Pariwisata Indonesia Sejatinya Asia Landscape Tidak Sekedar Wonderful Indonesia

Ketika Vietnam jadi negara tujuan wisata favorit baru di kawasan Asia Tenggara saatnya Indonesia berbenah
Ilustrasi - Wisatawan berjemur saat umat Hindu melaksanakan upacara Melasti di Pantai Kuta, Badung, Bali, 25/3-2017. (Foto: ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/foc/17)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Catatan: Artikel ini pertama kali ditayangkan di Tagar.id pada tanggal 9 Juli 2023. Redaksi.

TAGAR.id - Berita “Vietnam Jadi Negara Tujuan Wisata Favorit Baru di Asia Tenggara” di Tagar.id (9/7-2023) yang bersumber dari DW (Deutsche Welle) menyebutkan Vietnam jadi negara tujuan wisata favorit baru di kawasan Asia Tenggara cukup menggelitik karena mengalahkan Indonesia.

Pada semester pertama tahun 2023 Vietnam mencatat kedatangan 5,5 juta turis mancanegara dari target 8 juta bahkan diharapan 20 juta di tahun 2023 ini. Laporan Google Destination Insights, Vietnam adalah tujuan wisata ketujuh yang paling banyak dicari dari bulan Maret hingga Juni. Ini membuat Vietnam jadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masuk dalam urutan destinasi favorit 20 besar.

Padahal, daerah tujuan wisata (DTW) sebagai objek pariwisata nasional tersebar di bumi Nusantara, tapi kenyataannya pariwisata dunia hanya mengenal dua DTW di Indonesia, yaitu Yogyakarta dan Bali.

Dilaporkan sebelum pandemi Covid-19, Thailand tetap jawara di kawasan Asia Tenggara dengan kedatangan turis mancanegara sebanyak 19 juta pada tahun 2019. Tahun ini Thailand berharap kedatangan 20 juta turis setelah dihantam pandemi pada tahun 2020-2022. Bahkan, Thailand menggenjot agar kedatangan turis sebanyak 39 juta.

wisata indonesiaIlustrasi – Wisatawan mancanegara selfie di salah satu objek wisata di Pulau Bali (Foto: pair.australiaindonesiacentre.org)

Pariwisata Memerlukan Hospitality

Bandingkan dengan Indonesia seperti dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah wisman tahun 2019 sebanyak 16,11 juta (kompas.com, 5/2-2020).

Kekayaan alam, dan budaya di Nusantara yang membentang di garis Equator dengan 17.504 pulau merupakan aset sebagai objek wisata yang potensial.

Tapi, mengapa hanya dua daerah itu yang menjadi DTW utama turis mancanegara?

Itu terjadi karena pariwisata (tourism) berbeda dengan darmawisata, piknik, melancong, rekreasi, tamasya, liburan, dan lain-lain.

Pariwisata erat kaitannya dengan objek wisata yang menampilkan kehidupan ril di realitas sosial pada social settings, antara lain ciri khas bangsa, budaya dan agama merupakan bagian yang menyatu dengan kehidupan keseharian.

Dan, jangan lupa di dunia pariwisata diperlukan hospitality (keramahtamahan) yang murni tidak sekedar basa-basi. Hanya di Bali turis bisa hanya dengan memakai BH (kutang) dan CD (celana dalam), sementara di Yogyakarta turis juga berpakaian seadanya, seperti kaos singlet dan celana pendek.

Baca juga: Wonderful Indonesia Ternyata Hanya Sebatas Slogan

Sementara di DTW lain, termasuk 10 DTW baru yang dicanangkan Presiden Jokowi, tidak akan ditemukan hospitality seperti di Bali dan Yogyakarta.

Dengan hospitality ciri-ciri khas yang menandai turis mancanegara tersebut tidak menimbulkan gejolak sosial secara horizontal antar penduduk, pendatang dan wisatawan.

Beberapa daerah yang potensial jadi DTW justru membuat aturan yang membatasi ruang gerak wisatawan. Seperti di Kota Mataram, Pulau Lombok, NTB, wisatawan (asing) dilarang memakai pakaian yang memperlihatkan aurat (KBBI: bagian badan yg tidak boleh kelihatan menurut hukum Islam).

Akibatnya, biar pun Pulau Lombok pernah mempromosikan diri sebagai ’Bali and the Beyond’ dengan tagline: “You can see Bali in Lombok but You can not see Lombok in Bali”, tapi ada pembatasan yang justru mengekang aktivitas wisatawan.

