Pengamat Ekonomi LIPI dan Indef: Janji Prabowo Mustahil Terlaksana

Prabowo Subianto mengatakan jika nanti terpilih jadi presiden, akan membuat Indonesia berdiri di atas kaki sendiri dan tidak perlu mengimpor apa pun.
Calon Presiden nomer urut 02 Prabowo Subianto (tengah) mengenakan topi dari Komandan Jenderal Kopassandi Abdul Rasyid Abdullah Syafii (kanan) pada deklarasi dukungan Komando Ulama Pemenangan Prabowo-Sandi (Koppasandi) di Jakarta, Minggu (4/11). (Foto: Antara/Dhemas Reviyanto)

Jakarta, (Tagar 5/11/2018) - Prabowo Subianto mengatakan  jika nanti terpilih jadi presiden, akan membuat Indonesia berdiri di atas kaki sendiri dan tidak perlu mengimpor apa pun.

Janji ini disampaikan Prabowo dalam acara di GOR Soemantri Brodjonegoro, Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (4/11). 

"Saya bersaksi di sini, kalau insyaallah saya menerima amanat dari rakyat Indonesia, saya akan bikin Indonesia berdiri di atas kaki kita sendiri! Kita tidak perlu impor apa-apa saudara-saudara sekalian! Kita harus dan kita mampu swasembada pangan! Mampu!" ujar Prabowo tegas.

Mungkinkah janji Prabowo tidak akan melakukan impor apapun seandainya ia terpilih jadi presiden?

Peneliti ekonomi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam mengatakan tidak mungkin sebuah negara tidak melakukan impor. 

"Sumber daya ekonomi dan pasar yang dimiliki suatu negara sangat terbatas. Karena itu perlu berinteraksi dengan negara lainnya. Impor menjadi komplementer dalam proses produksi di suatu negara," ujar Latif.

Ia menambahkan saat ini perekonomian global semakin terbuka dan borderless (tanpa batas). "Tidak ada satu negara pun yang tidak mengimpor, termasuk Korea Utara yang banyak mengimpor dari China," katanya.

Latif mengatakan mengurangi impor mungkin tapi menghilangkan sama sekali adalah hal yang mustahil atau sangat tidak mungkin. 

"Yang harus dikurang adalah impor barang-barang konsumsi. Selain itu secara bertahap mungkin kita harus mengurangi impor bahan setengah jadi. Di sini perlunya mengembangkan industri hulu," tuturnya.

Selain itu, kata Latif, bagi indonesia kalau impor berkurang maka kemampuan ekspor juga akan berkurang karena kapasitas produksi untuk ekspor banyak membutuhkan impor bahan baku dan barang modal.

Hal yang sama disampaikan peneliti Indef Rusli Abdullah. Menurutnya dalam era keterbukaan ekonomi, impor adalah sebuah keniscayaan. Sejarah membuktikan, sejak zaman Majapahit, Nusantara telah berdagang dengan negara lain semisal Tiongkok dan negara-negara Timur Tengah. Perdagangan tersebut pada akhirnya bisa dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri Nusantara semisal kain.

Rusli mengatakan pada masa Indonesia modern, impor menjadi sebuah keniscayaan. "Saat ini, tidak ada negara di dunia ini yang bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri, semuanya impor.  Contoh konkrit adalah mi instan yang menjadi salah satu jenis bahan pangan penyangga kemiskinan di Indonesia. (Orang yang kesulitan membeli beras, masih ada alternatif membeli mi instan). Darimana bahan baku mi instan? Impor gandum," ujar Rusli.  

Menurut Rusli, yang bisa dilakukan adalah memperkecil porsi impor dengan meningkatkan produksi dalam negeri. Ia juga mengatakan ada beberapa komoditas yang sekarang masih impor bisa dihilangkan impornya seperti komoditas pertanian, beras dan jagung. Syaratnya, pembangunan sektor pertanian harus benar-benar dioptimalkan. []


Berita terkait
0
Ini Dia 10 Parpol Pendatang Baru yang Terdaftar di Sipol KPU
Sebanyak 22 partai politik (parpol) telah mengajukan permohonan pembukaan akun atau akses Sistem Informasi Partai Politik (Sipol).