dari MUI. 

Terus terang saya merasa kecewa dengan sikap MUI yang seolah-olah membuat social pressure tentang vaksin Sinovac sebelum mengumumkan kehalalannya.


Vaksin SinovacIlustrasi vaksin anti virus corona Sinovac. (Foto: Andressa Anholete/Getty Images)

Sekali lagi bahwa fatwa MUI, bukan menunggu hal-hal kesehatan yang harus dipenuhi oleh vaksin tersebut. Pemerintah sendiri menurut saya juga tidak harus begitu saja menuruti fatwa MUI untuk urusan pemenuhan mandat konstitusi, yakni melindungi hidup warga negaranya. Syukur-syukur fatwa halal memang cepat keluar dan menyatakan bahwa seluruh vaksin bisa dikonsumsi dan divaksinasikan karena keadaan darurat kita. Tapi masalah tidak berhenti di sini, halal dan haram vaksin itu memang merupakan hal yang kompleks bagi kita.

Dan sekali lagi, vaksin yang dibeli pemerintah bukan hanya Sinovac, juga ada Pfizer, Sinopham, Cansino, dan lain sebagainya. 

Pertanyaan bagi kita jika vaksin lain mengandung barang haram, selain Sinovac maksudnya, apakah pemerintah harus menunggu fatwa lagi untuk menyuntikkan vaksin-vaksin tersebut kepada warga negara yang memang sangat membutuhkan? Padahal warga negara yang butuh vaksin itu tidak semuanya mempersoalkan halal dan haramnya sebuah vaksin. Persoalan mereka adalah bagaimana bisa mendapatkan perlindungan hidup dari negara melalui vaksinasi yang mereka harus dapatkan.

Saya kira pemerintah untuk masa yang akan datang treus saja melakukan vaksinasi, baik dengan maupun tanpa fatwa halal dari MUI untuk vaksin-vaksin yang lain selain Sinovac. Mengapa demikian. Karena pemerintah sebagai representasi negara, harus mengutamakan tugas utama yang dimandatkan konstitusi kita untuk menyelamatkan kehidupan warganya. Ini adalah kewajiban negara yang paling asasi bagi warga negara.

Dalam menjalankan tugas utama itu, negara yang diwakili pemerintah tidak boleh ragu menjalankannya. Tidak boleh mengabaikan hal utama untuk hal-hal yang tidak terlalu utama dalam sistem ketatanegaraan kita. Seperti menunggu fatwa halal MUI. Sebagai catatan, baik disertai maupun tidak disertai fatwa kehalalan MUI, pemerintah tetap harus menjalankan vaksinasi. 

MUI memang akhirnya mengeluarkan fatwa bahwa vaksin Sinovac itu suci dan tayyib, dan itu pas dengan kebutuhan kita bersama. Namun, jika nanti untuk vaksin-vaksin yang lain, MUI menganggapnya tidak halal, mengingat pemerintah memesan banyak varian vaksin, tugas yang terbaik bagi pemerintah adalah cepat menjalankan vaksinasi. Dan tidak harus menunggu fatwa halal dari MUI. 

*Direktur Perpustakaan dan Pusat Budaya Universitas Islam Internasional Indonesia sekaligus Wakil Ketua Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama

Berita terkait
Bio Farma Terima Sertifikasi Halal Vaksin Covid-19
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama mengeluarkan sertifikat halal vaksin Covid-19.
Sertifikat Halal Vaksin Sinovac, Wamenag Ajak Vaksinasi
Zainut Tauhid Sa’adi serahkan sertifikat halal vaksin Sinovac kepada Direktur Utama PT Bio Farma serta ajak masyarakat ikut vaksinasi.
Sandiaga Uno dan Fakta-fakta Ekonomi Halal di Indonesia, di Dunia
Sandiaga Uno diberi tugas mengembangkan wisata halal bagian dari ekonomi halal. Bagaimana fakta-fakta ekonomi halal di Indonesia dan dunia.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.