Maka, wisatawan manca negara yang mendarat di Bandara Lombok dan turun dari feri di Pelabuhan Lembar dari Pulau Bali langsung ke Pantai Senggigi. Lepas magrib Kota Mataram sudah sepi. Suasana ini berbeda dengan di Senggigi yang tidak kalah ramai dengan suasana di Pantai Kuta, Bali.

Seorang perajin di kios cenderamata dekat mal di pusat Kota Mataram mengeluh karena tidak ada wisatawan asing yang mampir ke sanggarnya. Benda-benda seni, seperti patung, sangat jarang dibeli oleh wisatawan nusantara karena mereka hanya mencari T-Shirt dan perhiasan.

Salah satu kelemahan DTW di Indonesia, selain Yogyakarta dan Bali, adalah kita tidak bisa melihat orang Aceh di Banda Aceh, orang Batak di Pulau Samosir, dan orang Sasak di Lombok.

Memasarkan tujuan-tujuan wisata di Indonesia melalui internet, seperti di situs Indonesia Travel, ke seluruh dunia merupakan salah satu langkah yang tepat di era globalisasi ini.

wisman di malioboroIlustrasi – Wisatawan mancanegera di Jalan Malioboro, Yogyakarta (Foto: avetahotelmalioboro.com)

Semboyan Normatif

Memang, ada beberapa daerah yang menampilkan kehidupan ril keseharian, seperti Dayak di Kalimantan, Tengger di Jatim. Tapi, ini ada di tempat yang sangat khusus sedangkan pariwisata adalah tempat yang menyatu dengan kehidupan perkotaan yang bisa dijangkau dengan akses transportasi umum yang murah.

Coba lihat di Yogyakarta yang selalu diwarnai dengan kehidupan orang Jawa. Misalnya, cara bertutur-sapa, pekaian, dan lain-lain. Hal yang sama terjadi di Bali. Orang Bali selalu ada sepanjang hari dengan pakaian yang khas: kain sarung kotak-kotak dan penutup kepala serta kembang di telinga.

Di Tanah Papua memang kita bisa melihat orang Papua, tapi kita tidak bisa melihat kehidupan orang Papua di social settings.

Begitu pula dengan di Tana Toraja, Sulsel, orang Toraja hanya bisa dilihat ketika upacara kematian yang disebut rambu solo. Selebihnya kita tidak bisa melihat orang Toraja di Tana Toraja.

Jika dikaitkan dengan pariwasata, maka Yogyakarta dan Bali selalu menyuguhkan berbagai kegiatan seni, terutama yang menyangkut pertunjukan, secara rutin dan teragenda setiap hari.

Bandingkan dengan daerah lain yang tidak mempunyai jadwal tetap untuk pertunjukan seni.

Untuk itulah daerah yang mempunyai potensi wisata tapi tidak menjadi DTW utama mengembangkan kehidupan lokal, misalnya, menyediakan daerah-daerah yang khas dengan seni pertunjukan rutin dan terjadwal, barang-barang cenderamata yang khas, serta kuliner yang sehat.

wisman di borobudurIlustrasi – Wisatawan mancanegera di Candi Borobudur, Magelang, Jateng (Foto: dreambigtravelfarblog.com)

Banyak objek wisata di Indonesia justru tidak ada di negara lain, seperti candi, suku-suku asli, dan lain-lain. Tapi, kita kalah bersaing dengan Malaysia yang menyebut diri sebagai ”Truly Asia” yang bisa mendatangkan 20 jutaan wisatawan mancanegara. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya dikunjungi 16 juta wisatawan mancanegara. Padahal, di Malaysia tidak ada objek wisata yang khas Asia, seperti candi.

Sementara pariwisata Indonesia mengonggong dengan semboyan “Wonderful Indonesia” (Indonesia yang luar biasa), tapi tanpa dukungan hospitality.

Maka, perlu mendorong hospitality dan melestarikan pernik-pernik kekayaan alam, kehidupan sosial, budaya, masyarakat asli, dan seni pertunjukan merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan Indonesia sebagai ”Asia Landscape” (pemandangan asia).

Dengan branding (penanda) “Indonesia, Asia Landscape” memberikan gambaran nyata kepada dunia bahwa “Asia ada di Indonesia, tapi Indonesia tidak ada di semua negara Asia”. []

*Syaiful W. Harahap adalah Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Wonderful Indonesia Ternyata Hanya Sebatas Slogan
Pemerintah menggalakkan sektor pariwisata untuk menggenjot devisa dan mendorong perekonomian masyarakat tapi branding pariwisata tidak mendukung
0
Pariwisata Indonesia Sejatinya Asia Landscape Tidak Sekedar Wonderful Indonesia
Ketika Vietnam jadi negara tujuan wisata favorit baru di kawasan Asia Tenggara saatnya Indonesia berbenah