Mas Mendikbud Belajar Bahasa Inggris Cukup Setahun

Pelajaran bahasa Inggris diajarkan sejak SD, SMP, SMA/SMK sampai perguruan tinggi tapi lulusan perguruan tinggi pun belum tentu bisa bahasa Inggris
Mendikbud Nadiem Makarim mengambil buku saat berkunjung ke Perpustakaan Kemendikbud, Jakarta, Rabu, 23 Oktober 2019. (Foto: Antara/Indriani)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengeluh soal pelajaran bahasa Inggris yang dimulai sejak di SD, SMP, SMA/SMK bahkan di perguruan tinggi tapi tetap saja tidak bisa berbicara dalam bahasa Inggris, saya teringat kepada mendiang Prof Dr Anton M. Moeliono, pakar bahasa di Pusat Bahasa Kemendikbud (d/h. Dekdibud).

Prof Anton yang rutin menjadi pembicara dalam diskusi bahasa terkait dengan penulisan berita dengan jajaran redaksi Harian Sinar Harapan dan media lain dalam grup Sinar Kasih, yang dilangsungkan sekali sebulan di tahun 1980-an. Pada satu kesempatan Prof Anton mengeluh soal kemampuan berbahasa Inggris orang Indonesia.

Sama seperti yang dikeluhkan Mas Mendikbud Nadiem. Bertahun-tahun belajar bahasa Inggris bahkan ditambah dengan les oleh guru bahasa Inggris atau di tempat-tempat kursus bahasa tapi tetap saja kemampuan berbicara dalam bahasa Inggris sangat rendah. Dalam kategori kemapuan disebut ‘poor’ (miskin).

Ketika itu Prof Anton mengatakan bahwa pelajaran bahasa Inggris cukup satu tahun saja. Misalnya, di SMP kelas dua. Dengan catatan pelajaran lain dikurangi sehingga fokus ke pelajaran bahasa Inggris. Selanjutnya tinggal memperlancar di kelas-kelas berikutnya.

Namun, ketika saya wawancarai Prof Anton menolak disebut namanya dalam berita sehingga saya urungkan menulis berita tsb. Harap maklum ketika itu era Orde Baru sehingga tidak mungkin menulis berita yang mengkritik pemerintah (baca: Presiden Soeharto). Padahal, isu itu menarik tapi mengingat ‘pengekangan’ media saat itu saya pun maklum atas penolakan Prof Anton.

Bak gayung bersambut, eh, Mas Mendikbud Nadiem menyinggung soal pelajaran bahasa Inggris. Pendapat Prof Anton jadi aktual.

Memang, tidak ada survei, studi atau penelitian mengapa orang Indonesia lambat menguasai bahasa Inggris jika dibandingkan dengan orang Malaysia atau Filipina.

Dalam satu penugasan ke Manila, Filipina, penulis memotret sebuah objek. Minta izin ke security (satpam) menjelaskan akan memotret objek tsb. “Ye, tek e piktur, Sir,” kata satpam itu dengan tegas tanpa merasa bersalah dalam pengucapannya.

Kalau itu dilakukan di kelas, maka guru pun akan marah dan menjewer murid karena salah pengucapannya. “Yeah, take a picture, Sir.” ‘Picture’ harus dibaca pik`cər. Akibatnya, murid takut mengucapkan kata-kata bahasa Inggris jika tidak pas seperti diucapkan orang Inggris. Padahal, itu bukan bahasa ibu sehingga sangat wajar kalau tidak persis sama.

Masih di Manila. Di sebuah pasar swalayan dua perempuan muda berbicara. Saya dengar selintas pembicaraan mereka: “Your hasban ….” ‘Hasban’ di sini adalah ‘husband’ (suami) dengan cara pengucapan ‘həzbənd’. Kalau itu diucapkan murid di kelas tentulah guru bahasa Inggris marah besar.

Saking seringnya dulu guru bahasa Inggris di SMP mengucapkan cannot kalau ucapan atau terjemahan salah, maka anak-anak pun menyebut Pak Guru itu dengan sebutah ‘Pak Cannot’. Ini menunjukkan jarak antara guru dan murid. Padahal, bahasa justru mendekatka budaya.

Maka, amatlah masuk akal kalau guru di salah satu les bahasa Inggris terkenal di Jakarta dan beberapa kota justru memainkan lagu dalam memberikan gambaran tentang bahasa Inggris. Saya ingat betul guru les itu memetik gitar sambil mendendangkan lagu “Yesterday” yang jadi salah satu lagu unggulan grup musik asal Liverpool, Inggris, The Beatles. Lagu itu disebut-sebut sebagai lagu terpendek di dunia tapi penuh dengan makna.

Sedangkan orang Malaysia membaca kata-kata bahasa Inggris dalam bahasa Melayu semacam memelayukan kata-kata bahasa Inggris. Seperti image mereka sebut imej. Motorcycle mereka baca motorsaikel. Ini bertolak belakang dengan di Indonesia yang dilarang mengindonesikan kata-kata bahasa Inggris sehingga harus dibaca sesuai dengan ejaan baku bahasa Inggris.

Bandara Kuala Lumpur yaitu Kuala Lumpur International Airport mereka sebut kei-el-ai-ea dengan penuh rasa bangga. Kalau mau naik kereta bawah tanah pun mereka katakatan ‘naik em-ar-ti’ (MRT). Walaupun belakangan orang Malaysia membaca Kuala Lumpur dengan ‘Kuala Lampo’.

Ada baiknya memikirkan usul Prof Anton dan keluhan Mas Mendikbut Nadiem serta melihat cara orang Filipina dan Malaysia mengucapkan kata-kata bahasa Inggris sesuai dengan lidah dan dialek mereka. []

* Syaiful W. Harahap, Redaktur di tagar.id

Berita terkait
Asesmen Kemendikbud Terkait Sinyalemen Bank Dunia
Terkait dengan laporan Bank Dunia tentang tingkat learning poverty di Indonesia, pihak Kemendikbud mengatakan akan lakukan asesmen untuk lihat data
Nadiem Makarim Sedih Lihat SD di Pasuruan Ambruk
Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Nadiem Makarim mengunjungi SDN Gentong, Pasuruan, Kamis 7 November 2019.
Surat Terbuka Dosen UGM untuk Nadiem Makarim
Saya ingin mengomentari hal-hal yang dianggap gebrakan yang Bapak sampaikan hari ini. Surat terbuka dosen UGM untuk Mendikbud Nadiem Makarim.
0
LaNyalla Minta Pemerintah Serius Berantas Pungli
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, meminta pemerintah serius memberantas pungutan liar (pungli). Simak ulasannya berikut ini.