Jakarta - Berdasarkan hasil Global Youth Tobacco Survey (GYTS) tahun 2019, sebanyak 56% pelajar melihat orang merokok di sekolah ataupun di luar sekolah dan 60,6% pelajar tidak dicegah ketika membeli rokok.
Terkait hal ini, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyatakan hal tersebut menyalahi aturan yang diamanatkan PP No. 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
"Kita perlu menetapkan sanksi tegas bagi siapapun yang melanggar aturan, tidak hanya pelajar atau mahasiswa, tetapi juga tenaga pendidik," tuturnya saat menjadi pembicara High Level Meeting MPKU PP Muhammadiyah yang diselenggarakan daring, Kamis, 8 April 2021.
Ketika saya berkunjung ke Kepulauan Nias, keluarga dengan anak stunting yang saya temui ternyata ayahnya adalah perokok.
Dengan tegas, Menko PMK menyebut, pelarangan merokok di lingkungan pendidikan harus ditegakkan secara menyeluruh, baik di sekolah maupun pesantren melalui Program Sekolah Ramah Anak dan Pesantren Ramah Anak.
Kawasan Tanpa Rokok di sekolah menurutnya, sebaiknya tidak hanya melarang aktivitas merokok, namun juga perlu menerapkan larangan penjualan rokok di lingkungan pendidikan seperti kantin sekolah dan warung/toko sekitar sekolah.
Lebih lanjut Muhadjir mengemukakan, pelarangan iklan rokok harus dipertegas. Sebab, terpaan iklan rokok melalui media online memiliki kekuatan pengaruh signifikan terhadap sikap merokok pada remaja sebesar 31,8%.
"Selama pandemi ini kegiatan belajar mengajar berlangsung secara daring sehingga anak memiliki kesempatan lebih besar untuk terpapar iklan rokok di internet. Karena itu, kita perlu sama-sama mendorong agar pelarangan total iklan rokok terutama di internet dapat diwujudkan," tegasya.
Adapun target pemerintah di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, prevalensi merokok pada usia anak dan remaja turun dari 9,1 menjadi 8,7 pada tahun 2024. Sejalan dengan tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu menjadikan SDM berkualitas dan berdaya saing.
Sementara pemerintah, telah menyusun strategi pengendalian tembakau. Mulai dari pengembangan kawasan kabupaten/kota sehat, perluasan layanan berhenti merokok, peningkatan cukai hasil tembakau, pelarangan total iklan dan promosi rokok, peningkatan tarif cukai rokok, hingga penguatan pelaksanaan penyaluran bansos dan subsidi terintegrasi.
"Sesuai arahan presiden, kita harus pastikan uang bansos itu tidak dipakai untuk konsumsi rokok. Ibu Mensos sekarang sudah menetapkan PKH tidak akan diberikan kepada keluarga miskin yang kepala keluarganya merokok," tegas Muhadjir.
Bahkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik melalui Susenas Maret 2019 diketahui bahwa pengeluaran untuk rokok dan tembakau menempati urutan kedua terbesar pada kelompok makanan setelah makanan dan minuman jadi. Pengeluaran untuk rokok dan tembakau 2,2 kali lebih besar dari pengeluaran untuk susu dan telur.
"Bahkan ketika saya berkunjung ke Kepulauan Nias, keluarga dengan anak stunting yang saya temui ternyata ayahnya adalah perokok. Bisa Anda hitung pengeluaran untuk sebungkus rokok sehari sekitar Rp15.000 sampai Rp20.000 yakni setara dengan 1 kg telur atau ½ kg daging ayam," sebut Menko PMK.
Dia juga menjelaskan, dua cara yang diyakini bisa menjadi solusi yakni memberikan edukasi untuk mendorong perubahan pola konsumsi dalam keluarga sehingga mengutamakan investasi kecerdasan anak sejak istri hamil sampai dengan anak usia dua tahun serta melalui layanan rehabilitasi berhenti merokok.
"Apabila kedua hal tersebut dilakukan maka keluarga rentan miskin dan hampir miskin akan terhindar dari beban stunting di kemudian hari," tandas Menko PMK. []