Mungkinkah Postur APBN Tanpa Perubahan?

Mengapa Jokowi tak merubah postur dari APBN?
Pada APBN 2018, asumsi awal keseluruhan penerimaan negara sebesar Rp 1.894 triliun. Tapi, justru keseluruhan penerimaan negara pada tahun 2018 sebesar Rp 1.903. (Ilustrasi: Tagar/ Gilang)

 Jakarta, (Tagar 17/7/2018) - Presiden Joko Widodo memutuskan untuk tidak mengajukan perubahan terhadap rancangan anggaran perubahan, yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2018 kepada DPR. Itu artinya, pemerintahan Jokowi menjadi pemerintahan pertama dalam sejarah pemerintahan Indonesia, yang tak merubah APBNnya sejak era reformasi.

Mengapa Jokowi tak merubahnya? Sebab, Jokowi menilai postur dari APBN sebelumnya yang sudah baik, dan tidak mengharuskan pemerintah merubah anggarannya.

"Karena postur APBN cukup baik dan tidak mengalami deviasi yang besar dari sisi jumlah penerimaan negara dan jumlah belanja negara, dan defisit lebih kecil dari yang direncanakan, maka Bapak Presiden menyampaikan bahwa untuk APBN 2018 ini kita tidak melakukan APBN Perubahan," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Istana Bogor, Senin (9/7).

Pada APBN 2018, asumsi awal keseluruhan penerimaan negara sebesar Rp 1.894 triliun. Tapi, justru keseluruhan penerimaan negara pada tahun 2018 sebesar Rp 1.903. Pendapatan negara itu diperkirakan lebih tinggi sebesar Rp 8,3 triliun.

Dari sisi belanja negara, diperkirakan dengan penyerapan sekitar 95 persen hingga 96 persen, akan mencapai Rp 2.217,3 triliun hingga akhir tahun.

"Maka kita memperkirakan defisit anggaran untuk keseluruhan tahun anggaran 2018 hanya sebesar Rp 314,2 triliun. Angka ini lebih kecil dari UU APBN  yang sebesar Rp 325,9 triliun. Jadi nominalnya mengecil,"  jelasnya.

Untuk asumsi lain seperti nilai tukar rupiah, harga minyak dan pertumbuhan ekonomi, menurut Sri Mulyani akan terus diantisipasi pergerakannya. Agar tak menganggu kinerja penerimaan, maupun belanja yang sudah ditetapkan.

"Pergerakan itu ada di UU APBN yang sudah mengamanatkan untuk bisa teralokasikan," ucap Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini.

Saat ini, diketahui beberapa asumsi makro dalam APBN sudah tidak sesuai dengan realisasi rata-rata, seperti harga minyak mentah (ICP), nilai tukar rupiah dan produksi jual (lifting) minyak.

ICP, yang diasumsikan sebesar 48 dolar AS per barel, realisasinya hingga akhir Mei 2018 sudah mencapai 66 dolar AS per barel. Sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, sudah lebih tinggi dari asumsi APBN Rp 13.400.

Serahkan ke Pemerintah
RUU APBN maupun APBN Perubahan merupakan satu-satunya inisiatif undang-undang yang berasal dari Presiden. Maka, jika presiden mengajukan APBN yang sama, yakni APBN 2018 dari APBN 2017 menjadi hak prerogatif presiden.

Sebagai penerima usulan, DPR, menyerahkan sepenuhnya APBNP yang merupakan kewenangan dari pemerintah.

"Ada atau tidak adanya APBNP 2018 merupakan kewenangan penuh pemerintah sebagai pihak eksekutif," ungkap Anggota Komisi XI Muhammad Misbakhun saat dihubungi Tagar News melalui pesan Whatsapp, di Jakarta, Selasa (17/7).

Hanya saja ada hal yang harus diperhatikan pemerintah jika tak melakukan perubahan dalam APBNnya.

"Masalah perubahan nilai tukar dan harga minyak menjadi faktor yang dapat mempengaruhi postur APBNP 2018," sambung Politikus Golkar itu.

Sama halnya dengan Misbakhun, Anggota DPR Komisi XI dari Fraksi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari pun menyerahkan sepenuhnya pengajuan RAPBN pada pemerintah.

"RAPBN adalah undang-undang yang jadi prerogatif pemerintah. Jadi terserah pemerintah," tutur Eva.

Eva pun tak segan mengungkapkan pujiannya terhadap pemerintah, yang dalam hal ini tak ada membuat perubahan pada RAPBN 2018. Menurutnya, perencanaan budget yang dirancang pemerintah semakin bagus yang bisa mengurangi kemungkinan mal praktik anggaran.

"Perencanaan budget makin bagus, deviasi sedikit jadi tidak perlu mengajukan RAPBN-P. Kita apresiasi. Akuntabilitas meningkat, mengurangi kemungkinan untuk malpratik," tukasnya.

