Untuk Indonesia

Opini: Logo Halal dan Efektifitas Label Haram di Indoneisia

Harusnya yang dibahas adalah bagaimana pelayanan dan sistem yang berlaku selama ini, bukan logonya.
Label Halal Indonesia yan baru (IG gusyaqut)

Sukron Makmun*

Akhir-akhir ini, setiap ada regulasi dari pemerintah selalu dipersoalkan. Ironisnya, yang diperdebatkan adalah kulit bukan isinya. Energi umat habis untuk hal-hal yang kadang belum diketahui secara utuh dan pasti, contohnya ialah soal logo “halal”. 

Harusnya yang dibahas adalah bagaimana pelayanan dan sistem yang berlaku selama ini, bukan logonya.

Dalam hal sertifikasi halal ini, pemerintah sebenarnya bukan mengambil alih fungsi MUI. Sertifikasi halal itu sudah menjadi kewenangan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH) Kementerian Agama (Kemenag), sebuah badan resmi yang dibentuk pemerintah berdasarkan UU No. 33/ 2014. 

Ini yang belum banyak dipahami oleh umat Islam. Ditambah beberapa politisi dan tokoh masyarakat ada yang gemar berpolemik sehingga kegaduhan di ruang publik bertambah. Perbedaan itu hal yang lumrah jika didasari ilmu dan semangat persaudaraan. 

Tetapi akan jadi masalah ketika masing-masing individu/ kelompok itu berargumen atas dasar suka-tidak suka, atau fanatisme (ta’ashub) yang berlebihan. Harusnya masing-masing anak bangsa dapat menjadi part of solution bagi setiap persoalan, bukan sebaliknya, justru semakin memperkeruh suasana (part of problem).

Menteri agama kurang piawai dalam memilih diksi yang pas dengan suasana kebatinan sebagian umat yang paranoid, sehingga terkesan pemerintah telah mempreteli kewenangan MUI. Padahal fatwa halal tetap menjadi tupoksi MUI, di situ ada sinergitas antara pemerintah dan ormas. 

Seandainya bisa dijelaskan dengan baik bahwa pengalihan tersebut adalah dalam rangka menjalankan amanat UU dan PP Nomor 39 Tahun 2021 (tindak lanjut dari UU Nomor 33/ 2014), tentunya akan berbeda.


Labelisasi Haram

Sebelum tahun 1976, pelabelan hanya terbatas pada produk yang haram, sesuai permekes 280/ Men.Kes/Per/XI/ 76 yang hanya mengatur ketentuan peredaran dan penandaan pada makanan yang mengandung bahan yang berasal dari babi. 

Pelabelan seperti itu dianggap lebih efektif, karena peredaran yang haram lebih sedikit kuantitasnya, sehingga pemerintah hanya perlu memberi label pada produk yang mengandung babi. Tapi seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan-perubahan sampai kemudian ada pelabelan “halal” oleh MUI seperti yang berlaku selama ini.

Ajaran Islam melarang seseorang untuk mempertanyakan kehalalan sesuatu yang sudah jelas halal. Secangkir kopi, misalnya, tidak perlu dipertanyakan lagi apakah halal atau tidak? Karena hukumnya sudah jelas. 

Yang sering jadi bahan tertawaan masyarakat adalah, ketika air putih dilabelin halal, bahkan bukan cuma makanan atau minuman, tetapi kulkas, panci, sampai cat juga dilabeli “halal”.

Sudah jadi rahasia umum, proses penerbitan sertifikat halal selama ini memerlukan waktu yang Panjang. Ketika syarat-syarat administrasi sudah lengkap, masih ada tahapan-tahapan lain (verifikasi data, audit, rapat audit, rapat komisi fatwa, dan seterusnya) yang harus dipenuhi, sehingga penerbitannya bisa memakan waktu 1 tahun atau lebih (sesuai aturan paling lambat adalah 21 hari kerja).

Sertifikasi halal adalah untuk kemaslahatan bersama. Harusnya proses registrasi dipermudah. Soal pendekatan (metode), bisa mencotoh Malaysia dan beberapa negara Islam yang lain, di mana pendekatannya adalah pada hasil akhir yaitu “tidak ada kandungan yang diharamkan”. 

Sementara ini, pendekatan kita masih pada proses “tidak boleh menggunakan zat yang diharamkan”, meskipun pada hasil akhir komponen tersebut tidak ada/ tidak terdeteksi mengandung yang haram/ najis. Seperti ini, cukup merugikan kalua dilihat dari sisi ekonomi dan pengembangan riset. 

Sementara, secara prinsip, pemberian label halal dalam suatu negara itu harus bernilai ekonomis. Apalagi, sertifikasi halal memiliki pangsa pasar yang besar, baik untuk kebutuhan dalam maupun luar negeri. Jika demikian, tentu memiliki dampak positif terhadap pendapatan nasional.

Kita optimis bahwa perubahan logo halal adalah bagian dari upaya pemerintah untuk merubah sistem pelayanan sertifikasi halal menjadi semakin baik, mudah dan ramah terhadap pengusaha kecil. Logo hanya tampilan luar, yang lebih penting adalah kualitas pelayanannya, yang harusnya bisa lebih mudah, seperti ajaran Islam yang menghendaki kemudahan.

Di satu sisi, proses penerbitan sertifikat yang lama itu, jadi alasan dari bentuk kehati-hatian (ikhtiyath) agar produk benar-benar terjamin kehalalannya. Namun di sisi lain, asas kehati-hatian itu justru kontradiksi dengan kaidah fikih Madzhab Syafi’i itu sendiri. Hukum asal makanan adalah halal kecuali terdapat dalil yang mengharamkannya. 

