Oleh: Syaiful W. Harahap*
Catatan: Artikel ini pertama kali ditayangkan di Tagar.id pada tanggal 9 Juni 2023. Redaksi.
TAGAR.id - Penindasan terhadap etnis minoritas Rohingya di Myanmar (d/h. Birma) yang mayoritas beragama Islam, disebutkan terjadi karena agama. Rohingya dikaitkan langsung dengan Islam. Lebih jauh ada pula isu genosida dalam kasus Rohingya.
Di Myanmar Rohingya bermukim bersama komunitas terbesar yaitu Rakhine yang mayoritas pemeluk agama Buddha.
Maka, perlu dikaji apa di balik perlakuan terhadap Rohingya karena etnis Rakhine?
Soalnya, etnis Rakhine juga mengalami penindasan dari pemerintah Myanmar.
Pemerintah Myanmar, ketika di tangan Aung San Suu Kyi, yang merupakan tokoh demokrasi dikabarkan ‘membiarkan’ kekerasan terhadap Rohingya.
Rakhine adalah Pribumi di Tanah Mereka
Tentu saja timbul pertanyaan: Mengapa hal itu (bisa) terjadi?
Ada kemungkinan Myanmar merasa tidak memerangi Islam tapi Rohingya. Analisis Siegfried Wolf, Kepala Bidang Penelitian di South Asia Democratic Forum (SADF) di Brussels, Belgia, dan peneliti di Universitas Heidelberg, Insitut South Asia, bisa jadi pintu yang objektif ke arah duduk soal Rohingya [Rohingya, Sebenarnya Bukan Konflik Agama (dw.com, 31/8-2015)].
Komunitas warga Rakhine yang hidup berdampingan dengan Rohingya merasa didiskriminasi secara budaya, juga tereksploitasi secara ekonomi dan disingkirkan secara politis oleh pemerintah pusat, yang didominasi etnis Burma.
Sedangkan Rakhine adalah pribumi di tanah mereka, sementara Rohingya pendatang dari Bengal ketika itu bagian dari India, yang kini jadi Bangladesh, di masa Inggris menguasai Myanmar, ketika itu Birma.
Ada riwayat yang menyebutkan Inggris mempersenjatai Rohingya melawan komunitas setempat, termasuk di dalamnya ada warga etnis Rakhine, dan di akhir PD II Rohingya juga membantu sekutu menghadapi Jepang. Diperkirakan komunitas Rohingya di Myanmar sekitar 1,1 jua jiwa pada tahun 2015.
Celakanya, dalam situasi berdampingan itu Rakhine menganggap Rohingya sebagai saingan tambahan dan ancaman terhadap keberadaan mereka sebagai bagian dari warga Myanmar. Menruut Wolf, inilah peyebab utama ketegangan antara Rakhine dan Rohingya di negara bagian itu sehingga berujung pada sejumlah konflik senjata antar kedua kelompok.
Dalam suasana yang tidak harmonis itu seara politis komunitas Rakhine kemudian merasa dikhianati oleh komunitas Rohingya karena Rohingya tidak memberikan suara kepada Rakhine.
Di mata Wolf situasi ini menjadi pemicu sehingga pertikaian pun meruncing yang akhirnya meningkatkan ketegangan. Celakanya, pemerintah Myanmar tidak mendorong rekonsiliasi antara Rakhine dan Rohingya malah sebaliknya mendukung fundamentalis Buddha. Ini dilakukan pemerintah untuk mempertahankan kekuasaan di daerah yang kaya sumber daya alam tersebut.
Warga Rohingya Dianggap Beban Ekonomi Tambahan
Biar pun Myanmar mendukung fundamentalis Rakhine yang mayoritas pemeluk Buddha pemerintah tetap menganggap itu bukan kekerasan terhadap Islam yang jadi agama mayoritas Rohingya.
Lebih jauh Wolf mengatakan bahwa konflik horizontal antar agama di Myanmar, khususnya di Rakhine, dikondisikan bahwa Islam adalah ancaman terbesar bagi Buddha. Kondisinya kian pelik karena Myanmar ‘dikelilingi’ oleh negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam, seperti Bangladesh, Malaysia dan Indonesia.
Ada pula setting-an bahwa Rohingnya sebagai ancaman terhadap gaya hidup dan kepercayaan Buddha dan bisa jadi jalan menuju islamisasi di Myanmar.
Dalam analisis yang lebih dalam, Wolf mengatakan Rakhine adalah salah satu negara bagian yang warganya paling miskin di Myanmar walaupun kaya sumber daya alam.
