Mengintip Asal Mula Bobroknya Sipir di Indonesia

Mengintip asal mula bobroknya sipir di Indonesia. Lapas sudah keluar jalur lantaran tak lagi menjerakan para penghuninya. Segala cara dilakukan narapidana, untuk bisa membuat sel tahanannya nyaman dihuni.
Ilustrasi jual beli sel tahanan. (Foto: Tagar/Gilang)

Jakarta, (Tagar 31/7/2018) – Manajemen pengelolaan lembaga pemasyarakatan kembali tercoreng namanya karena kasus suap. Baru-baru ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengungkap adanya tindak pidana korupsi jual beli sel tahanan di lembaga pemasyarakatan (Lapas).

Salah satu aktor penerima suap kali ini adalah Kalapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, yakni Wahid Husein yang diduga membanderol kamar tahanan mewah setingkat hotel bintang lima kepada para tahanan dengan harga Rp 200 juta – Rp 500 juta.

Dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Lapas Sukamiskin pada Sabtu 21 Juli 2018 lalu, lembaga antirasuah menyita dua mobil yaitu satu unit Mitsubishi Triton Exceed hitam dan satu unit Mishubishi Pajero Sport Dakkar hitam serta uang Rp 279,92 juta dan 1.410 dolar AS.

Mobil dan uang tersebut diamankan dari tangan Wahid, stafnya Hendry, narapidana kasus korupsi Fahmi Darmawansyah serta Narapidana kasus pidana umum atau tahanan pendamping Fahmi, Andri Rahmat. Mistubishi Triton tersebut diduga dipesan oleh Fahmi dan diberikan kepada Wahid.

Buntut dari kejadian ini, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM menggelar inspeksi mendadak di Lapas Sukamiskin, Minggu (22/7) lalu, mulai pukul 19.00 hingga 23.00 WIB.

Dalam sidak tersebut, petugas menemukan berbagai barang yang dilarang seperti uang hingga televisi di kamar narapidana. Tak hanya itu, petugas juga menemukan barang-barang lain seperti lemari pendingin, kompor, microwave, handphone, AC, serta barang lainnya.

UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan menyebut salah satu fungsi penjara adalah memberi efek jera. Namun, dalam konteks narapidana kasus korupsi, penjara agaknya harus diakui gagal memberikan efek jera bagi tahanannya.

Boro-boro berupaya menjerakan koruptor di dalam penjara, para koruptor malah melanggar pidana lagi dengan menyogok sipir atau pegawai penjara supaya tetap hidup nyaman di lapas. Namun, tak bisa hanya napi saja yang disalahkan, toh sipir pun dengan enteng menerima sogokan tersebut.

Lapas kini sudah keluar jalur, lantaran tak lagi menjerakan para penghuninya. Segala cara dilakukan narapidana, khususnya bagi mereka yang berduit, untuk bisa membuat sel tahanannya nyaman dihuni.

Padahal, jika kita melihat pada era Hindia Belanda dulu, hukuman mati menjadi pemandangan umum. Bicara soal hukuman mati di Batavia, ternyata jumlahnya cukup banyak, khususnya dari data yang diperoleh dari awal abad ke-18.

Eksekusi hukuman mati biasanya dilakukan di depan Balai Kota dengan disaksikan hakim dari lantai atas. Pada zaman VOC, hukuman untuk pejahat sangatlah keras. Tapi walaupun begitu, biasanya pelaksanaan hukuman mati menjadi 'tontonan' bagi masyarakat sekitar.

Menanggapi hal itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan Indonesia surga bagi koruptor. Menurutnya, ada beberapa hal yang membuat para koruptor merasa nyaman di Indonesia salah satunya adalah vonis putusan yang tidak menjerakan.

“Rata-rata vonis korupsi cuma dua tahun dua bulan dan tidak dimiskinkan. Dengan mereka masih kaya, membuat mereka masih bisa berinvestasi. Ini yang bisa menjadi catatan," ujar Emerson di Jakarta Pusat.

Bahkan, setelah bebas mantan koruptor masih bisa mendaftar pada pemilihan anggota legislatif. Menurutnya, hanya koruptor di Indonesia yang selesai menjalani hukuman masih bisa eksis.

"Cuma di Indonesia yang dia (mantan koruptor) nyaleg kepilih. Hanya di Indonesia koruptor itu dapat keistimewaan boleh nyicil uang pengganti kasus korupsi, di negara lain tidak boleh," pungkasnya.

Asal Mula Bobroknya Lapas

Namun, bobroknya Lapas bukan baru terjadi saat ini. Dahulu masyarakat belum mengenal istilah Lapas untuk penjara.

