Perjuangan Penjual Coto Makassar Daring di Yogyakarta

Seorang fotografer di Yogyakarta beralih usaha menjadi penjual Coto Makassar, kuliner khas dari Makassar, Sulawesi Selatan, secara daring.
Coto Makassar yang dijual oleh mantan fotografer di Yogyakarta. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Yogyakarta – Ruangan itu berukuran tidak terlalu luas, hanya sekitar 2x2 meter. Cuma satu meja berukuran kecil yang ada di ruangan berlantai biru tersebut. Tidak ada barang yang menandakan bahwa tempat itu adalah sebuah warung kuliner.

Beberapa meter dari ruangan itu, satu poster tertempel di sudut dinding, bertuliskan “Warung Coto Makassar Lao Manre”. Hanya poster itu satu-satunya penanda bahwa tempat itu adalah warung makan.

Seorang pria muda keluar dari pintu di samping poster. Dia membawa baki berisi semangkuk coto, ketupat, jeruk nipis, dan sambal. Pemuda itu meletakkan coto pesanan pelanggannya di meja kecil ruangan sempit itu. Lalu kembali masuk.

Warung Coto Makassar itu terletak di gang kecil di kawasan Blunyahrejo, Kota Yogyakarta. Di depan gang akses masuk ke lokasi itu pun sama sekali tidak ada penanda yang menunjukkan bahwa ada warung kuliner di dalam. Sebagian pelanggan mengetahui lokasi warung itu saat mencari di mesin pencarian google di internet.

Dari Fotografi ke Kuliner

Rahmat Hidayat, 48 tahun, pemilik warung Coto Makassar Lao Manre tersebut mengisahkan awal dirinya membuka usaha kuliner. Menurutnya sebelum membuka usaha kuliner dirinya adalah seorang fotografer lepas.

Rahmat sering memotret untuk kegiatan pengantin, prewedding, serta kegiatan-kegiatan seminar yang digelar di hotel-hotel. Profesinya sebagai fotografer dijalani selama kurang lebih empat tahun.

Cerita Coto Makassar 2Rahmat Hidayat, 48 tahun, mantan fotografer di Yogyakarta yang beralih profesi menjadi penjual Coto Makassar. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

“Terima job mantenan (pengantin), prewedding, seminar, dll. Saya juga menyewakan peralatan kamera. Sekarang persewaan masih tapi udah nggak motret karena nggak ada waktu lagi,” ucapnya saat ditemui, Jumat, 16 Oktober 2020.

Rahmat mengaku dirinya fokus pada usaha kulinernya, sebab dia memiliki tekad untuk membesarkan usahanya itu.

Usaha kuliner baru digelutinya selama kurang lebih delapan bulan, yakni sekitar dua pecan sebelum pandemi Covid-19 melanda Indonesia.

Saat pertama membuka warung kuliner, Rahmat menyewa tempat di sekitar kawasan kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), di ringroad selatan. Waktu itu kuliner yang dijual bukan Coto Makassar tetapi ayam geprek dan geprekan lain. Dia menyewa tempat seharga Rp 14 juta per tahun.

Kira-kira dua minggu sebelum pandemi saya nyewa warung, tapi warung dibuka nggak ada yang beli. Waktu itu saya bukan jualan Coto Makassar, tapi ayam geprek. Tapi pembelinya cuma satu dua.

Padahal, lanjut Rahmat, dirinya sudah berupaya melakukan bermacam cara untuk mendapatkan pelanggan.

Ujian yang dihadapinya tidak cukup sampai di situ. Baru tiga hari menjual, kampus diliburkan karena pandemic, akibatnya, pembeli di warung ayam geprek miliknya menjadi lebih sedikit.

“Daerah situ dipalang, saya tetap jualan tapi nggak ada yang beli sama sekali. Ternyata banyak yang pada pulang kampung. Akhirnya warung saya tutup dan mulai jualan secara online,” ujarnya mengisahkan.

Saat itu Rahmat mulai berpikir bahwa dia salah memilih kuliner untuk dijual, sebab jumlah penjual ayam geprek di Yogyakarta mencapai puluhan, bahkan mungkin ratusan.

Kemudian anaknya member usulan untuk menjual Coto Makassar, tetapi waktu itu Rahmat tidak setuju. Sebab menurutnya pangsa pasarnya terlalu sempit.

“Anak saya usulkan untuk jual Coto Makassar, karena ibunya asli sana. Awalnya saya nggak yakin karena segmen marketnya terlalu sempit. Tapi akhirnya saya coba,” ucapnya lagi.

Rahmat pun mengiklankan Coto Makassar jualannya melalui aplikasi Instagram dan Facebook. Tanpa disangka, banyak orang yang menghubunginya melalui aplikasi Whatsapp. Sebagian bahkan menggunakan bahasa Makassar.

