Yogyakarta - Mutasi virus SARS-CoV-2 menjadi D146G yang sebelumnya diklaim 10 kali lebih menular dari Covid-19 tidak begitu berpengaruh terhadap keparahan penyakit orang yang terpapar virus corona. Sebelumnya diberitakan, di Yogyakarta sudah ditemukan tiga mutasi D146G.
Ketua Pokja Genetik Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM Yogyakarta, Gunadi mengungkapkan, berdasarkan penelitian yang dilakukan di Inggris terhadap 999 orang yang mengidap mutasi D146G menunjukkan tidak begitu berpengaruh terhadap keparahan penyakit. "Memang jumlah virus yang masuk ke dalam tubuh lebih banyak tapi tidak memperparah kondisi mereka," katanya dalam jumpa pers di UGM Yogyakarta pada Rabu, 2 September 2020.
Dijelaskan Gunadi, mutasi D146G merupakan hasil adaptasi virus corona agar tidak hancur oleh sistem imun manusia. Mutasi ini telah tersebar di seluruh dunia dengan persentase sebesar 77,5 persen dari total 92.090 isolat. Mutasi D614G pertama kali ditemukan pada Februari 2020 lalu. "Ditemukannya di Benua Eropa," katanya.
Pihaknya mengambil ribuan sampel isolat dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Namun demikian, ditemukan ada 15 sampel yang diketahui kemungkinan bermutasi tetapi setelah diuji lebih lanjut hanya didapatkan empat isolat yang dianggap bermutasi. “Dari empat sampel itu, tiga sampel dari DIY dan satu sampel dari Jawa Tengah,” katanya.
Memang jumlah virus yang masuk ke dalam tubuh lebih banyak tapi tidak memperparah kondisi mereka.
Anggota peneliti lainnya dari tim Laboratorium Diagnostik FK-KMK, Titik Nuryastuti mengatakan, didapatkannya empat sampel isolat yang bermutasi ini setelah tim mengumpulkan seluruh sampel sampel yang berasal dari 98 fasilitas kesehatan (faskes) di DIY dan 30 faskes di Jawa Tengah.
Menurutnya, sampel dari faskes ini diambil dari berbagai Rumah Sakit, Puskesmas dan Dinas Kesehatan. “Sampel di DIY lebih dominan, tercatat 11.250 sampel dan 4.311 sampel dari Jawa Tengah. Secara keseluruhan ada 1.083 yang dinyatakan positif,” ucapnya.
Dekan FK-KMK UGM, Ova Emilia mengatakan, penelitian dari UGM tersebut masih awal. Namun diharapkan dapat dilanjutkan untuk pengembangan vaksin ke depan. "Saya berharap apa yang kami temukan dapat berdampak pada strategi kesehatan masyarakat maupun di rumah sakit," kata dia.
Namun meski pengembangan vaksin terus dilakukan, hal itu bisa saja tidak terlalu efektif karena virus terus bermutasi. Karenanya imbauan pemerintah untuk mentaati protokol kesehatan dinilai lebih efektif untuk menghindari penularan Covid-19.
"Vaksin bila efektif hanya dalam dua bulan, itu tidak ada gunanya. Sehingga kami belum tahu, vaksin itu efektif dua tahun maka baru berdaya guna. Karena itu semua harus mawas diri mengubah cara kita sehari-hari mentaati protokol kesehatan," imbuhnya. []