Dikatakan oleh R.A. Koesnoen dalam Politik Pendjara Nasiona, mengatakan asal-usul kata ‘penjara’ berasal dari bahasa Jawa, penjoro, yang berarti ‘tobat’.

Caranya membuat tobat, para sipir menekan, meneror, dan menggiring narapidana untuk bertobat atau kapok secara lekas. Ternyata penjara tak menghilangkan hukuman badan, melainkan justru melestarikannya.

Menurut Koesnoen, sistem penjara Hindia Belanda hanya bertujuan membuat narapidana bertobat atau kapok.

“Memang tujuan penjara kolonial, maksud utama untuk melaksanakan pidana, agar jangan berbuat melanggar hukum lagi bukan karena baik, tetapi karena kapok,” ungkap Koesnoen seperti Tagar lansir dari historia.id, Senin (30/7).

Padahal, lanjut Koesnoen, tidak dapat seorang narapidana menjadi baik karena dibikin tobat.

Indonesia Zaman DuluIlustrasi Indonesia era Belanda. (Foto: indonesia-zaman-doeloe)


Politik Penjara Nasional

Memasuki era politik penjara nasional, dimana sipir diposisikan sebagai ujung tombak perbaikan tabiat narapidana.

Setiap sipir harus turut serta dengan aktif dan penuh semangat cinta-kasih membimbing para narapidana menjadi seorang manusia Indonesia susila, yang artinya para sipir mesti berupaya keras menjadi teladan bagi para narapidana. Keteladanan mereka berpangkal pada perbuatan keseharian yang baik di dalam penjara.

Para narapidana berperan selayaknya murid sekolah. Mereka mempunyai serangkaian kegiatan dan pendidikan selama masa penahanan. Guru-guru mereka ialah para sipir.

Hubungan keduanya setara, tetapi berbeda dalam tugas. Tak heran jika muncul anggapan bahwa penjara telah menjelma rumah pendidikan negara pada dekade 1950-an. Tapi anggapan ini lantas disanggah oleh perwakilan serikat pegawai penjara.

“Penjara itu tidak diganti dengan RPN (Rumah Pendidikan Negara), tetapi penjara tempat melatih yang maksudnya mendidik, melatih, memperbaiki orang-orang terpenjara dengan jalan berusaha bagaimanakah agar mereka itu kembali ke dalam masyarakat akan menjadi orang yang berguna dan bermanfaat bagi nusa dan bangsanya,” tulis Suara Buruh Kependjaraan, Maret-Mei 1957.

Munculnya Lembaga Pemasyarakatan

Di tahun 1962, muncul kembali perubahan orientasi penjara nasional. Istilah lembaga pemasyarakatan (Lapas) mulai bergaung dari pidato Menteri Kehakiman Sahardjo di Blitar.

Adapun pengertian Lapas Sahardjo jelaskan melalui dua kalimat, pertama bahwa negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum dia dipenjarakan.

“Kedua, tidak boleh selalu ditunjukkan pada narapidana bahwa dia itu penjahat,” sambung dia.

Alhasil, dua kalimat tersebut membawa penjara kepada orientasi perlakuan yang kian humanis terhadap para narapidana. Artinya, dari tempat penyiksaan, penjara diupayakan jadi tempat yang lebih humanis.

Gagasan ini memperoleh perdebatan luas di ranah pemerintahan dan kalangan ahli hukum. Tapi akhirnya konsep ini resmi diterima oleh pemerintah sebagai orientasi baru politik penjara nasional sejak 27 April 1964 lalu.

Selain mengubah orientasi politik penjara nasional, Konferensi Dinas Kepenjaraan juga mengeluarkan prinsip pengelolaan penjara. Antara lain kerjasama triumvirat sipir, para narapidana, dan masyarakat; kegotongroyongan dan penghayatan dari sipir dalam mewujudkan pemasyarakatan; tidak menjadikan bangunan penjara sebagai tujuan pemasyarakatan, melainkan hanya sarana; dan tujuan akhir dari pemasyarakatan adalah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Tapi gagasan ini tak selalu jalan. Ada saja pegawai penjara dan narapidana yang keluar dari gagasan pemasyarakatan. Di luar penjara ada perilaku korup, begitu pula di dalam penjara. Suap-menyuap atau tahu-sama-tahu antara pegawai penjara dan narapidana. Kongkalikong sindikat bohong kadung lumrah di penjara.

“Jadi rentetan instansi-instansi tersebut bukannya bertugas memberantas kejahatan, tetapi mendidik penjahat-penjahat. Jika demikian keadaannya lebih baik semua instansi tersebut dibubarkan,” pungkas Koesnoen.

Namun jika menengok perbuatan sipir dan narapidana rasuah di Lapas Sukamiskin sekarang, masih setujukah dengan saran Koesnoen? [o]

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.