“Ketika dilaunching online banyak yang minat, market saya di Instagram, kemudian jual lewat facebook. Kalau di facebook saya posting di grup jual beli Jogja. Biasanya ada tanggapan. Tiba-tiba ada yang ngechat, katanya tahu dari facebook,” kata dia.

Fokus Menjual Secara Daring

Meski peminat Coto Makassar cukup banyak, bukan berarti Rahmat tidak mengalami kendala dalam menjual. Saat baru menjual sekitar sebulan, beredar isu tentang jumlah pasien terkonfirmasi positif Covid-19 semakin meningkat di Yogyakarta.

Isu itu membuat banyak orang yang takut untuk membeli makanan. Usahanya kembali ditutup selama kurang lebih dua pekan karena tidak adanya pembeli.

cerita coto makassar 3Rahmat Hidayat, 48 tahun, mantan fotografer di Yogyakarta yang beralih profesi menjadi penjual Coto Makassar. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

“Terus saya mencoba jualan lagi, Alhamdulillah responsnya bagus. Sekarang Alhamdulillah sehari laku 50 sampai 60 porsi. Banyak yang repeat order. Biasanya jam dua siang sudah habis,” ujarnya.

Kini sekain menawarkan dagangannya melalui Instagram dan Facebook, Rahmat juga menjual Coto Makassar melalui aplikasi Gofood dan Grabfood. Dia mengaku fokus menjual secara daring atau online, meskipun tetap melayani pembeli yang datang ke rumahnya, di Blunyahrejo.

Offline paling satu, dua, tiga pembeli sehari, karena tempatnya memang terbatas begini. Saya lebih banyak laku di online, saya juga ada di go food dan grab food,” ucapnya menegaskan.

Mengenai harga Coto Makassar yang dijualnya, Rahmat mengakui bahwa harganya masih lebih murah daripada harga coto yang dipatok oleh kompetitor. Alasannya karena saat ini coto jualannya masih dalam tahap perkenalan.

“Harga per porsi untuk coto campur Rp 12 ribu, coto daging Rp 15 ribu, memang harganya masih lebih murah daripada kompetitor karena masih promo. Walaupun untung sedikit yang penting bisa jalan,” lanjutnya.

Untuk pengantaran coto dengan jarak di bawah empat kilometer, Rahmat tidak memberlakukan ongkos kirim. Tetapi jika jarak pengantaran lebih dari empat kilometer, pembeli dikenai ongkos kirim antara Rp 5 ribu hingga Rp 10 ribu, tergantung jaraknya.

“Pengantaran terjauh, kalau ke selatan sampai di Pojok Beteng, kalau ke timur sampai di sekitar kebun binatang Gembiraloka, ke utara sampai ke sekitar Monjali (Monumen Jogja Kembali), ke barat sampai Godean,” kata dia merinci pengantaran terjauh yang pernah ditempuhnya.

Saat ditanya mengenai kekurangan dan kelebihan bisnis kuliner di masa pandemi, Rahmat berpendapat bahwa kelebihan usaha kuliner adalah usaha yang tidak ada matinya, sebab semua orang membutuhkan makanan, baik di masa pandemi maupun tidak pandemi.

“Kuliner kata banyak orang adalah bisnis yang antimati, setiap orang pasti butuh makan. Menangnya Coto Makassar di Jogja adalah orang Jawa penasaran dengan rasanya. Selain itu banyak juga mahasiswa asal Sulawesi Selatan di sini,” dia menjelaskan.

Sedangkan kekurangan usaha kuliner adalah banyaknya saingan dan sulitnya mencari pelanggan. Kata dia, sekilas bisnis ini mudah, sebab banyak orang yang bisa memasak. Tapi tidak semuanya bisa memasarkan.

“Bidang ini sekilas mudah, banyak orang bisa memasak, tapi yang sulit adalah pemasarannya. Cari pelanggan. Strategi marketing itu yang sulit. Banyak kuliner yang gulung tikar karena itu.” []

Berita terkait
Lokasi Pembuangan Bayi di Yogyakarta Dibangun Zaman Jepang
Sepanjang 2020 setidaknya ada dua peristiwa penemuan bayi di kawasan Selokan Mataram yang dibangun sejak zaman penjajahan Jepang.
Pilkada Serentak Mengikis Harapan Suporter Sepak Bola
Pandemi Covid-19 dan pelaksanaan pilkada serentak 2020 mengikis harapan suporter sepak bola untuk menyaksikan tim kesayangan mereka bertanding.
Lokasi Penyeberangan Hantu di Pegunungan Mamasa
Ruas jalan di Sala Dingkik, Desa Tampak Kurra, Kecamatan Tabulahan, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat dipercaya sebagai lokasi penyeberangan hantu.
0
Emma Raducanu dan Andy Murray Optimistis Bertanding di Wimbledon
Raducanu, 19 tahun, akan melakukan debutnya di Centre Court ketika dia bermain melawan petenis Belgia, Alison van Uytvanck