Itu sudah konsensus ulama (ijma’u al-ulama’). Jika seorang Muslim hendak membeli makanan yang tanpa ada cap/ logo halalnya di sebuah toko/ warung, artinya, makanan itu halal dan boleh untuk dikonsumsi. 

Pembeli tidak perlu berburuk sangka, selama tidak ada indikasi kuat bahwa produk tersebut terbuat dari bahan haram/ terkontaminasi dengan najis. Kaidah “al-ashl fi al-atimah al-halal” itu qat’i, maka hanya dalil qat’i yang dapat merubah statusnya dari halal menjadi haram. Kurang tepat jika makanan yang hukum asalnya adalah halal, harus dilabeli halal (tahshilu al-hasil). 

Harusnya kembali seperti dulu lagi, pemerintah cukup menerbitkan sertifikat haram, karena Indonesia adalah negara mayoritas Muslim. Yang lebih dibutuhkan adalah label haram, bukan sebaliknya. Itu akan lebih memudahkan masyarakat, terutama bagi pelaku UKM. Konsumen tidak perlu lagi risau ketika menemukan makanan tanpa label halal. Tanpa label, artinya sudah jelas halal.

UU sistem jaminan produk halal (JPH) pasal 4 menyatakan bahwa produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikat halal. Apakah logis jika Klepon, gethuk, cireng dan berbagai jenis jajanan pasar harus bersertifikat halal? Tentu tidak mungkin. Tapi UU-nya sudah disahkan. Pembuatnya tentu sudah tahu bahwa pasal itu nantinya tidak akan diterapkan sepenuhnya untuk semua produk/ objek. Hanya membidik sebagian yang bisa dibidik.


Logo Halal Indonesia

Soal logo, sebetulnya dari sisi seni itu bagus, karena mengigatkan bahwa Islam menyebar ke tanah Jawa melalui media seni budaya. Gunungan bukan Jawa sentris, karena wayang sudah menjadi warisan budaya nasional Indonesia. 

Menurut rilis resmi Kemenag, label halal Indonesia yang baru, terdiri dari logogram berupa bentuk gunungan dan motif surjan dengan tulisan halal dalam huruf Arab (Ha, Lam, Alif, dan Lam) dalam satu rangkaian yang membentuk kata “halal”, dan logotype tulisan “Halal Indonesia”.

Meskipun demikian, bagi sebagian masyarakat, bahkan yang non muslim sekalipun, ternyata lebih terbiasa dengan logo lama yang konvesional. Bagi yang tidak biasa berkelindan dengan huruf Arab, memang agak susah menangkap tulisan “halal” pada logo lama, apalagi logo baru itu lebih mengedepankan sisi estetika dari pada yang lain.

Menurut sebagian orang, lebih baik logo lama dipertahankan, Tulisan MUI-nya saja yang dihilangkan. Masyarakat terlanjur familiar dengan logo lama. Mengganti total berarti perlu sosialisasi lagi dari nol. 

Selain memerlukan banyak pengeluaran untuk desain dan hak cipta. Dana untuk itu, lebih baik dialokasikan untuk hal lain, seperti untuk membangun madrasah atau pesantren yang fasilitasnya masih di bawah standar.

Ketika label halal diurus oleh pemerintah (bukan lagi ormas). Maka yang harus diperhatikan adalah soal transparansi keuangan. Karena selama ini, pertanggungjawaban keuangan hasil sertifikasi belum pernah dilakukan MUI secara transparan. 

Pemerintah juga harus mengupayakan agar sertifikasi halal Indonesia dapat diakui secara internasional. Itu lebih penting dari sekadar ganti logo atau filosofi yang terkandung di dalam logo itu sendiri.


Non Muslim dan Label Halal

Di negara-negara Eropa, label halal juga disematkan. Meskipun muslim merupakan kelompok minoritas di sana. Artinya, di berbagai negara, kebutuhan umat Islam itu dipenuhi. Untuk pengadaan produk-produk halal, pemerintah setempat yang notabenenya adalah non muslim tetap membantu. 

Tidak hanya di Eropa, di Tiongkok pun banyak warung dan restoran yang berlabel halal. Bahkan di setiap pasar induk, pemerintah memastikan ketersediaan daging dan produk halal lainnya. 

Di tanah air, mayoritas pembayar label produk halal, dari segi “kuantitas dana” adalah kalangan non muslim. Bahkan sistem jaminan halal ini pun, sejatinya adalah bentuk pelayanan negara terhadap umat Islam, dan yang paling diuntungkan adalah umat Islam. Jadi sangat tidak pantas umat Islam meributkan soal logo, juga tidak perlu merasa selalu terzalimi oleh pemerintah atau oleh umat lain. []


*Intelektual muda NU, sekretaris MUI Banten bidang Fatwa

Berita terkait
Di Rakernas IPEMI, Ketua DPD RI Dorong Pengusaha Muslim Ambil Ceruk Pasar Halal
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mendorong pengusaha Muslim untuk mengambil ceruk pasar halal dalam negeri yang memiliki potensi besar.
25 Ribu Kuota Sertifikasi Halal Gratis Bagi Usaha Mikro Kecil
BPJPH Kemenag mulai membuka pengajuan sertifikasi halal gratis bagi usaha mikro dan kecil (UMK) melalui Program Sehati
Catat, Ini Tarif Layanan Permohonan Sertifikasi Halal
Kemenag terhitung 1 Desember 2021 mulai memberlakukan tarif layanan Badan Layanan Umum (BLU) Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal BPJPH.