TAGAR.id, Jakarta – Pemerintah menegaskan bahwa pembangunan wilayah Papua akan terus dilanjutkan meskipun masih ada kejadian teror dari kelompok separatis. Ghita Intan melaporkannya untuk VOA.
Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko, memastikan pemerintah akan meneruskan pembangunan di wilayah Papua apapun situasinya. Hal tersebut, menurut Moeldoko, sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Papua.
“Masyarakat harus paham, bahwa secara umum Papua tidak berkurang dalam proses pembangunan yang terjadi di sana, bahkan pemerintah telah memperkuatnya (dengan) menerbitkan Inpres no 9 tahun 2020. Pendekatan kesejahteraan telah dilakukan luar biasa, untuk itu secara umum Papua dari sisi kesejahteraan cukup baik,” ungkap Moeldoko.
Ia menjelaskan, penerbitan Inpres ini juga merupakan pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah guna melindungi masyarakat sipil dari kelompok separatis yang katanya sampai saat ini kerap melakukan tindakan kekerasan berupa pembunuhan dan pemerkosaan terutama di tiga kabupaten yang dianggap sebagai zona merah, yakni di Kabupaten Nduga, Intan Jaya dan Puncak.
Tindakan teror kelompok separatis ini, katanya, dilakukan agar masyarakat selalu dalam pengaruh mereka dan diliputi rasa ketakutan. Menurutnya, dengan proses pembangunan yang terus dilakukan oleh pemerintah, kelompok separatis ini mulai khawatir akan kehilangan pengaruhnya dari waktu ke waktu.
“Untuk itu, dia (kelompok separatis) berharap dengan tindakan kekerasan itu pemerintah tidak akan melanjutkan pembangunan, tetapi jangan salah, Presiden telah menegaskan apapun situasinya pembangunan Papua akan tetap berlanjut,” tegasnya.
Dalam kesempatan ini, Moeldoko menegaskan pihak TNI/Polri akan mengambil langkah yang lebih tegas kepada kelompok separatis tersebut.
“Terkait dengan kedaulatan, saya ingin mengingatkan pada kelompok separatis, kelompok separatis telah melakukan pelanggaran HAM yang sungguh luar biasa kepada masyarakat sipil, kepada perempuan, anak-anak tentunya pembunuhan dan pemerkosaan. Untuk itu saya mengingatkan, TNI/Polri akan mengambil langkah-langkah yang lebih tegas, demi apa? Demi melindungi masyarakat, demi melindungi bangsa dan negara,” tegasnya.
Menanggapi pernyataan Moeldoko, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay, mengungkapkan pada dasarnya pembangunan di Papua merupakan tanggung jawab dan kewajiban negara guna memenuhi hak konstitusional warga negara khususnya dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) sebagaimana diatur dalam Pasal 28i ayat (4) UUD 1945.
“Atas dasar itu sudah dapat disimpulkan bahwa pernyataan Bapak Moeldoko bukanlah sebagai pernyataan pribadi namun bagian dari perintah Pasal 28i ayat (4) UUD 1945 yang wajib dilakukan oleh negara melalui pemerintah di Papua,” kata Gobay.
Lebih jauh, Gobay menilai proses pembangunan di bumi cendrawasih ini tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan atau konflik yang ada hingga saat ini. Pasalnya, meskipun secara tegas disebutkan dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua yang diubah ke dalam UU Nomor 2 Tahun 2021, yang mengamanatkan pemerintah membentuk Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Papua, namun nyatanya hal tersebut belum terlaksana dengan baik.
“Dengan melihat fakta sejak tahun 2001 - 2023 ini, negara melalui pemerintah belum membangun Pengadilan HAM di Papua yang akan bertugas mengadili pelaku pelanggaran HAM berat serta (belum) membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua untuk melakukan pelurusan sejarah Papua, menyebabkan akar persoalan politik yang memicu konflik di Papua menjadi berkepanjangan,” katanya.
Maka dari itu, menurut Gobay, proses pembangunan di Papua dinilainya akan memenuhi hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) semata. Sementara hak sipil politik tidak kunjung terpenuhi.
“Pembangunan hanya akan memenuhi hak ekosob, dan tidak akan serta merta menyelesaikan persoalan konflik yang bersumber pada basis persoalan politik Indonesia dan Papua yang belum terselesaikan atau dapat disimpulkan, belum adanya pemenuhan hak sipil politik di Papua. Atas dasar itu maka pemerintah yang sedang fokus mendorong pembangunan di Papua wajib juga mendorong penyelesaian persoalan politik antara Indonesia dan Papua untuk menghentikan konflik di sana agar negara melalui pemerintah benar-benar mewujudkan perintah Pasal 28i ayat (4) UUD 1945 di Papua,” jelasnya.
Gobay menuturkan pemerintah Indonesia sebenarnya mempunyai pengalaman dalam menyelesaikan konflik politik, seperti di Aceh yang dilakukan dengan menjalankan perundingan antara Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki. Hal yang sama juga dilakukan pemerintah dalam menuntaskan konflik politik di Timor Timur dengan melakukan Jajak Pendapat Rakyat Timor Timur.
“Pada prinsipnya, kedua fakta hukum penyelesaian persoalan politik di Aceh dan Timor Timur itu bisa digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk mengakhiri konflik di Papua,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan pihaknya menghormati kebijakan pemerintah pusat yang ingin meneruskan pembangunan di Papua. Menurutnya, banyak sekali fasilitas umum seperti akses layanan kesehatan yang bermutu, yang harus diperbaiki dan diprioritaskan oleh pemerintah.
Di luar itu, katanya, kebijakan pemerintah di bidang ekonomi juga harus turut menyertakan partisipasi dan konsultasi dari masyarakat Papua, khususnya orang asli Papua yang terdampak oleh pembangunan.
“Misalnya, hak-hak atas tanah adat mereka. Majelis Rakyat Papua (MRP) misalnya, telah membuat keputusan kultural yang melarang komersialisasi tanah adat. Tentu kebijakan pembangunan yang dibuat oleh pemerintah pusat harus menghormati keputusan MRP tersebut,” ungkap Usman.
Kebijakan pembangunan di Papua oleh pemerintah ini, ungkap Usman, juga harus membawa terobosan yang cukup konstruktif agar tercipta dialog yang cukup inklusif. Sebelumnya, pemerintah pernah mendukung upaya masyarakat sipil yang diprakarsai oleh Jaringan Damai Papua (JDP) untuk menjajaki sebuah dialog. Namun, upaya tersebut menghadapi berbagai penolakan dari semua kelompok politik di Papua karena dialog tersebut dianggap hanya sebuah dialog ekonomi semata, dan bukan dialog inklusif yang meliputi sektor politik.
“Pemerintah perlu mendorong dialog politik itu sebagai upaya untuk mendorong penurunan eskalasi kekerasan di Papua. Sebab, peningkatan layanan umum, pembangunan ekonomi saja ternyata tidak berkorelasi dengan turunnya eskalasi konflik bersenjata. Singkatnya, keinginan untuk melanjutkan pembangunan itu perlu dibarengi dengan menjajaki dialog politik, apalagi mengingat eskalasi konflik bersenjata yang terakhir: penyanderaan pilot dan pembunuhan di luar hukum terhadap sejumlah anggota TNI,” tutupnya. (gi/lt)/voaindonesia.com. []