Tagar News –Lebaran tanpa ketupat rasanya ada yang kurang. Ini kisah ketupat dari berbagai tempat di Tanah Air. Dari Palembang, Ambon, Jambi, Bogor. Pertanda Lebaran sudah sangat dekat.
Dilansir Antara, bungkus ketupat dari daun kelapa dan pandan menjelang Hari Raya Idul Fitri 1439 Hijriah tetap diminati warga Kota Palembang, Sumatera Selatan.
Pantauan di sejumlah pasar tradisional di Palembang, Kamis (14/6) tampak warga kota setempat memborong bungkus ketupat yang terbuat dari daun kelapa dan pandan.
Warga kota, terutama ibu-ibu dan remaja putri ramai mendatangi kios dan lapak pedagang kaki lima yang menyediakan bungkus ketupat tersebut.
Rasyid seorang pedagang yang biasa menjual bungkus ketupat di pasar tradisional Sekip Ujung setiap hari besar agama Islam itu mengatakan, pembeli bungkus ketupat sekarang ini cukup banyak atau hampir sama dengan kondisi Lebaran tahun sebelumnya.
Bungkus ketupat yang ditawarkan kepada pembeli ada dua jenis yakni terbuat dari daun kelapa dan daun pandan.
"Selama ini saya banyak menjual bungkus ketupat terbuat dari daun kelapa, namun sejak Lebaran Idul Fitri lalu mulai menjual yang berbahan baku daun pandan karena diminati warga kota ini," ujarnya.
Menurut dia, bungkus ketupat dari daun pandan dijual dengan harga sedikit lebih mahal dari yang bahan daun kelapa, namun pembelinya tetap saja banyak karena ketika dimasak ketupat mengeluarkan aroma wangi pandan.
Sejak dua hari terakhir hingga kini telah terjual 600 bungkus ketupat daun pandan sedangkan bungkus ketupat dari daun kelapa hanya 250 buah.
Bungkus ketupat yang terbuat dari daun kelapa dijual Rp 7.500 perikat isi 10 buah sedangkan dari daun pandan dijual Rp 9.000 hingga Rp 13.000 per ikat isi 10 buah, kata pedagang pasar tradisional Sekip Ujung itu.
Sementara seorang pembeli Syahlia mengatakan, ketupat merupakan ciri khas warga kota ini pada setiap Idul Fitri.
Meskipun makanan modern telah merambah Bumi Sriwijaya ini, makanan tradisional sebagai ciri khas daerah tetap dipertahankan. Tanpa membuat ketupat sebagian besar warga kota ini merasa tidak berlebaran, kata dia menambahkan.
Ambon Panen Rezeki
Penjual anyaman ketupat musiman di lokasi pasar Mardika dan Batu merah, Ambon, hari ini, Kamis (14/6) panen rezeki karena sebagian besar warga yang datang berbelanja membeli barang khas Idul Fitri.
"Saya bukan pengrajin anyaman ketupat musiman, tetapi penjual yang mengambil dari perajin untuk dijual di pasar," kata Rosmina yang ditemui di lokasi jualan ketupat di pintu masuk pasar Mardika.
Sangat menguntungkan, lanjutnya, sebab ketupat yang diambil dari perajin dengan harga Rp 7.000 per ikat (10 buah) dijual dengan harga Rp 10.000 per ikat, jadi dirinya meraup keuntungan Rp 3.000 per ikat.
Dia mengatakan, sejak pagi hari ketupat yang sudah terjual sebanyak 30 ikat.
"Lumayan, sebab bukan saya sendiri yang menjual tetapi banyak juga pedagang yang menjual sebab mereka melihat ini kesempatan untuk mendapatkan uang, karena setiap ibu-ibu yang berbelanja tetap saja harus membeli ketupat," katanya.
Rugaya, warga jalan Sedap malam, Pusat Kota Ambon yang ditemui seusai membeli tiga ikat ketupat atau sebanyak 30 buah mengatakan, sangat menguntungkan kalau di rumah masak ketupat saja.
"Kalau ketupat sudah ada mau masak lauk apa saja terserah, tinggal makan dengan ketupat, kalau mau pergi ke lokasi ojek wisata sambil membawa bekal sudah pasti ada ketupat pengganti nasi," ujarnya.
