Menggapai Keintiman Malam Pergantian Tahun di Lembah Mandalawangi

Suryakencana hanya terpaut 250 meter saja dari puncak kawah Gunung Gede.
Semilir angin bertiup merdu, dingin yang menusuk rongga tulang membangkitkanku dari mimpi malam yang panjang. (Foto: Tagar/Morteza Syariati Albanna)

Bogor, (Tagar 30/12/2018) - Semilir angin bertiup merdu, dingin yang menusuk rongga tulang membangkitkanku dari mimpi malam yang panjang. Pagi itu awan samar bergumul, tumpang tindih mesra dalam terang fajar menyingsing di padang sabana Suryakencana.

Dari kejauhan, samar suara tukang nasi uduk terdengar. Menjejali dagangannya ke tiap penghuni tenda, ke tiap pendaki gunung yang tengah berdiri untuk summit attack ke atap Gunung Gede di Jawa Barat.

Suryakencana sejatinya hanya terpaut 250 meter saja dari puncak kawah Gunung Gede. Tempat yang tersohor akan padang sabana seluas 50 hektare itu terletak di 3 wilayah kabupaten, yakni Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur.

Untuk menuju Suryakencana, mayoritas pendaki ataupun pegiat running mountain dapat masuk melalui zona Cianjur, melalui jalur Gunung Putri dan jalur Cibodas. Selain itu, terdapat juga akses masuk dari Sukabumi dengan melewati jalur Salabintana, namun tergolong lebih jauh ketimbang melalui track Cibodas dan Gunung Putri.

Selain diharuskan menyiapkan kebugaran fisik serta perbekalan logistik yang cukup, untuk memasuki hutan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), akan dipatok pembayaran Simaksi sebesar Rp 27.500 - Rp 35.000 per orang (belum termasuk surat kesehatan), yang dapat dibayarkan secara langsung di masing-masing pos pendakian, ataupun transfer ke rekening bila melakukan registrasi secara online melalui situs web yang dikelola oleh TNGGP. 

Bila datang secara mendadak, dapat meminta bantuan registrasi Simaksi ke pemandu lokal, meski harga yang ditawarkan bisa dua kali lipat dari harga yang tertera untuk umum.

Bila memiliki waktu yang lebih panjang, harus melakukan swafoto sepanjang perjalanan, disarankan untuk melintasi jalur Cibodas. Track ini menawarkan pemandangan alam yang lebih menawan. 

Pertama, pasti bertemu dengan spot Telaga Biru. Spot tersebut dikelilingi keanekaragaman flora yang telah hidup TNGGP selama ratusan tahun. Bila sinar matahari sedang bagus-bagusnya bersinar, danau tersebut akan mengubah warnanya menjadi hijau tosca.

***

Setelah melewati Telaga Biru, setapak berikutnya yang akan dilangkahi adalah Rawa Gayonggong atau sebuah jembatan dengan konstruksi beton ukir sepanjang 500 meter yang bila pada musim tertentu. 

Jika mujur akan melihat macan tutul Jawa sedang melintas area ini. Keheningan kawasan tersebut acap kali dijadikan tempat lintasan nacan tutul, terutama saat hewan endemik asli Pulau Jawa itu sedang memasuki musim kawin.

Di Rawa Gayonggong, dapat melihat lancipnya puncak Pangrango dari titik ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut.

Panorama berikutnya adalah Curug Cibeureum. Diketahui, air terjun yang meluncur dari tebing setinggi 30-40meter itu dikenal tak pernah kering sepanjang tahun, selalu mengaliri air dari hulu Pangrango hingga menuju ke hilir Sungai Ciliwung di Jakarta. 

Membasahi tubuh di Curug Cibeureum akan memberi sensasi sejuk menyegarkan. Lokasi ini sekaligus menjadi tempat isi ulang perbekalan air untuk melanjutkan pendakian ke Suryakencana ataupun Mandalawangi.

Di jantung hutan TNGGP masih hidup berbagai fauna yang sudah sangat langka dan termasuk hewan dilindungi di Indonesia, diantaranya: owa jawa, lutung surili, macan tutul, anjing ajag, biul slentek, piton jawa, celurut gunung dan bajing terbang.

