Perempuan di Negara Berkembang Tidak Berdaulat Atas Tubuh

Mulai dari masalah seks, perawatan kesehatan atau penggunaan kontrasepsi, perempuan di negara berkembang tidak punya kendali atas tubuh mereka
Separuh wanita di negara berkembang dilaporkan kurang berdaulat atas tubuh mereka sendiri (Foto: dw.com/id)

Jakarta - Mulai dari masalah seks, perawatan kesehatan atau penggunaan kontrasepsi, perempuan di negara berkembang tidak punya kendali atas tubuh mereka. Ini keterangan dai PBB. Beragam pelanggaran terhadap perempuan juga masih kerap terjadi.

"Tubuhku adalah milikku sendiri." Berapa banyak perempuan di dunia yang bisa dengan bebas membuat klaim semacam ini?

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melaporkan pada Rabu, 14 April 2021, bahwa hampir separuh perempuan di 57 negara di dunia tidak diberi kebebasan untuk melakukan apapun atas tubuhnya sendiri, termasuk seks, penggunaan alat kontrasepsi atau perawatan kesehatan.

Laporan berjudul “My Body is My Own” itu juga mencantumkan serangan-serangan yang kerap dialami oleh perempuan, termasuk pemerkosaan, sterilisasi paksa, tes keperawanan dan mutilasi alat kelamin.

“Pada dasarnya, ratusan juta perempuan dan anak perempuan tidak berdaulat atas tubuh mereka sendiri. Hidup mereka diatur oleh orang lain,” kata Kepala Badan Kesehatan Seksual dan Reproduksi PBB (UNFPA), Natalia Kanem. Ia menambahkan bahwa pengambilan keputusan atas tubuh mereka biasanya dilakukan oleh pasangan, anggota keluarga, masyarakat bahkan pemerintah.

natalia kanemNatalia Kanem, Direktur Eksekutif UNFPA (Foto: dw.com/id)

Menurut Kanem, masalah yang mendasari hal ini seringkali terletak pada masalah struktural dan sosial, seperti misalnya pelarangan sosial seputar seks (bagi perempuan) dan juga patriarki yang mengakar. Hal inilah yang menyebabkan kerabat laki-laki merasa memiliki kuasa atas pilihan perempuan, kata Kanem.

Kanem mengatakan bahwa ketika kendali perempuan atas tubuhnya sendiri disangkal, maka ketidaksetaraan akan semakin kuat dan kekerasan yang timbul dari diskriminasi gender -yang sejatinya menjadi akar masalah- akan terus terjadi.

“Ketika kendali berada di tempat lain, maka otonomi akan selalu sulit untuk dijangkau,” demikian kata laporan itu.

1. Pelanggaran Otonomi Perempuan Atas Tubuhnya Sendiri

Laporan tersebut juga mengungkap bahwa kejahatan dan praktik-praktik yang melanggar otonomi tubuh perempuan masih kerap terjadi, termasuk pembunuhan “demi kehormatan”, pernikahan paksa, pernikahan dini, tes “keperawanan”, dan mutilasi alat kelamin. Tak hanya itu, pemaksaan kehamilan atau aborsi juga dinilai melanggar otonomi perempuan untuk membuat keputusan atas tubuhnya sendiri.

“Beberapa kejahatan seperti pemerkosaan, memang dikriminalisasi, tetapi pelakunya tidak selalu dituntut di pengadilan dan dihukum,” kata Kanem. Sementara beberapa pelanggaran lain tidak dapat diperlakukan sama karena “diperkuat oleh norma, praktik, dan hukum yang berlaku di masyarakat,” tambahnya.

korban afghanistanPerempuan Afghanistan, Shakila Zareen, korban kekerasan dalam rumah tangga, kini tinggal di Kanada. (Foto: voaindonesia.com/VOA)

Terlepas dari jaminan konstitusional tentang kesetaraan gender di banyak negara, laporan itu mengatakan bahwa rata-rata perempuan secara global hanya bisa menikmati 75% hak hukum dari laki-laki. Perempuan dalam banyak kasus tidak memiliki kekuatan untuk melawan kesenjangan ini karena masih rendahnya kadar partisipasi dalam hal pengambilan keputusan, baik dalam bentuk politik maupun dalam bentuk lainnya.

2. Pandemi Covid-19 Memperburuk Situasi Bagi Perempuan

Di sisi lain, pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini juga dinilai ikut memperburuk situasi bagi jutaan perempuan di dunia.

“Apa yang tadinya sudah buruk sekarang menjadi lebih buruk akibat pandemi Covid-19, karena berdampak pada meningkatnya kekerasan seksual, lebih banyak kehamilan yang tidak diinginkan, dan hambatan baru atas akses kesehatan, bersama dengan hilangnya pekerjaan dan pendidikan,” kata Kanem.

UNFPA mengatakan pada April tahun 2020 lalu bahwa lockdown secara global akan berdampak pada meningkatnya kekerasan domestik sebanyak 20% karena para korbannya terjebak di dalam rumah bersama pelaku.

pakistan1Ilustrasi: Unjuk rasa perempuan di Pakistan menentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tahun 2016 (Foto: archive.pakistantoday.com.pk)

Selain itu, para peneliti juga memperkirakan akan ada tambahan 13 juta pernikahan anak dan 2 juta kasus mutilasi alat kelamin dalam dekade berikutnya mengingat upaya global untuk mengakhiri kedua praktik tersebut terhalang oleh pandemi.

Laporan itu mengungkap bahwa tidak ada negara yang mencapai kesetaraan gender total, tetapi di antara negara-negara dengan rekam jejak terbaik adalah Swedia, Uruguay, Kamboja, Finlandia, dan Belanda.

Lebih jauh Kanem mengatakan bahwa pemerintahlah yang seharusnya memainkan peran utama untuk memenuhi kewajiban di bawah perjanjian HAM, dan mengubah struktur sosial, politik, kelembagaan dan ekonomi yang memperkuat ketidaksetaraan gender [gtp/hp (Reuters, AFP)]/dw.com/id. []

Berita terkait
Seriuskah Eropa Untuk Akhiri Kekerasan Terhadap Perempuan?
Sejumlah negara Eropa menandatangani perjanjian yang bertujuan untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan, apa hasilnya setelah satu dekade
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.