"Jadi yang saya beli ini untuk sebentar dijadikan hidangan untuk makan bersama setelah sembahyang syukur karena sudah selesai melaksanakan ibadah puasa selama satu bulan dengan baik dan tidak kekurangan apa-apa," lanjutnya.
Amina, warga Waihaong yang ditemui membeli 20 buah ketupat mengatakan, sangat senang sebab ada saja perajin yang mau menganyam ketupat.
"Cukup 20 buah saja untuk besok anak-anak setelah Salat Id mau pergi ke Natsepa untuk bersenang-senang di sana sambil makan bersama," ujarnya.
Kegiatan berlibur di pantai setiap perayaan hari raya Lebaran hampir setiap tahun dilaksanakan baik di Natsepa, Namalatu maupun di Santai Beach.
Abu perajin yang selama ini bermukim di kawasan Waringing Cap, Desa Waiyame, Kecamatan Teluk Ambon, ketika di konfirmasi mengakui kalau harga ketupat sedikit bergerak naik dari Rp 5.000 menjadi Rp 7.000 per ikat (10 buah).
"Jadi kalau pedagang yang datang untuk menawarkan untuk menjual maka dikasih dengan harga Rp 7.000 per ikat, setelah itu mereka ini berjualan lagi kepada para pembeli dengan harga Rp 10.000 per ikat, mereka meraup keuntungan Rp 3.000," ujarnya.
Ia mengatakan, dalam sehari bisa menganyam ketupat 150 hingga 200 buah. Hasil anyaman itu dijual sendiri dan ada juga dibagikan lagi kepada pelanggan.
Warga Jambi Berburu Selongsong Ketupat
H-1 Lebaran 2018 ibu-ibu di Jambi terlihat berburu selongsong ketupat untuk kemudian dimasukkan beras dan dimasak menjadi makanan pada momen hari raya umat Islam itu.
Salah satu warga Kota Jambi, Sri ditemui di Pasar Keluarga Kota Jambi, Kamis (14/6) mengatakan ketupat menjadi masakan khas saat Idul Fitri.
"Rasanya ada yang kurang jika pada momen Idul Fitri tidak membuat masakan ketupat," katanya di sela-sela memilih selongsong ketupat.
Menurutnya ketupat dimakan bersama keluarga besarnya biasanya dicampur dengan masakan opor ayam, namun ada juga yang mencampur ketupat dengan semur ayam.
"Dengan semur ayam dan opor ayam tetap enak, tergantung enak tidaknya beras yang dimasak di dalam ketupat tersebut," ujarnya.
Ia menyebutkan ketupat yang dijual pedagang di Jambi biasanya dua jenis, yakni ketupat kepal (bersudut 7) dan jajaran genjang bersudut 6. Dua jenis itu memiliki alur anyaman berbeda.
Sri mengaku lebih memilih ketupat jenis jajaran genjang karena isi beras bisa lebih banyak dan padat.
Senada dengan Sri, Inah warga Muarojambi mengatakan jika tidak memasak ketupat maka kurang lengkap merayakan momen lebaran, karena ketupat lebih asyik dimakan beramai-ramai.
"Ketika keluarga besar datang tentu yang kita suguhkan selain kue lebaran adalah ketupat dengan opor ayam. Momen kebersamaannya terasa saat kita beramai-ramai makan ketupat," ujarnya.
Sementara itu seorang pedagang selongsong ketupat di Pasar Tradisional Keluarga, Kota Jambi, Irma mengatakan selongsong ketupat memang banyak dicari menjelang Idul Fitri.
Ia mengatakan, membuat selongsong ketupat tidak susah, hanya perlu daun kelapa yang muda atau disebut janur yang kualitas baik atau panjang dan lebar kemudian dianyam sesuai bentuk jenis ketupat.
Untuk harga selongsong ketupat, pedagang biasanya membuat 10 selongsong ketupat dalam satu ikat dengan harga Rp 7 ribu rupiah.
"Rata-rata satu ikat (10 selongsong) harganya 7 hingga 10 ribu rupiah. Meski banyak dicari masyatakat tapi pedagangnya juga banyak sehingga kadang anyaman selongsong ketupat juga tidak laku terjual hingga malam lebaran," jelasnya.
