Jakarta - Hari Raya Kurban atau Idul Adha yang tahun ini jatuh pada tanggal 11 Agustus 2019 tinggal menghitung hari. Saat merayakan hari raya ini banyak yang tidak tahu kalau terjadi beberapa kekeliruan.
Hari Raya Idul Adha masih merupakan hari bahagia yang setiap tahun selalu dinantikan oleh seluruh umat Islam di dunia. Pada hari besar ini selalu identik dengan penyembelihan hewan kurban (kambing, sapi, kerbau, dan unta) secara besar-besaran.
Namun, seiring berjalannya waktu perayaan Idul Adha mengalami beberapa kekeliruan atau tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, khususnya di Indonesia. Lambat laun kekeliruan tersebut menjadi kebiasaan, yang lazim disebut salah kaprah.
Berikut Tagar merangkum empat salah kaprah saat perayaan Idul Adha atau Hari Raya Kurban, yaitu
1. Pesta Daging Besar-Besaran
Idul Adha bukan lagi untuk membantu fakir miskin, melainkan menjadi pesta rakyat. Tak jarang seorang warga bisa mendapat bagian lebih dari satu. Apalagi jika si A yang berkurban, akan mendapat jatah pembagian.
Selain itu, sanak keluarga yang menjadi panitia pemotongan akan mendapatkan masing-masing bagian daging kurban. Belum lagi, jika rumahnya dekat dengan beberapa masjid, pasti akan mendapat pembagian dari beberapa masjid tersebut.
2. Panitia Mendapat Bagian Daging Kurban
Dalam Hadits Al-Hajj ayat 28 menyatakan bahwa orang yang berhak menerima daging kurban hanya fakir miskin dan orang yang berkurban.
Panitia adalah pihak yang diamanahi orang yang berkurban (Shohibul kurban) untuk menangani hewan kurbannya, dari penyembelihan sampai distribusi hasil kurban. Ada juga yang diamanahi dari sejak pengadaan hewan.
Berdasarkan pengertian di atas, posisi panitia adalah wakil bagi orang yang kurban. Jadi, panitia bukan amil. Tidak ada istilah amil dalam pelaksanaan kurban. Amil hanya dalam syariat zakat. Karena itu, panitia tidak diperkenankan menerima hasil kurban, dengan alasan sebagai amil.
Panitia berhak mendapatkan upah dari sohibul kurban, atas jasanya menangani hewan kurbannya. Statusnya transaksinya al-wakalah bil ujrah (mengambil upah karena telah mewakili).
Mengingat panitia berhak dapat upah, maka panitia tidak boleh mengambil upah dari hasil kurban.
3.Kulit Hewan Kurban Dijual Kembali
Panitia kurban biasanya menjual kulit hewan kurban. Ternyata hal itu tidak dibenarkan.
Bahkan untuk menjual kulit terdapat hadits khusus yang melarangnya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
“Barangsiapa menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka tidak ada qurban baginya.”
Maksudnya, ibadah qurbannya tidak ada nilainya.
Walaupun hadits yang melarang adalah dho’if, menjual hasil sembelihan kurban tetap terlarang. Alasannya, kurban dipersembahkan sebagai bentuk taqorrub pada Allah, yaitu mendekatkan diri pada-Nya sehingga tidak boleh diperjualbelikan, sama halnya dengan zakat.
Jika harta zakat kita telah mencapai nishob (ukuran minimal dikeluarkan zakat) dan telah memenuhi haul (masa satu tahun), maka kita harus serahkan kepada orang yang berhak menerima tanpa harus menjual padanya. Jika zakat tidak boleh demikian, maka begitu pula dengan kurban karena sama-sama bentuk taqorrub pada Allah.
4. Hitungan Berkurban
Banyak yang mengartikan, jika seorang berkurban lima ekor sapi, maka satu ekor dihitung sebagai kurban. Dan empat sisanya merupakan shodaqoh. Hal itu sebenarnya tidak dibenarkan karena orang berkurban sebagai bentuk keikhlasan.
5. Penerima Daging Kurban
Selain itu, ada juga sebagian yang menganggap bahwa daging kurban hanya untuk umat Islam. Hal ini jelas salah besar, karena peruntukkan daging kurban adalah untuk fakir miskin, tanpa membedakan agamanya.
Shohibul kurban memang berhak menunjuk penerima kurban, namun tentu saja harus memenuhi kriteria miskin dan sengsara. []
Baca juga: