Lima Tahap Seorang Muslim Baik Menjadi Teroris

Lima tahap seorang muslim baik menjadi teroris. Periksa diri, adakah potensi menjadi teroris, seperti zombie yang dikendalikan orang lain.
Amiruddin Faisal, Wakil Ketua Cabang Pagar Nusa, organisasi pencak silat khas Nahdlatul Ulama, Kabupaten Cirebon. (Foto: Facebook/Amiruddin Faisal)

Cirebon, (Tagar 18/5/2018) - Amiruddin Faisal, Wakil Ketua Cabang Pagar Nusa, organisasi pencak silat khas Nahdlatul Ulama, Kabupaten Cirebon mengurai lima tahapan seorang muslim yang baik bisa berubah perangai menjadi seorang teroris. 

Tahap 1. Pada awalnya mereka orang baik

Mereka ini awalnya adalah orang-orang baik yang berusaha jadi lebih baik dengan ikut kelompok-kelompok pengajian. 

Tahap 2. Proses Cuci Otak dari Guru Ngaji yang Tampak Tulus

Oleh guru mengaji kelompok pengajiannya yang tampak tulus, ditanamkan mana sikap-sikap yang sesuai sunnah Nabi berdasarkan versi kelompok mereka, mana yang tidak nyunah. Mulai dari makan minum sambil duduk, tidur berbaring ke kanan. Kalau ada lalat masuk ke minuman, lalat dicelupkan dulu ke air baru airnya bisa diminum. 

Berlanjut ke celana cingkrang, memelihara jenggot, jidat hitam, kalau ngobrol dengan lawan jenis tidak boleh kontak mata. Wal hasil itu ditanamkan terus hingga mereka yang melakukan itu semua merasa lebih nyunnah dari yang lain. 

Pengajian mereka biasanya dilakukan bukan di lembaga pendidikan pesantren, tapi sembunyi sembunyi. 

Belajar agama dengan orang-orang ini adalah sami'na wa ato'na, taqlid buta, berpikir kritis dilarang.

Ditanamkan bahwa agama sudah sempurna, akal tidak boleh mengakali ajaran Islam. 

Beda cara amaliah beragama berarti tidak sesuai sunnah Nabi, karena sumber sunnah Nabi harus berasal dari golongan yang sepemikiran dengan mereka. 

Mau dia kiai, mau dia ustaz, profesor lulusan Mesir, tidak peduli. Beda kelompok sama dengan tidak sunnah dan bukan golongannya. 

"Jangan heran kalau ulama besar sekaliber Quraish Shihab, KH Said Aqil, Gus Mus, dan lain-lain dianggap kalah ilmu dengan ustaz-ustaz yang menulis Arab saja nggak bisa," ujar Gus Amir, sapaan akrab Amiruddin Faisal.

"Sekalipun dia mualaf, orang yang baru kenal Islam beberapa tahun saja asal casing-nya nyunah, jidat hitam, jenggot panjang, pakaian gamis, kalau bicara sedikit kearaban, ana, antum, ukhti, sudah mantap," lanjutnya. 

Tahap 3. Merasa Paling Islami, Gemar Mengklaim Sebagai Umat Islam

Dari sikap paling sesuai sunnah merembet ke sikap lebih Islami dari yang lain. Mereka hobinya teriak-teriak, 'Kami Umat Islam', ini slogan doktrinasi umum. 

"Padahal mereka kelompok ormas politik, malu menyebutkan kelompoknya dan imamnya, seolah-olah agama ini hanya mereka yang punya, muslim yang lain ngontrak doang, karena dianggap kurang Islam." 

Kalau sudah begini, lanjut Gus Amir, yang beda pilihan atau pendapat dengan mereka langsung dianggap sesat, bid'ah, munafik, kafir. Itu senjata menyerang yang tidak sealiran. Kadang terhadap orangtua atau keluarganya sendiri sering konflik hanya karena beda cara beragama. 

Tahap 4. Menganggap yang Beda dengan Mereka Adalah Musuh

Dari menolak perbedaan sampai menganggap mereka yang beda itu musuh, walaupun mereka satu agama. Mereka merasa mewakili 'Umat Islam' yang sedang dizolimi hingga harus melawan. 

Musuh kelompok dianggap musuh agama. Hingga membuat isu hoaks, fitnah, kebencian terhadap kelompok-kelompok yang beda dianggap bagian dari perjuangan agama. 

Tahap 5. Membunuh Dianggap Jihad

Kebencian yang mendalam terhadap kelompok yang berbeda, yang dianggap kaum munafik dan kafir, dianggap zolim, berubah menjadi perilaku keras yang berujung terorisme. 

Membunuh, mereka anggap jihad dan mereka bangga melakukannya. 

Embrio kelompok-kelompok ini mulai dari Rohis di sekolah-sekolah, kampus-kampus, kegiatan-kegiatan masjid lingkungan sekolah dan kampus. 

Sasarannya adalah orang-orang baik yang polos, pendidikan dasar agama minim. Mereka memilih serius belajar agama dan ingin jadi pribadi yang lebih baik. 

Mereka mengira guru-guru yang mengajarkan agama adalah orang-orang tulus, ikhlas dan tidak punya kepentingan apa pun seperti dirinya. 

Guru yang sama yang mengajarkan ma'rifatullah, ma'rifaturrasul, akhlaq, shirah nabawi, tauhid adalah orang yang sama yang juga mengajarkan kebencian dan membunuh saudaranya yang tidak sepaham sebagai ibadah. Sehingga ajaran kebenaran dan kebatilan terlihat sama dalam satu paket. 

"Saran saya, gunakan akal saat akan berguru ke mana pun. Dengan akal kita bisa membedakan mana yang baik yang bisa diambil ibroh atau pelajaran, dan mana yang penting untuk dikritisi, meskipun itu ajaran keluar dari mulut guru ngaji," ujar Gus Amir. 

Ia menjelaskan, akal yang membedakan manusia dengan makhluk lain, hingga ketika belajar itu menjadi manusia, bukan malah menjadi domba yang dicocok hidungnya, hidup seperti zombie yang dikendalikan orang lain. 

"Kita diperintahkan belajar agama untuk menjadi menusia yang berilmu. Karena ciri orang berilmu itu pasti bijak dan tujuan akhir berilmu agama adalah tawadlu dan berakhlak mulia terhadap sesama manusia. Bukan malah semakin sombong dan buas." 

Gus Amir mengingatkan, Nabi Muhammad contoh muslim yang berakhlaq terhadap semua manusia dan mahluk lainnya.

"Radikalisme, terorisme, biadab sesama manusia jelas ajaran setan yang terselubung walaupun Islam kedoknya," tegasnya. (af)

Berita terkait
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.