Menuju lokasi Air Panas, akan menjadi salah satu lintasan yang akan menguras tenaga dalam perjalanan menuju Gunung Gede ataupun Pangrango. Jalur setapak batu cadas dengan track makin menanjak akan memacu andrenalin pendaki. Terlebih ketika tiba di Air Panas, hanya terdapat satu lintasan sempit untuk satu orang yang dibawahnya menga-nga jurang yang sangat dalam.

***

Setelah melewati track sempit itu, dapat relaksasi sejenak merendam tubuh ke dalam bak pemandian alami untuk hilangkan letih fisik setelah 5 jam berjalan tanpa henti.

Setelah itu, track lebih dominan mendatar dapat ditemui kala menempuh perjalanan ke Kandang Batu dan Kandang Badak. Nama terakhir itu kerap dijadikan lokasi berkemah oleh para pendaki yang hendak menuju ke atap Gunung Pangrango maupun Gunung Gede. 

Kandang Badak hampir tak pernah sepi pengunjung, beberapa warga setempat  bahkan kerap membuka warung jajanan yang menjual aneka makan dan minuman ringan sebagai bekal konsumsi untuk para pendaki.

Di Kandang Badak akan ada plang petunjuk arah. Jadi Anda tak usah khawatir tersesat bila ingin meneruskan perjalanan ke puncak kawah Gunung Gede yang nantinya akan didominasi vegetasi pohon cantigi sepanjang 2 jam perjalanan Anda berjalan konstan menggapai ketinggian 2.958 Mdpl.

Di puncak Gede, akan disuguhi lanskap menakjubkan berupa kaldera kawah gunung api yang terakhir meletus tahun 1957 itu, yang dibelakangnya akan terlihat moncong Pangrango yang berdiri lebih pongah. Lalu, di sebelah kanan ada si penggoda mata, yaitu hamparan padang sabana yang terbentang sangat luas di ketinggian 2.700 Mdpl.

Dari kawah Gunung Gede, anda hanya harus turun ±15 menit untuk menuju alun-alun timur Suryakencana, sebuah zona intim bagi pendaki yang ingin berkemah ria, setelah rela mengorbankan tenaga ekstra menapaki gugusan gunung tertinggi ketiga di Jawa Barat itu.

***

Mandalawangi

Mandalawangi-Pangrango

Senja ini, ketika matahari turun
Ke dalam jurang-jurangmu

Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu
Dan dalam dinginmu

Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan

Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku

Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

Malam itu ketika dingin dan kebisuan
Menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua

"Hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah"

Dan antara ransel-ransel kosong
Dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu

Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup

Djakarta 19-7-1966
Soe Hok Gie

Itulah puisi yang dituliskan oleh Soe Hok Gie, seorang aktivis sekaligus penulis yang terkenal kritis terhadap pemerintah orde lama dan orde baru.

Selain sebagai penulis, semasa hidup, Gie juga dikenal sebagai pegiat alam bebas. Dia sangat menyukai Pangrango yang jauh lebih sepi ketimbang alun-alun megah nan luas di Suryakencana.

***

Lembah kasih Mandalawangi memang sangat spesial bagi para pendaki. Medan terjal menuju puncak Pangrango lebih terasa jauh melelahkan ketimbang saat bertarung melawan rimbunnya alam Gunung Gede. 

Keheningan dan kesunyian Mandalawangi yang kaya akan vegetasi bunga abadi Edelweiss memang membuat "nagih" kaki pendaki untuk terus menyambanginya lagi dan lagi. 

Meskipun banyak orang pos pendakian coba menakut-nakuti pendaki dengan adanya makhluk halus di Mandalawangi, tak justru membuat mereka gentar untuk tetap berjuang kamping di padang sabana yang jauh lebih mini ketimbang Suryakencana.

Saat pagi hari di Mandalawangi, akan terlihat eksotisme gugusan 3 puncak Gunung Salak yang berada persis di depan mata. Sejatinya, Mandalawangi hanya terpaut 10 menit saja dari puncak Gunung Pangrango, gunung tertinggi kedua di Pulau Jawa, yang berada di ketinggian 3.019 Mdpl. 

Di sana terdapat mata air abadi yang setia menjadi hajat hidup puluhan juta baik manusia maupun hewan di Jabodetabek. Mata air Mandalawangi dan curah hujan yang tinggi di sana, tidak pernah bosan memberi limpahan air sampai ke Sungai Ciliwung di Jakarta yang nyaris tak pernah kering sepanjang tahun. []

Berita terkait