Mahasiswa Undip Bicara Radikalisme, Terorisme, dan Prof Suteki Diduga Pro HTI

Mahasiswa Undip bicara radikalisme, terorisme, dan tentang Prof Suteki yang diduga pro HTI.
Mahasiswa Universitas Diponegoro beraktivitas Ramadan di masjid kampus. Mereka juga punya pendapat tentang Prof Suteki yang diduga pro HTI, Jumat 25/5/2018. (Foto: Tagar/Agus Joko Mulyono)

Semarang, (Tagar 26/5/2018) - Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah, beberapa waktu terakhir menjadi perhatian nasional karena cara pandang Prof Suteki terhadap Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). 

Kontroversi Prof Suteki yang diduga pro HTI, juga tiga dosen Undip lain yang diduga berpaham sama dengan Suteki, melahirkan pertanyaan baru, apakah ada atau banyak mahasiswa Undip terpapar radikalisme terorisme?

Pertanyaan itu muncul karena Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan saat bertemu mahasiswa Univesitas Wahid Hasyim Semarang (Unwahas), Sabtu (25/4), menyampaikan hasil riset lembaganya yang mencengangkan.

Riset BIN menunjukkan 39 persen mahasiswa di Indonesia telah terpapar paham-paham radikal. Sebanyak 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar tingkat SMA juga setuju dengan jihad, untuk tegaknya negara Islam atau khilafah.

Arif Fadilah Ahmad (20), mahasiswa Fakultas Fisip Undip semester enam ini aktif berkegiatan Ramadan di Masjid Diponegoro Undip. Ia menyampaikan pemahamannya tentang arti radikalisme dan terorisme.

Menurut mantan aktivis Rohani Islam (Rohis) Undip ini, radikalisme dan terorisme adalah dua hal berbeda. Radikal berasal dari kata radix yang berarti akar. Karenanya bagi Arif, radikalisme adalah pemahaman yang mengakar kuat, yang mempengaruhi cara berpikir masyarakat.

"Atau mungkin ada yang berpendapat pahami sesuatu kemudian melakukan perubahan dengan apa yang diyakini sampai ke akar-akarnya," kata dia, Jumat (25/5).

Sedangkan terorisme, lanjutnya, adalah sebuah paham yang mengarah pada upaya perubahan ideologi atau dasar negara dengan cara-cara ekstrim. Yakni dengan menebar teror, menyebar ketakutan di tengah masyarakat. Serangan bom bunuh diri di Surabaya, Mapolda Riau dan tempat lain di Tanah Air adalah beberapa contoh penganut terorisme.

"Jadi beda, radikal bisa jadi disebarkan untuk mengubah sesuatu sampai dasarnya tapi tidak selalu dengan ketakutan. Itu yang saya pahami, karena dari istilah sudah beda," ujarnya.

Hanya saja, katanya, pengertian radikalisme dan terorisme sekarang menjadi bias seiring masifnya pemanfaatan teknologi informasi ditengah masyarakat. 

"Istilah radikalisme yang berkembang saat ini seperti memperkosa bahasa. Dipaksakan ke arah ekstrimisme, terorisme, sebenarnya tidak seperti itu," lanjut Arif.

Sementara itu Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Undip Abdurrahman Hizbulloh akrab disapa Aab, mahasiswa semester enam Fakultas Ekonomi Bisnis memahami pengertian radikal dengan memberikan contoh berdasarkan ilmu yang didapatnya selama ini. 

"Dari sisi ekonomi, manajemen operasional, radikal artinya percepatan, ada perubahan secara cepat," kata dia.

Aab juga memahami, radikalisme adalah paham yang tidak sesuai konstitusi negara, tidak sesuai dengan yang disepakati oleh para pendiri bangsa Indonesia. 

"Bahasa gampangnya tidak sesuai UUD 45 dan Pancasila yang kita sepakati bersama," ujar dia

"Saya tidak punya tafsir tunggal terkait radikalisme. Apakah radikalisme itu orang yang ngebom, haters, atau orang yang tidak berpaham sesuai UUD 45 dan Pancasila atau orang yang nge-bully orang lain?" lanjutnya.

Menyesuaikan dengan pemahaman umum ditengah masyarakat, bahwa radikalisme adalah bibit terorisme, baik Arif maupun Aab menegaskan mahasiswa Undip masih bisa diandalkan jiwa nasionalismenya. Keduanya juga menggarisbawahi soal ketidaksepakatannya dengan hasil survei BIN.

"Saya kenal semua pengurus Masjid Diponegoro, saya kenal pengurus panitia Ramadan di masjid ini dan kebetulan saya dulu juga aktif di Rohis baik di fakultas maupun universitas. Dan selama aktif di Rohis saya tidak pernah melihat kawan-kawan mengelompok sendiri, berbicara radikalisme. Seluruh kegiatan keagamaan mahasiswa terangkum di Rohis, sehingga saya rasa cukup terpantau," kata Arif.

Aab juga tidak melihat indikasi mahasiswa Undip terpapar radikalisme, "Di Undip ada 11 fakultas dan 1 sekolah advokasi, saya sering ke situ. Secara akar rumput, mahasiswa sekarang lebih terbuka, ada gadget, medsos. Mereka akan sangat mudah memilih mana yang baik dan buruk. Tapi saya tidak melihat itu (terpapar radikalisme). Karena yang saya lihat adalah kami bicara soal rakyat, akademisi, riset, bicara tentang apa yang baik untuk masyarakat."

"Saya tidak pernah ketemu diskusi-diskusi mengenai radikalisme, padahal saya 3 tahun menjadi mahasiswa dan bertemu dengan mahasiswa lain. Dan saya sudah masuk, aktif di 5 organisasi, yakni BEM, Rohis, UKM Taekwondo, kelompok studi, KAMMI. 5 organisasi ini, eksekutif, kerohanian, minat bakat, fokus akademik dan fokus politik, kami tidak pernah bicara radikalisme, apalagi ngebom, membunuh orang, bakar gereja, tidak ada itu. Kita bicara bagaimana membangun demokrasi yang bagus," lanjutnya.

Menyangkut dugaan pro HTI yang saat ini dialamatkan ke guru besar Hukum Undip Prof Suteki, baik Arif maupun Aab mengaku tidak pernah berinteraksi dengan yang bersangkutan. Selain tidak pernah diajar oleh Prof Suteki, keduanya juga menegaskan bukan anggota maupun penganut paham HTI.

Terlepas benar tidaknya Prof Suteki pro HTI, Arif dan Aab yakin HTI-isme tidak akan menjalar pada mahasiswa.

"Saya tidak merasa membawa pengaruh ke mahasiswa. Karena kenyataannya kegiatan mahasiswa ya seperti-seperti ini. Kami ini kan muka-muka 'tertindas' semua," Arif tersenyum.

"Mereka (mahasiswa) yang aktivis di Masjid Diponegoro, di Ramadan ini ya cuma ngudek-ngudek (mengaduk-aduk) nasi menyiapkan buka," lanjutnya.

Aab juga tidak khawatir cara berpikir Prof Suteki menjalar ke mahasiswanya, "Karena memang saya tidak melihat ada gejala ke arah situ. Dan di kalangan mahasiswa, meski ini polemik, tidak semua tahu ada masalah itu." (ags)

Berita terkait
0
Staf Medis Maradona Akan Diadili Atas Kematian Legenda Sepak Bola Itu
Hakim perintahkan pengadilan pembunuhan yang bersalah setelah panel medis temukan perawatan Maradona ada "kekurangan dan penyimpangan"