Penjahit Jalanan, Karena Laki-laki Pantang Berpangku Tangan

Penjahit jalanan, karena laki-laki pantang berpangku tangan. Laki-laki adalah pejuang bagi istri dan anak-anaknya.
Penjahit Jalanan | Mahmud (60) mencari nafkah dengan cara menjadi penjahit jalanan di pojok Taman Barkah, samping Kodim Jakarta Timur. (Foto: Tagar/Siti Afifiyah)

Jakarta, (Tagar 31/7/2018) - Pohon-pohon besar berdiri kokoh di Taman Barkah di samping Gedung Kodim Jakarta Timur. Dedaunan rindang dari pohon-pohon besar itu memberikan kesejukan pada orang-orang yang bernaung di bawahnya. Beberapa orang duduk di bangku, beberapa berjalan lalu lalang.

Di pojok taman itu ada pos polisi bersebelahan dengan toko duplikat kunci dan stempel. Di sekitarnya terdapat tujuh mesin jahit. Empat mesin jahit dalam keadaan menutup di bagian tengah, tiga mesin jahit terbuka di tiga lokasi menyebar dengan pemiliknya masing-masing. 

Seorang dari penjahit itu bernama Mahmud (60), posisinya tepat di depan toko duplikat kunci dan stempel, toko berukuran kurang lebih satu meter.

Mahmud duduk menghadap mesin jahit, tepat di pintu masuk taman, orang-orang lalu lalang di depannya. 

Daun-daun rindang dari pohon besar melindungi Mahmud dari cuaca panas menyengat siang itu, Senin (30/7).

Ayah tujuh anak itu bercerita, baru saja melayani seorang ibu yang datang dengan rok baru dengan bawahan yang kepanjangan. 

"Ia meminta roknya itu dipendekkan. Ya sudah, saya potong bagian bawah kemudian saya jahit, jadi pas sampai mata kaki, tidak kepanjangan lagi," tutur Mahmud tersenyum ramah. 

Dari jasa memotong dan menjahit rok itu Mahmud mendapat imbalan Rp 15.000.

Dari pagi sampai mendekati pukul 12.00 Wib, kata Mahmud, ia baru dapat pelanggan seorang ibu itu saja.

"Ya begini kalau lagi sepi," katanya.

Masa panen bagi penjahit jalanan seperti Mahmud terutama pada Hari Raya Idul Fitri dan tahun ajaran baru.

Menjelang Lebaran, nyaris semua orang dari anak-anak, remaja, dewasa, membeli baju baru. Di antara mereka ada saja yang bajunya kebesaran, celana atau rok kepanjangan, lengan kepanjangan, dan seterusnya. Situasi itu memungkinkan Mahmud dan kawan-kawannya mendapat aliran rezeki lebih besar dari hari-hari biasa.

Demikian juga pada tahun ajaran baru, banyak anak membeli seragam taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas. Di antara mereka ada saja yang baju, rok atau celananya kepanjangan atau kebesaran, mesti mendapat sentuhan dari tukang permak seperti Mahmud, sehingga pakaian menjadi pas di badan, nyaman dipakai, dan enak dipandang.

Pada hari-hari penting tersebut Mahmud bisa dapat Rp 300.000 sehari. Tapi, pada hari-hari biasa penghasilannya tak menentu.

"Kadang Rp 30.000, Rp 40.000," Mahmud menyebut rata-rata penghasilannya dalam sehari.

"Penghasilan cukup buat makan, buat menyambung hidup," ia tersenyum lebar. 

Taman BarkahTaman Barkah di Kelurahan Rawa Bunga, tampak dari kejauhan ada penjahit menghadap jalan raya. (Foto: Tagar/Siti Afifiyah)

Mahmud mengutak-atik smartphone, membuka gallery, menunjukkan foto-foto wisuda anak kelimanya, anak perempuan bernama Novia Cahyaningrum, seorang sarjana ekonomi.

"Bulan empat kemarin dia wisuda, bulan enam menikah," wajah Mahmud sumringah.

Ia menyebut semua anaknya sudah mandiri, sudah bekerja dan menikah. Mahmud punya 13 cucu. Walaupun anaknya yang sarjana cuma satu, enam lainnya cuma lulusan sekolah menengah kejuruan, Mahmud mengaku dirinya sangat bersyukur.

Mahmud tinggal di lingkungan rumah penduduk di belakang Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Ia menempati rumah peninggalan orangtua.

Awalnya Mahmud dan semua anggota keluarganya tinggal di situ, kemudian satu persatu anaknya menikah, membangun kehidupan sendiri di luar sana.

Ayahnya asal Ponorogo, Jawa Timur, ibunya berasal dari Medan, keduanya bertemu di Jakarta.

"Saya lahir di Jakarta, saya Betawi," kata Mahmud. Tujuh anaknya, dua laki-laki dan lima perempuan. Istrinya meninggal tahun 2010.

Dua tahun terakhir Mahmud jadi penjahit jalanan, berbekal satu mesin jahit, duduk di tepi jalan, melayani orang-orang yang membutuhkan jasanya.

Ia mengaku untuk mendapat tempat meletakkan mesin jahit dan dirinya duduk di pojok taman itu, tak membayar sepeser pun pada siapa pun.