Seperti diketahui hampir seluruh daerah di Indonesia menjadikan masakan ketupat sebagai hidangan spesial saat Lebaran. Bahkan ketupat juga banyak digunakan untuk hidangan acara-acara sakral lainnya khususnya di Pulau Jawa.
Kampung Ketupat di Bogor
Tiga hari menjelang Lebaran, warga Kampung Ketupat, Cimahpar, Kota Bogor, Jawa Barat sibuk menyelesaikan pesanan ketupat.
Erna Susila (40) salah satu pengrajin ketupat menerima pesanan hingga 2.000 ketupat untuk hari esok, dan pesanan terus datang hingga hari Lebaran.
Ia mengatakan sejak Ramadan permintaan ketupat meningkat dari hari-hari biasanya. Jika sehari ia membuat satu dandang ketupat, selama Ramadan bisa sampai tiga dandang.
"Satu dandang ini isinya bisa 1.500 ketupat," katanya, Selasa (12/6).
Erna dan suaminya Endang Subadri (50) sudah merintis usaha jual ketupat sejak 15 tahun silam. Usaha ketupat di Kebon Nanas, Cimahpar, Kota Bogor sudah turun-temurun dilakukan warga sekitar dimulai sejak era pemerintah Presiden Soeharto.
Awal mula nama Kampung Ketupat muncul karena warga sekitar berprofesi sebagai pembuat dan penjual ketupat. Yang diinisiasi oleh Pak Yahya Almarhum.
Pak Yahya adalah ayah dari Endang Subadri, atau mertua dari Erna. Sehari-hari berprofesi sebagai petani dan jualan lontong sayur.
"Awal mulanya bapak itu petani, karena sehari-hari tidak menentu pendapatannya, bapak coba-coba bikin ketupat, sampai sekarang jadi keterusan sama anak-anaknya, diikuti tetangga juga," katanya.
Menurut Erna, ada sekitar lima pengrajin ketupat di Kebon Nanas, setiap hari membuat dan menjual ketupat rata-rata 1.500 biji.
Untuk membuat 1.500 ketupat dalam sehari, Erna dan pengrajin lainnya mengupahkan pembuatan ketupat ke tetangga mereka. 100 ketupat kosong diupah Rp 2.500 di hari biasa. Karena permintaan meningkat upah naik menjadi Rp 5.000 untuk 100 ketupat kosong.
Ketupat yang dijual Erna adalah ketupat yang sudah masak, atau siap makan. Harganya dari Rp 7.000 naik menjadi Rp 10 ribu untuk 10 ketupat ukuran kecil. Sedangkan ukuran besar bisa mencapai Rp 25 ribu isi 10 ketupat.
Ketupat yang sudah matang dijual di Pasar Anyar. Pembelinya adalah pelanggan tetap Erna yang sudah memesan sejak awal, dan tak jarang konsumen baru.
Erna mengatakan, ia sedikit kewalahan memenuhi permintaan pelanggan. Selain karena keterbatasan tenaga kerja, serta keterbatasan peralatan usaha. Seperti dandang untuk memasak, baru punya dua unit.
Satu unit dandang mampu memasarkan hingga 1.500 ketupat. Satu dandang membutuhkan waktu tujuh jam memasak menggunakan gas.
Walau masih kecil-kecilan, usaha ketupat milik Erna masih terus berlanjut ditengah banyak pengrajin ketupat yang gulung tikar karena tidak menjaga kualitas dan komitmen.
"Kebetulan kami tetap menjaga kualitas, kalau masak memang harus tujuh jam tidak boleh kurang, dan beras yang kami pakai beras IR64 yang kualitas bagus, jadi pelanggan puas," katanya.
Erna ingin usahanya terus berkelanjutan, dia berharap suatu saat bisa punya ruko untuk jualan ketupat. Tetapi karena biayanya tinggi, ia mengalokasikan anggaran untuk pendidikan anaknya.
"Kalau jualan di pasar, yang namanya PKL itu sering kena gusur. Maunya saya punya ruko, bisa enak jualannya. Tapi biaya mahal," kata ibu tiga anak ini.
Menariknya di Kampung Ketupat ini, ketika mendatanginya dapat terlihat sejumlah rumah warga yang sedang membuat ketupat dalam jumlah banyak. (af)