Media Sosial Menyimpan Bahaya Karena Kecanduan yang Tak Disadari

Para peneliti otak buktikan, "like" dan komentar di Facebook, Instagram atau Tiktok menstimulasi pusat kebahagiaan di otak
Ilustrasi - Penggunaan smartphone untuk media sosial (Foto: dw.com/id - Weronika Peneshko/dpa/picture alliance)

TAGAR.id - Menatap smartphone terus-menerus. Tidak ada waktu lagi untuk makan bersama keluarga. Sekolah diabaikan, tidak punya hobi lain dan stres. Kini bukan generasi muda saja yang kecanduan media sosial. Peter Schuchardt melaporkannya untuk DW.

Para peneliti otak membuktikan, "like" dan komentar di Facebook, Instagram atau Tiktok menstimulasi pusat kebahagiaan di otak, mirip seperti makan, seks atau narkoba. Konsultan masalah kecanduan, Lydia Römer, mengenal banyak remaja yang super aktif di media sosial, yang berdampak membahayakan kesehatan mereka.

Lydia Römer mengungkap, banyak orang yang punya pikiran, ia harus memposting semua hal, dan harus selalu up-to-date. Selain itu, ia juga merasa harus mendapat informasi tentang semua hal. Namun karena "langganan" banyak kanal media sosial, sebagai dampaknya, mungkin menelantarkan lingkungan sosial nyata, dan yang lebih parah lagi, sudah berada dalam situasi stres permanen.

Salah satu tanda adanya masalah adalah jika orang selalu mengamati layar smartphone. Tidak ada waktu untuk makan bersama keluarga. Sekolah diabaikan. Tidak ada hobi lainnya, dan bahkan smartphone ikut ke atas ranjang saat tidur.

Media SosialIlustrasi hoaks di media sosial. (Foto: Tagar/ Freepik)

Takut ketinggalan berita

Lydia Römer mengungkap lebih jauh, fenomena yang bisa diamati belakangan ini adalah, remaja yang harus selalu membawa powerbank kalau keluar rumah, karena ketakutan, smartphone mereka kehabisan energi sehingga tidak bisa selalu aktif di media sosial.

Di balik semua itu ada fenomena yang disebut FOMO, yaitu fear of missing out, alias takut ketinggalan berita.

Lydia Römer menekankan, jika orang tua menemukan botol berisi cairan berwarna kuning di kamar anak remaja, tapi itu bukan jus apel, itu sangat mengkhawatirkan. "Jika anak benar-benar mulai kencing di botol, karena tidak mau kehilangan waktu pergi ke toilet, itu seharusnya membunyikan tanda bahaya."

Problem lainnya, akibat aktifitas masif di media sosial orang selalu membandingkan diri dengan orang lain. Influencer selalu berdandan dengan bagus, sehingga kelihatan cantik. Namun citranya seringkali dioptimalkan menggunakan filter, sehingga bukan yang sesungguhnya. Tapi jika anak-anak mencoba sendiri, tetap saja hasilnya tidak memuaskan.

Konsultan di bidang masalah ketagihan Lydia Römer mengungkap, ia dan rekan-rekannya sudah mengamati, semakin banyak anak berusia lebih muda melakukan operasi kecantikan, karena mereka merasa tidak cantik. Demikian pula, mereka kerap merasa tidak puas dengan tampilan atau badan mereka.

Kecenderungan itu memang banyak ditemukan pada remaja putri atau perempuan muda. Tetapi remaja putra dan pemuda juga terpengaruh tren itu. "Mereka mungkin pergi ke studio fitness dan mengkonsumsi anabolika," demikian dijelaskan Lydia Römer.

Media SosialIlustrasi media sosial. (Foto: Tagar/ Unsplash - Jakob Owens)

Bagaimana menghadapi masalah semacam itu?

Mula-mula orang tua yang harus mawas diri dan mengamati perilaku sendiri. Sebab, seringkali orang tua sepanjang hari hanya mengamati layar komputer atau smartphone. Mereka jadi contoh buruk, dan tidak punya norma. Padahal sangat penting, menunjukkan aturan yang jelas kepada anak-anak.

Lydia Römer menyarankan, agar orang tua lebih melibatkan diri. "Apa yan dilihat anak saya di tablet atau di televisi atau layanan streaming." Sebaiknya orang tua nonton bersama, setelah itu membicarakannya. Bisa pula, orang tua menunjukkan sebuah chat dan membicarakannya, atau mengatakan kepada anak, "OK, mulai umur sekian kamu boleh menggunakan Instagram.

Yang penting pula, orang tua dan anak punya saling percaya yang berfungsi baik. Jika suatu kali ada yang tidak benar, bicarakan dengan orang lain.

Di samping itu, menetapkan waktu di mana anak tidak boleh menggunakan smartphone, bisa melindungi dari ketergantungan. Orang dipaksa untuk mengerjakan hal lain. Untuk itu juga ada aplikasiyang bisa digunakan untuk mengaturnya.

Cara yang juga mudah dilakukan adalah, untuk sementara waktu mematikan WiFi. Agar tidak usah membawa smartphone ke kamar tidur,

"Seorang ibu mengatakan, di rumahnya ada hotel smartphone. Sebuah peti di mana semua smartphone disimpan," demikian contoh yang diberikan Lyria Römer. Di samping itu, jika ada hal yang membuat orang sangat khawatir, tentu bisa berusaha meminta bantuan profesional.

Jadi sebaiknya waspada, jika sepanjang hari tidak ada hal lain yang dikerjakan, selain berpusar pada smartphone dan media sosial. (ml/as)/dw.com/id. []

Berita terkait
Kecanduan Judi di Kalangan Anak Muda AS Kian Mengkhawatirkan
Ada sekitar 7% orang Amerika di bawah usia 25 tahun yang menunjukkan gejala kecanduan judi
0
Media Sosial Menyimpan Bahaya Karena Kecanduan yang Tak Disadari
Para peneliti otak buktikan, "like" dan komentar di Facebook, Instagram atau Tiktok menstimulasi pusat kebahagiaan di otak