Medan - Ketua Komisi Bidang Penyensoran dan Dialog Lembaga Sensor Film (LSF) Imam Suhardjo, mengatakan bahwa LSF bukanlah lembaga yang sesuka hati menyensor film atau yang lebih sering dijuluki "tukang jagal" film.
Menurutnya, LSF bekerja sesuai peraturan maupun undang-undang yang berlaku. Namun, pada pelaksanaanya LSF tak jarang justru membatasi kreativitas pekerja film maupun sineas.
"LSF dibilang lembaga yang memasung kreativitas. Maka diminta dibubarkan saja. Kalau kami terlalu longgar, protes. Kalau kami terlalu ketat, kami juga diprotes," kata Imam Suharjo ketika membuka Sosialisasi Permendikbud UU No 14 Tahun 2019 di Santika Dyandra Premiere Hotel, Medan, Jumat 9 Agustus 2019.
Menurut Suharjo, dalam melakukan penyensoran film, pihaknya mengacu pada UU No 14 Tahun 2019 yang sebelumnya diatur dalam UU No 33 Tahun 2009 secara kelembagaan.
Kemudian konten film yang diproduksi para sineas akan disensor berdasarkan sejumlah kriteria, seperti diatur dalam undang-undang.
"Sayangnya, masih ada sineas maupun pekerja film yang tidak tahu aturan dan undang-undang tentang penyensoran film, karena itulah kita lakukan sosialisasi ini," katanya.
Sosialisasi Permendikbud UU No 14 Tahun 2019 ini, katanya, merupakan revisi dari peraturan tentang perfilman seperti diatur dalam UU No 33 yang sebelumnya juga diatur pada tahun 1992.
Ada beberapa kriteria penyensoran, termasuk di antaranya dari sisi konten yang dilarang, termasuk pornografi, kekerasan dan konten yang tidak mendidik dan tidak sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan Nusantara.
Sosialisasi tersebut dihadiri Simul SH (Biro Hukum Kemendikbud), Monang Sinambela (Komisi 3 LSF), Ni Lu Elly Prepti Erawati (LSF), antropolog Prof Bungaran Antonius Simanjuntak, seniman dan penggiat budaya Batak Thompson Hutasoit dan sejumlah pekerja film dan sastra Sumatera Utara. []