Maka, warga Rohingya dianggap beban ekonomi tambahan, ketika mereka bersaing untuk mendapat pekerjaan dan kesempatan bisnis. Pekerjaan dan bisnis di negara bagian itu sebagian besar dikuasai kelompok elit Burma. Jadi bisa dibilang, rasa tidak suka warga Buddha terhadap Rohingya bukan saja masalah agama, melainkan didorong masalah politis dan ekonomis.
Belakangan ada pula isu yang mendera Myanmar yaitu rencana membangun Terusan Kra di semenanjung Thailand yang disebut memicu pertikaian di wilayah Teluk Benggala.
Terusan Kra akan memotong rute pelayaran 1.200 mil laut (setara dengan 27 jam pelayaran) dari Samudra Hindia menuju ke Laut China Selatan jika dibandingkan dengan melewati Selat Malaka dan Singapura.
Tapi, jika Terusan Kra dioperasikan maka armada laut, seperti, kapal kargo, tanker dan lain-lain tidak perlu lagi lewat Singapura karena memotong jalur dari Samudra Hindia dan Teluk Benggala melewati Terusan Kra di semenanjung Thailand langsung ke Laut China Selatan.
Ketika komunitas Rohingya merasa tidak dilindungi Myanmar tawaran untuk mencari kehidupan baru di luar negeri pun mereka terima. Celakanya, banyak yang menawarkan jasa dengan syarat menyerahkan sejumlah uang melalui calo dan penipu. Pada prinsipnya mereka tidak memenuhi syarat sebagai pengungsi.
Pengungsi adalah orang-orang yang melarikan diri dari perang, kekerasan, konflik atau persekusi dan telah melintasi perbatasan internasional untuk mencari keamanan di negara lain (unhcr.org).
Adalah Paus Fransiskus yang melontarkan kritik pedas terhadap negara-negara Eropa Barat yang menolak pengungsi dengan menyebut mereka sebagai negara yang tidak kristiani. Sayangnya, Paus hanya melihat di hilir. Padahal, banyak yang disebut pengungsi itu yang merupakan korban perdagangan manusia.
Baca juga: Paus Fransiskus Hanya Berkaca di Hilir Eksodus Pengungsi
Maka, negara calon penerima dan negara perantara juga perlu memperhatikan apakah Rohingya yang mereka tampung sebagai merupakan pengungsi atau korban perdagangan orang (human trafficking).
Bantuan Asing Atas Nama Agama
Warga Rohingya yang sudah menyerahkan uang dijanjikan ke Australia, tapi didaratkan di Indonesia. Bersamaan dengan itu Australia pun memperketat persyaratan imigran yang mereka terima, antara lain harus melalaui negara ketiga, seperti Indonesia, dan terbukti secara formal sebagai pengungsi bukan korban perdagangan orang.
Di beberapa daerah yang menampung pengungsi Rohingya terjadi ksenjangan sosial antara pengungsi yang menerima ransum dalam dolar AS, sementara rakyat di daerah itu hidup di bawah garis kemiskinan bahkan ada warta setempat yang jadi pengemis di tempat penampungan pengungsi Rohingya.
Disebutkan seorang pengungsi Rohingya dewasa menerima Rp 1,25 juta/bulan, sedangkan anak-anak Rp 500.000/orang/bulan (m.tempo.co, 27/5-2015). Ini benar-benar ironis, tapi dunia seakan-akan membiarkannya. Bisa jadi suatu saat terjadi konflik horizontal antara pengungsi dan penduduk lokal karena kesenjangan kehidupan yang sangat nyata.
Ketika ada bantuan asing atas nama agama kepada komunitas Rohingya membuat Rakhine merasa terasing di Tanah Airnya sendiri karena tidak menerima bantuan asing dan dari negaranya. Maka, bisa saja terjadi tekanan terhadap Rohingya sehingga memaksa mereka mengungsi merupakan konsekuensi logis dari kondisi di Rakhine.
Dalam kaitan ini UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees atau Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi) memberikan biaya hidup dengan standar Eropa Barat kepada pengungsi.
Tapi, UNHCR tidak pernah melancarkan kritik terhadap negara-negara yang membiarkan rakyatnya menyabung nyawa menyeberang lautan untuk mencari kehidupan baru dengan bayaran tertentu tanpa alasan tertindas secara politis di negara asalnya. Ini bak bisnis, agaknya. []
* Syaiful W. Harahap adalah Redaktur di Tagar.id