TAGAR.id - Kerusuhan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau (Kepri), kian menjadi sorotan media-media asing, Rabu, 13 September 2023. Kantor Berita Reuters melaporkan peristiwa ini dalam artikel berjudul "Polisi Indonesia menangkap 43 orang setelah kerusuhan di kawasan industri".
Mengutip sumber di kepolisian, media tersebut mengatakan polisi Indonesia telah menangkap 43 orang yang dituduh menyebabkan kerusuhan dan menyerang polisi terkait rencana relokasi masyarakat untuk kawasan industri bernilai miliaran dolar.
"Bentrokan kekerasan meletus pada hari Senin di Kota Batam, yang terletak sekitar 44 km dari Singapura, di mana sekitar 1.000 demonstran berkumpul di depan kantor BP Batam, salah satu pengembang proyek Rempang Eco City," tulis media tersebut.
Rekaman video di media lokal menunjukkan para demonstran melemparkan botol dan batu ke arah polisi dan merobohkan pagar, yang dibalas oleh polisi dengan Meriam air dan gas air mata.
Rempang Eco City akan menjadi lokasi pabrik yang dioperasikan oleh produsen kaca China, Xinyi Glass Holdings Ltd, yang telah berkomitmen untuk membangun pabrik pengolahan pasir kuarsa senilai 11,5 miliar dolar AS (sekitar Rp 173 triliun) di kawasan industri tersebut.
"Kami menangkap mereka karena melakukan vandalisme dan menentang polisi," kata Juru Bicara Kepolisian Kepulauan Riau, kata Kombes. Pol. Pandra Arsyad, seraya menambahkan bahwa para pengunjuk rasa telah dibubarkan pada sore hari.
Presiden Joko Widodo pada hari Selasa mengatakan pemerintah berencana memberikan tanah dan rumah kepada setiap warga Pulau Rempang sebagai kompensasi relokasi.
"Tetapi hal ini tidak dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat. Jadi, ini menjadi masalah," katanya merujuk pada protes tersebut.
Sebelumnya, Juru Bicara Badan Pengusahaan (BP) Batam, Ariastuty Sirait, melaporkan bahwa warga enggan pindah karena sudah bertahun-tahun tinggal di wilayah tersebut. Ia mengatakan, nantinya mereka akan menerima bantuan tunai sampai pemukiman baru selesai dibangun dan sekitar 700 keluarga akan direlokasi pada tahap pertama.
Sementara itu AsiaNews melaporkan beberapa hari sebelumnya, lebih dari lima ribu anggota masyarakat adat etnis Melayu melakukan aksi protes menentang rencana pemeritah “menghancurkan” 16 desa di pulau Rempang, untuk memberi ruang bagi proyek industri China.
“Kami putus asa karena tuntutan kami untuk melestarikan desa kami telah diabaikan. Pemberontakan telah menjadi satu-satunya solusi untuk menyampaikan tuntutan kami,” kata Hazrin, seorang pengunjuk rasa yang bergabung dalam protes anti-pemerintah. Polisi setempat berusaha membubarkan demonstran dengan menggunakan gas air mata.
Jakarta ingin memberikan ruang bagi grup Xinyi (Xinyi Glass dan Xinyi Solar, yang berbasis di Hong Kong) untuk pembangunan pabrik kaca industri dengan investasi senilai 11,6 miliar dolar, yang pada gilirannya merupakan bagian dari proyek yang lebih besar bernama Kota Ramah Lingkungan Rempang (Rempang Eco City).
Dengan daratan seluas 165 kilometer persegi, Rempang merupakan pulau yang sangat kecil namun strategis secara komersial berkat aksesnya ke Selat Malaka. Pulau ini berjarak tiga kilometer dari Pulau Batam, dengan jarak tempuh dari Singapura kurang lebih 20-30 menit dengan kapal feri.
Ketika Menteri Investasi, Bahlil Lahadia, mengunjungi lokasi tersebut pada awal Agustus 2023, ia menyatakan bahwa pabrik tersebut "akan menjadi produsen energi kaca dan surya nomor satu di dunia di luar China daratan", yang produknya akan melayani kebutuhan industri otomotif dan energi.
Menteri itu menambahkan, proyek itu akan menciptakan 35 ribu kesempatan kerja. Namun, sejumlah pihak meragukannya. Merujuk pada apa yang terjadi di wilayah lain, menurut mereka, industri hasil investasi China cenderung mempekerjakan pekerja terampil asal China dibandingkan pekerja lokal.
Masyarakat Indonesia telah melampiaskan kemarahannya dengan melakukan serangan serupa terhadap pabrik-pabrik China, seperti yang terjadi beberapa bulan lalu pada pabrik peleburan nikel di Morowali, Sulawesi Tengah, di mana dua warga negara Indonesia dan seorang pria China kehilangan nyawa dalam bentrokan tersebut.
Lahadia telah menawarkan kepada penduduk Rempang untuk pindah ke kompleks perumahan yang siap menampung mereka, namun masyarakat merasa khawatir.
“Kami tidak menentang investasi asing, tapi tolong pastikan proyek ini tidak merusak desa adat Melayu kami. Provinsi Kepulauan Riau ini tidak kecil, jadi bisa saja proyek tersebut didirikan di daerah lain agar tidak merusak warisan sejarah dan adat kami,” jelas Samsudin, pengunjuk rasa lainnya.
Faktanya, menurut penduduk setempat, investasi China yang bernilai miliaran dolar akan membahayakan warisan budaya dan gaya hidup tradisional desa-desa asli Melayu, tempat ribuan orang telah tinggal selama beberapa dekade dan sebagian besar bekerja sebagai nelayan. “Kami tidak bisa tinggal diam mengenai masalah ini karena warisan kami akan hilang ketika proyek industri berada di tanah kami,” kata para pengunjuk rasa.
LSM lingkungan hidup Walhi juga mengklaim bahwa proyek bernilai miliaran dolar ini tidak begitu “transparan” sejak awal, karena tuntutan penduduk setempat tidak pernah dipenuhi secara memadai.
Oleh karena itu, “kami meminta kepada Presiden Indonesia Joko Widodo untuk menghentikan sementara proyek tersebut karena berpotensi membahayakan kehidupan tradisional masyarakat Melayu,” kata organisasi tersebut. (ab/lt)/Reuters/voaindonesia.com. []