Nganjuk, (Tagar 2/8/2017) – Praktik aborsi ilegal di Kecamatan Tanjung Anom yang melibatkan seorang dokter dibongkar aparat Kepolisian Resor Nganjuk, Jawa Timur.
“Pengungkapan kasus itu berawal dari laporan masyarakat yang curiga ada praktik aborsi di rumah dr WB (77), warga Kelurahan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk. Sebelumnya informasi saja dan kami lakukan pengamatan. Kepergok ada pasien, seorang wanita masuk ke dalam rumah itu," kata Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Nganjuk AKP Gatot Setyo Budi di Nganjuk, Rabu (2/8).
Ia mengatakan, polisi juga langsung masuk ke dalam rumah dokter WB tersebut dan mendapati ada seorang perempuan dan dua orang laki-laki. Perempuan ini berinisial DSB (28), warga Dusun Tawang, Desa Samirono, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Ia diduga telah menggugurkan kandungannya dengan cara aborsi dan ditangani dokter WB.
Polisi akhirnya mengamankan DSB dan suaminya yang juga di lokasi dokter itu, yaitu IRM (44). Ia adalah seorang karyawan swasta. Selain itu, polisi mengamankan SMY (39), warga Desa/Kecamatan Ngrambe, Kabupaten Ngawi, yang merupakan perantara.
Polisi sempat meminta keterangan awal terkait dengan keberadaan mereka di rumah dokter WB, dan ternyata diakui DSB baru menggugurkan kandungannya.
Petugas sempat melakukan pemeriksaan di seluruh lokasi rumah untuk menemukan barang bukti hasil aborsi. Setelah melakukan pencarian, petugas menemukan janin berada di dalam "Dashboard" mobil yang dibungkus tas plastik berwarna hitam.
Selain mengamankan janin tersebut, polisi menyita sejumlah perlengkapan untuk aborsi, misalnya gunting penjepit, obat, injeksi, mangkok tempat obat, botol infus, sabun, alkohol, uang tunai Rp 2,5 juta, serta sejumlah barang lainnya. Seluruhnya dibawa petugas sebagai barang bukti.
Gatot menambahkan, dari hasil pemeriksaan, dokter WB diketahui merupakan seorang pensiunan. Namun, ia masih punya izin praktik sebagai dokter umum bukan dokter kandungan. Dokter tersebut mengaku sudah sekitar tiga tahun melakukan praktik aborsi dengan pasien beragam usia.
Dalam satu bulan, setidaknya 3-4 pasangan meminta jasanya untuk aborsi. Selama praktik, selain pasangan suami istri, juga terdapat pasangan muda. Janin yang diaborsi biasanya dikembalikan ke pasien, namun ada pula yang dibuang ke tempat sampah.
"Menurut pengakuan tersangka, dia sudah tiga tahun. Dia juga masih punya izin praktik, masih aktif, tapi dokter umum bukan dokter spesialis kandungan," ujarnya.
Dalam menjalankan usaha aborsi ilegal itu, Gatot mengatakan dibantu SMY. Ia bertindak sebagai perantara sekaligus negosiator. Harga yang dipatok adalah Rp 7 juta dengan pembagian 60 persen dan 40 persen. Uang tersebut diberikan sebelum aborsi dilakukan. Namun, harga tersebut juga bervaratif, tergantung kesepakatan.
Kepada petugas, DSB mengaku nekat melakukan aborsi. Ia ikut program KB, tapi ternyata terburu hamil sejak Juni 2017. Ia memilih untuk aborsi, karena belum siap memiliki anak.
"Dari pengakuan yang menggugurkan kandungan, dia menjalankan program KB tapi kebobolan mulai Juni lalu, jadi ini masuk tiga bulan dan pasangan itu sepakat menggugurkan kandungannya," tuturnya.
Polisi menetapkan seluruh yang terlibat sebagai tersangka, termasuk perempuan yang aborsi itu. Namun, ia masih mengalami pendarahan pascaaborsi yang telah dilakukannya dan mendapatkan perawatan di RS Bhayangkara, Nganjuk.
Polisi akan menjerat pelaku dengan Pasal 80 ayat (3) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman pidana paling lama 15 tahun dan denda maksimal Rp 3 miliar. (yps/ant)