Mengenang Tragedi Berdarah 1946 Simalungun, Revolusi Sosial yang Menyeramkan

Motif tragedi berdarah 1946 untuk melakukan balas dendam dengan mengatasnamakan perjuangan kemerdekaan.
Forum Grup Discusion (FGD) menggelar diskusi di Rumah Hordja pada Minggu (3/3) malam. Diskusi diadakan untuk mengenang kejadian tragedi berdarah yang terjadi di Simalungun, Sumatera Utara pada 3 Maret 1946. (Foto: Ttagar/Fernandho)

Pematangsiantar, (Tagar 5/3/2019) - Forum Grup Discusion (FGD) menggelar diskusi untuk mengenang kejadian tragedi berdarah yang terjadi di Simalungun, Sumatera Utara pada 3 Maret 1946.

Dalam acara yang diinisiasi Sanggar Budaya Rayantara di Rumah Hordja pada Minggu (3/3) malam, turut hadir pegiat budaya dan sejarah yang dipandu oleh seorang moderator bernama Herman Sipayung.

Tragedi berdarah 3 Maret 1946 di Simalungun dianggap tidak memenuhi syarat sebagai peristiwa "Revolusi Sosial". Namun yang terjadi sebenarnya, adalah suatu peristiwa pembantaian terhadap raja-raja (kaum bangsawan) Simalungun.

Pada kesempatan pertama, sang moderator memberikan kepada Pdt Juadaha Raya Purba Dasuha untuk menceritakan sejarah dan fakta  revolusi yang terjadi pada saat itu. Adalah merupakan gerakan dari rakyat yang ingin mengganti tatanan sosial yang dinilai korup, otoriter, sentralistik, lamban, semena-mena kepada rakyat Simalungun.

Namun, faktanya pembunuhan kepada bangsawan Swapraja Simalungun merupakan mandat yang telah direncanakan 1 Maret 1946 di Simalungun Club dan dilaksanakan pada dinihari 2 Maret 1946. Akan tetapi, perintah pembantaian diterima sore hari 2 Maret 1946 dari Medan kepada Saragih Ras di Siantar.

"Sangat keliru jika alasan pembunuhan bangsawan Simalungun karena tidak mendukung Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Sebab pada masa-masa memperjuangan Kemerdekaan, para bangsawan Simalungun sudah banyak terlibat memperjuangkan kemerdekaan," katanya

Tuan Kamen Purba Dasuha, yang merupakan keturunan dari Raja Panei, juga menceritakan kisahnya yang selamat dari pembantaian pada saat ia masih kecil, karena pada detik-detik yang menyeramkan itu mereka beserta keluarganya yang lain sedang berada di daerah perladangan.

Selain beberapa abang-abang nya yang turut di bantai para pemberontak, ia beserta keluarganya yang  masih selamat, juga turut mengungsi di daerah Pematang Simalungun eks Kerajaan Siantar dan menjadi juga tawanan.

"Abang-abang saya ada yang turut mengabdi pada negara ini, ada juga yang masuk tentara tapi tetap dihabisi. Kami juga sering mengungsi hingga menjadi tawanan," ucapnya mengenang masa-masa itu di Sumatera Utara.

Forum Grup DiscusionForum Grup Discusion (FGD) menggelar diskusi di Rumah Hordja pada Minggu (3/3) malam. Diskusi diadakan untuk mengenang kejadian tragedi berdarah yang terjadi di Simalungun, Sumatera Utara pada 3 Maret 1946. (Foto: Tagar/Fernandho)

Tuan Kamen juga menegaskan, bahwa sebenarnya raja-raja yang ada di Simalungun sudah menyatakan ikut dan berdiri di belakang Soekarno untuk menjadi pendukung di Republik Indonesia.

"Abangku saja Tuan Margabulan Purba Dasuha yang dibunuh sudah aktif di pemerintahan RI sebagai pegawai dan anggota pasukan Marsuse RI," sebutnya.

