Aji Cahyono, Mahasiswa Magister Interdisiplinary Islamic Studies, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga*
Setan Setan Politik Kan Datang Mencekik, Walau Di Masa Paceklik Tetap Mencekik. Lirik lagu berjudul ‘Sumbang’ yang dibuat dan dinyanyikan oleh Iwan Fals, menurut hemat penulis, akhir-akhir ini dapat dilihat kondisi suramnya politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Dugaan ‘setan politik’ membayangi lingkaran elit istana negara merembet ke alam pikirannya Presiden Jokowi, tentu berdampak negatif dimata publik. Terjerumusnya kedalam pragmatisme politik, dengan membiarkan putranya, Gibran Rakabuming Raka mencalonkan sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres). Meskipun dalam pernyataan sikap Presiden Jokowi ke publik, memilih netral.
Pencalonan putranya, bermodalkan sebagai Walikota Surakarta berjalan 2 tahun, menimbulkan kontroversi dan ketidakwajaran dalam sebuah mekanisme demokrasi yang mengedepankan proses panjang dalam kematangan berpolitik.
Hal ini merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023, pada tanggal 16 Oktober 2023, perihal penambahan frasa tentang pengalaman menjabat sebagai Kepala Daerah dalam Syarat Minimal Capres/Cawapres.
Gugatan judicial review pasal 169 huruf q UU No. 17 tahun 2017 tentang Pemilu, oleh Almas Tsaqibbirru, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta, dikabulkan sebagian, dengan dalil menurutnya, Kota Surakarta dipimpin Gibran, dirasa ada kemajuan.
Sehingga modal pencalonan Gibran dengan berpasangan Prabowo Subianto sebagai Calon Presiden (Capres) yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) secara resmi mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), Rabu, 25/10/2023.
Yang pasti, putusan tersebut adanya indikasi conflict of interest (konflik kepentingan) yang dipimpin Eks Hakim Ketua MK, Anwar Usman, yang telah dijatuhi sanksi pelanggaran etik hukum oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Keluarga (MKMK). Meskipun demikian, fenomena pencalonan Cawapres Gibran sudah resmi, Gelombang protes dari kalangan sipil, baik pegiat demokrasi maupun kalangan pemuda dan mahasiswa.
Wacana ‘Neo-Orde Baru’ terus bergulir menguat di ruang publik. Rezim Presiden Joko Widodo pada akhir masa jabatannya, dipertaruhkan reputasinya, sejak pencalonan putra pertamannya sebagai Cawapres, berpasangan dengan lawan politiknya pada Pilpres 2014 dan 2019, Prabowo Subianto. Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Megawati Soekarnoputri, saat pengarahan Rakornas Relawan Ganjar-Mahfud di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin (27/11/2023), menunjukkan kegeramannya melihat kondisi bangsa telah bergeser menuju otoritarianisme Orde Baru dengan Gaya Baru. Salah satunya yakni penyelundupan hukum Kepemiluan menguntungkan Gibran, dibantu oleh paman iparnya sebagai Hakim MK pada saat itu.
Kemiripan pemerintahan rezim Orde Baru, seperti pernyataan Ketua Umum Yayasan Pendidikan Soekarno, Dade Marhaendra, menanggapi wacana Neo-Orba ditandai adanya masifnya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) oleh elit penguasa yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Sehingga watak Abuse of Power berbahaya, tidak mencerminkan nilai yang terkandung dalam Pancasila, yakni Keadilan Sosial. Hal tersebut merupakan tindakan penguasa melancarkan kepentingannya, baik secara individu maupun kelompok atau korporasi, yang tergabung dalam elit oligarki.
Selain itu, Neo-Orba ditandai dengan penyalahgunaan kekuasaan melalui instrumen negara. Sehingga menjelang pesta demokrasi, yang dikhawatirkan tidak netral. Misalnya, keterlibatan aparat keamanan dalam pembungkaman kebebasan berekspresi warga sipil dalam menyampaikan kritik. Pengakuan dari Budayawan Butet Kartaredjasa, adanya dugaan intimidasi melalui surat pernyataan, agar tidak memuat isi pertunjukan berbau politik. Saat menggelar pertujukan teater bertajuk ‘Musuh Bebuyutan’ di Taman Ismail Marzuki, Menteng Jakarta Pusat, Jum’at, 1/12/2023. Begitupun pengakuan Ketua BEM Universitas Indonesia, Melki Sedek Huang, orangtuanya didatangi oknum aparat keamanan. Begitupun guru SMA-nya mendapatkan telpon, menanyakan kesehariannya Ketua BEM UI, pada masa SMA.
Sebelumnya, Tim Capres Prabowo, melalui kuasa hukum Bambang Widjojanto, dalam gugatan ke MK, pernah menuding Capres Petahana Jokowi sebagai rezim otoriter. Hal tersebut merujuk pada opini yang ditulis Guru Besar Hukum dan Indonesianis Universitas Melbourne, Profesor Tim Lindsley, dalam opini berjudul Is Indonesia sliding towards a ‘Neo-New Order’?, beberapa point menjelaskan bahwa rezim pemerintahan Presiden Jokowi masih belum sepenuhnya bersih dari sisa-sisa militer Orde Baru dan terselamatkan dari gelombang reformasi.
Politik Pecah Belah, yang dapat merusak reputasi Jokowi sebagai Presiden. Karena peranan oligarki terindikasi memperalat instrumen negara dengan cara melakukan represif. Masyarakat sipil berada di bawah tekanan dari penolakan elit dan provokasi Islam. Misalnya, pada 16 September 2018, Polisi pernah membubarkan diskusi akademik yang diselenggarakan di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, diskusi dengan topik ‘pembunuhan orang yang terduga kelompok sayap kiri tahun 1965/6’, yang mengantarkan mantan Presiden Soeharto ke tampuk kekuasaan sebagai Presiden. Diskusi tersebut memantik kemarahan massa-anti komunis.
LBH Jakarta dengan kritik progresif yang vokal, seringkali dituduh oleh lawannya sebagai antek komunisme. Meskipun wacana ini seringkali dibangun oleh Presiden Soeharto saat menjabat. Dan Presiden Jokowi menyerukan bahwa ‘Komunisme’ harus dihancurkan, jika telah bangkit. Meskipun, orang yang terafiliasi Partai Komunisme Indonesia (PKI) dan terduga sebagai pengikut, dilenyapkan dengan insiden tahun 1965-an. Selain itu, komunisme sudah mati secara global dan tidak mendapat dukungan rakyat di Indonesia. Meskipun masih menjadi momok di Indonesia.
Neo-Orba adalah momok dalam demokrasi liberal yang semakin menguat, kondisi negara dengan fenomena multi-partai, tentu dapat memecah konsentrasi dalam pembangunan bangsa. Selain itu, Neo-Orba ditandai dengan peranan Komnas HAM tidak efektif, kemunduran demokrasi dengan memperlemah MK sebagai lembaga peradilan konstitusi, skandal korupsi yang semakin menguat untuk menghantam lawan politiknya, pers dihadapkan dengan ketatnya peraturan soal pencemaran nama baik yang membantu politisi dan oligarki.[]