"Nggak bayar sama sekali, nggak ada penguasa, Trantib (sekarang lazim disebut Satpol PP) nggak minta," katanya.

MahmudMahmud membuka smartphone, menunjukkan foto-foto wisuda anaknya. (Foto: Tagar/Siti Afifiyah)

Mahmud menyebut dirinya saat ini tinggal menikmati hari tua. Bisa memberikan pendidikan pada tujuh anaknya adalah kelegaan terbesarnya.

Menjahit di pinggir jalan, katanya, "Daripada nganggur."

Walaupun anaknya melarangnya, anaknya sudah menyiapkan anggaran untuk membayar listrik dan air, Mahmud mengatakan dirinya tidak terbiasa ongkang-ongkang kaki.

"Bayar listrik, air, ada anak. Tua, daripada nggak ada kegiatan," katanya.

Ia menyebut dirinya laki-laki, seorang pejuang, pantang berpangku tangan. Laki-laki harus berjuang bagaimana pun caranya mencari nafkah secara halal demi mencukupi kebutuhan istri dan anak-anak.

Prinsip hidup itu membuat Mahmud tak gengsi bekerja apa saja. Sebelum jadi penjahit, kenang Mahmud, ia pernah bekerja jadi tukang bangunan, berdagang pakaian, jadi tukang pembersih AC. 

"Bekerja apa saja yang penting halal," katanya. 

Begitu caranya bertahan hidup di kota besar sekeras Jakarta, di hari tua pun ia tak mau hidupnya ditanggung anak. Mahmud ingin membuat dirinya berguna dengan bekerja. 

Setiap hari dari rumahnya Mahmud berangkat kerja dengan mengendarai sepeda motor. Kadang saat ia menjahit di tepi jalan, ada orang mencari tukang ojek, saat seperti itu Mahmud mempersilakan temannya memakai motornya untuk mengantar orang tersebut. Rezeki ada saja jalannya. 

MahmudMahmud (nomor dua dari kiri) dengan menjadi penjahit jalanan,bisa membiayai kuliah anaknya, Novia Cahyaningrum (ketiga dari kiri) sampai menjadi Sarjana Ekonomi. (Foto: Dok. Mahmud)

Mahmud menjelaskan, untuk jasa pemotongan celana bagian bawah, ia menetapkan tarif Rp 10.000. Kalau ada baju robek bagian leher misalnya, ia akan menjahitnya dengan rapi dengan tarif Rp 10.000 juga. 

Ia mengaku belajar menjahit secara otodidak. "Tidak terlalu sulit memotong-motong, kecuali bikin baju sulit. Cuma renovasi aja, pola sudah jadi, mengecilkan tinggal mengikuti pola."

Hidup ini kata Mahmud tidak ada yang berat. "Asal kita kerja saja. Berat karena tidak mau kerja, tidak mau usaha."

"Alhamdulillah cukup, anak banyak pendidikan sudah, mandiri sudah, ada tanggung jawab," lanjutnya menghela napas lega. 

Mahmud bukan perokok. Ia mematahkan anggapan miring yang kadang memukul rata masyarakat ekonomi bawah lebih mementingkan rokok daripada beli beras. 

"Saya dari tahun 1982 tidak merokok," Mahmud tersenyum lebar. "Karena saya ingin sehat," lanjutnya. 

Ia mengaku dulu merokok tembakau campur ganja, sebelum tahun 1982.

"Sebelumnya parah banget," katanya tentang dirinya di masa yang lalu dengan ganja itu.

Bicara tentang rokok yang kabarnya ada yang gencar mengkampanyekan pentingnya harga mahal untuk rokok, hingga terbit wacana Rp 70.000 untuk satu bungkus rokok, Mahmud merasa tidak harus mengomentarinya karena dirinya bukan perokok.

"Biar saja," katanya akhirnya.

"Naik Rp 70 ribu nggak apa-apa, belinya nyicil, ketengan, sebatang tujuh ribu," sahut seorang bapak berkumis, penjual duplikat kunci yang sejak tadi berdiri sekitar dua meter di depan Mahmud.  

Mahmud tak henti bersyukur anaknya banyak sekolahnya sudah tuntas, kebutuhan sehari-hari juga terpenuhi.

"Peristiwa hidup namanya kelas bawah, cobaan banyak, ekonomi tragis karena kesalahan kita juga. Introspeksi, semua dari diri kita. Kenyataan lebih banyak kesempatan kita raih daripada kesusahan. Setelah kita juga, semua nggak akan susah, semua akan tercukupi," ujar Mahmud tentang perjalanan hidupnya.

Mahmud mengaku tidak stres karena miskin, ia merasa dirinya bukan miskin.

"Aku kaya. Aku merasa cukup," katanya. 

Ketika disebutkan bahwa koruptor lah yang miskin karena merasa tak pernah cukup, selalu kurang, Mahmud tersenyum. 

"Biar saja. Dia yang rasain. Yang penting aku lihat, cukup tahu aja, tidak ambil pusing. Jaga diri kita baik-baik," ujarnya bijak. [o]

Berita terkait
0
Harga Emas Antam di Pegadaian, Rabu 22 Juni 2022
Harga emas Antam hari ini di Pegadaian, Rabu, 22 Juni 2022 untuk ukuran 1 gram mencapai Rp 1.034.000. Simak rincian harganya sebagai berikut.