RAPBNPostur anggaran APBN 2018 yang dikeluarkan Kementrian Keuangan. (foto: kemenkeu.go.id)

Kacamata Ekonom
Mungkin, APBN tanpa perubahan ini menuai komentar dari berbagai kalangan. Ada pujian maupun kritikan. Namun, jika melihat dari kacamata Ekonom, asumsi makro APBN 2018 sudah tak realistis dari kondisi sesungguhnya kini.

"Melihat asumsi makro pada APBN 2018 yang sudah banyak meleset dari kondisi faktual mestinya pemerintah perlu segera melakukan revisi atas penyesuaian APBN 2018," ucap Ekonom INDEF Abra Talattov kepada Tagar News saat dihubungi, di Jakarta, Selasa (17/7).

Seperti yang dijabarkan Abra, ada empat poin yang disoroti dari asumsi makro pemerintah sudah yang meleset.

1. Target pertumbuhan ekonomi 2018 sebesar 5,4%, sedangkan pada triwulan I-2018 pertumbuhan ekonomi naik di bawah ekspektasi yakni hanya 5,06%.

2. Asumsi nilai tukar Rupiah 2018 dipatok Rp13.400 per dolar. Padahal sampai saat ini sudah menyentuh Rp 14.000 per dolar.

3. Harga minyak mentah Indonesia (ICP) dipasang 48 dolar per barel. Sedangkan rata-rata harga ICP dari bulan Januari - Juni 2018 sudah mencapai 66,55 dolar per barel.

4. Realisasi lifting minyak Januari-Maret 2018 sebesar 750,6 ribu barel per hari (bph), 95 persen dari target APBN 2018 (800 ribu bph).

Target-target dalam APBN 2018 yang sudah tak realistis dan sulit dicapai akibat perubahan kondisi perekonomian global dan domestik sepanjang tahun, sebenarnya harus benar-benar dirubah. "Apabila pemerintah tidak melakukan perubahan APBN 2018, publik justru akan menilai kebijakan fiskal pemerintah semakin tidak kredibel," begitu kata Abra.

Setiap perubahan APBN yang dilakukan pemerintah dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, menurutnya bukan tanpa alasan. Sebab, selalu terjadi dinamika makro dalam perekonomian. Jika tak ada perubahan didalamnya, maka defisit APBN mungkin akan semakin lebar.

"APBN tidak direvisi untuk menghindari penyimpangan sangat tidak beralasan, sebab sudah 10 tahun terakhir pemerintah selalu melakukan perubahan APBN karena terjadinya dinamika makro," jelasnya.

Justru akan membahayakan, jika pada kenyataanya, pertumbuhan yang dipatok terlalu tinggi dengan ekspektasi pertumbuhan penerimaan pajak tinggi, tak sesuai dengan target APBN. POadahal pertumbuhan sektor riil tidak tumbuh setinggi seperti yang ditargetkan pada APBN.

Dampak yang ditimbulkan jika APBN 2018 tanpa perubahan, katakanlah benar-benar tidak dirubah, yaitu akan melebarnya defisit  penentuan asumsi makro pada APBN 2019.

"Lalu, asumsi makro pada APBN 2018 juga akan menjadi dasar bagi penentuan APBN 2019, yang pasti akan lebih over confidence. Akibatnya, defisit APBN juga akan semakin lebar," urainya.

Belum lagi, harga ICP dan nilai tukar Rupiah yang melampaui asumsi, dipastikan akan membebani BUMN. "Juga misalnya dengan harga ICP dan nilai tukar Rupiah yang sudah jauh melampaui asumsi akan membebani BUMN, yang mendapatkan tugas PSO seperti PLN dan Pertamina," sambung Abra.

Meski wewenang penuh ada di pemerintah, namun Abra menilai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku wakil rakyat, harus melakukan fungsi pengawasannya. Karena, APBN tanpa perubahan akan merugikan masyarakat.

"APBN-P memang prerogatif pemerintah, tapi DPR memiliki hak budget dan fungsi pengawasan terhadap kebijakan fiskal. Dengan APBN yang tidak lagi mencerminkan kredibilitas maka yang dirugikan adalah masyarakat," imbuhnya.

Deviasi yang digadang-gadang tidak mengalami deviasi yang besar, menurut Abra terlihat bagus hanya karena penerimaan negara yang mendapat windfall profit.

"Deviasi yang seolah-olah terlihat bagus dikarenakan penerimaan negara yang mendapat windfall profit akibat kenaikan harga komoditas minyak, batubara, CPO, dan sebagainya, serta lambatnya belanja negara, terutama belanja modal," tegasnya.

Dengan begitu, kesimpulannya, mau tak mau, tetap saja pemerintah harus melakukan penyesuaian dalam APBN 2018. Sebab, APBN tanpa perubahan tak bernilai positif, malah menyisakan dampak negatif.

"Pemerintah harus melalukan penyesuaian," tutup Abrav mengakhiri percapakan dengan Tagar News. (nhn)






Berita terkait