Selain itu, menurutnya bahwa motif dari tragedi berdarah 1946 lebih dominan kepada politik dan faktor kecemburuan. Karena dengan motif dari tragedi berdarah 1946 untuk melakukan balas dendam dengan mengatasnamakan perjuangan kemerdekaan, dengan menguasai tanah serta perampokan harta benda raja-raja untuk memperkaya diri sendiri maupun kelompok tertentu.

"Karena posisi raja saat itu adalah kepala adat dan kepala pemerintahan dalam lingkungan pemerintahan Swapraja (Zelfbestuurende Landschappen). Pascatragedi, banyak aset harta milik raja dan kerajaan yang dialihkan/beralih kepada pihak yang bukan ahli waris raja. Bahkan ada waris raja/bangsawan yang kehilangan sama sekali tanah pusaka leluhur," sebutnya.

Juandaha dan Kamen begitu juga Sarmedi Purba, juga sepakat bahwa Saragih Ras dan beberapa pelaku sebenarnya, tanpa semerbak sadari turut menjadi korban dalam insiden tersebut. Terbukti, pada saat kerabat Raja Panei datang ke penjara untuk membesuk Saragih Ras yang sedang ditahan. Mereka menganggap pernyataan Saragih Ras melontarkan penyesalan, karena yang mereka jadikan 'pion' untuk menghabisi para bangsawan yang juga merupakan kerabat mereka sendiri.

"Nasionalisme dan kecintaan Saragih ras kepada perjuangan Indonsia, telah dimanfaatkan oleh petualang politik untuk menghabisi kepala adat/kepala pemerintahan tradisional suku Simalungun," sebut mereka.

Mengingat tragedi 1946, Sarmedi dan beberapa peserta yang turut menghadiri diskusi, berharap kepada seluruh pihak yang mengalami untuk segera dilakukan rekonsiliasi, agar Negara berani mengakui kesalahan terkait adanya tragedi berdarah tersebut.

"Membahas tragedi 1946, bukan untuk menciptakan keinginan balas dendam. Tapi kita menginginkan, supaya negara ini mengaku kesalahan yang terjadi di tahun itu. Sebab, itu terjadi setelah Indonesia merdeka yang sudah  memiliki pemerintahan," kata mereka.

Selain meminta agar negara untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada Suku Simalungun, peserta diskusi juga meminta agar ada tindak lanjut FGD menjadi Seminar Nasional bersama korban pembantaian 1946 di Sumatera Timur yakni Simekar (Simalungun, Melayu dan Karo).

Nantinya, hasil seminar itu menjadi kajian dan rekomendasi untuk dilakukannya tindak-lanjut mengadakan rekonsiliasi dan rehabilitasi hak-hak kaum bangsawan Sumatera Timur yang hilang sejak 1946.

Juga menyarankan agar para tokoh-tokoh Simalungun dimana pun berada agar mengesampingkan kepentingan sektoral, ego, kelompok demi kepentingan suku Simalungun yang lebih besar.

Sultan Saragih dari Sanggar Budaya Rayantanya, sebagai suhut bolon FGD, pada kesempatan itu menyampaipan apresiasi dan terimakasih kepada peserta yang hadir di FGD. Karena menurutnya tujuan dari diselenggarakan nya acara itu guna untuk pencerahan sejarah bagi generasi-generasi untuk lebih mengetahui revolusi sosial.

"Generasi kita harus memberi jawaban mengajukan solusi rekonsiliasi, terutama ketika saksi hidup masih ada agar tidak kembali menjadi pertanyaan gelap yang sama setiap zaman," ujarnya.

Sultan menerangkan, hasil dari apa yang telah didiskusikan dan tindak-lanjut dari pihak FGD dan pengakuan dari negara untuk rehabilitasi dan rekonsiliasi tingkat lokal, regional hingga nasional akan segera dikomunikasikan.

"Kita akan membangun komunikasi dengan pihak-pihak sesuai hasil FGD nantinya," tutupnya.

Berita terkait
0
Staf Medis Maradona Akan Diadili Atas Kematian Legenda Sepak Bola Itu
Hakim perintahkan pengadilan pembunuhan yang bersalah setelah panel medis temukan perawatan Maradona ada "kekurangan dan penyimpangan"