Kurikulum Baru di Era dan Pasca Pandemi Covid-19

IKA UPI nilai Indonesia perlu ubah kurikurulum yang relevan dengan kondisi di era dan pasca pandemi Covid-19, kurikulum 2013 tak sesuai saat ini
Murid SMA di salah satu sekolah di Bandung, Jawa Barat. (Foto: Tagar/Fitri Rachmawati).

Bandung - Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (IKA UPI), Enggartiasto Lukita, menilai kurikulum 2013 yang saat ini diterapkan di Indonesia sudah tidak mungkin lagi diterapkan selama masa pandemi. Untuk itu, perlu rekonstruksi kurikulum relevan dengan situasi pandemi maupun pasca pandemi. Artinya, Indonesia sudah saatnya menggunakan kurikulum era pandemi yang adaptif dengan perubahan global tersebut.

“Mari kita jujur. Sebelum pandemi saja kita merasakan ketertinggalan dibandingkan dengan beberapa negara lain yang maju. Apalagi sekarang kita di tengah pandemi. Karena itu, maka pembelajaran jarak jauh menjadi topik utama. Kita sedang beradaptasi dengan budaya baru dalam pembelajaran,” tuturnya dalam keterangan tertulis yang diterima Tagar di Bandung, Jawa Barat, 10 Juni 2020.

Menurut Enggartiasto, Indonesia saat ini membutuhkan cara baru dalam tata kelola pendidikan selama pandemi Covid-19 dan pasca pandemi. Pandemi yang saat ini tengah melanda Indonesia jangan sampai menghalangi hak-hak peserta didik untuk mendapatkan pendidikan secara memadai.

1. Kurikulum 2013 Sangat Padat Tidak Pas di Masa Pandemi Covid-19

“Karena itu, (Indonesia) butuh kurikulum baru yang relevan dengan situasi kenormalan baru (new normal). Setelah pandemi berlalu, sekadar menormalkan praksis sekolah tidaklah cukup. Yang diperlukan adalah transformasi, yaitu desain besar untuk mengubah sistem pendidikan secara mendasar,” kata dia.

Apalagi visi Presiden Joko Widodo sudah sangat jelas, menyebutkan sumber daya manusia (SDM) sebagai kunci kemajuan bangsa. Untuk mendapatkan SDM unggul, maka pendidikanlah satu-satunya yang bisa menentukan. Pendidikan menjadi penentu masa depan bangsa ini.

“Dan kurikulum 2013 yang begitu padat tidak mungkin lagi kita terapkan selama masa pandemi ini. Ini tantangan kita semua. Apalagi dalam menerapkan pembelajaran jarak jauh ini, baku mutu, standar, tidak ada yang seragam. Ini diserahkan kepada kreativitas masing-masing guru dan sekolah,” keluh dia.

Sudah pasti akan terjadi kesenjangan antara guru, dan antara satu sekolah dengan sekolah lainnya, atau satu kota dengan kota lainnya, atau satu provinsi dengan provinsi lainnya yang memang tidak dipersiapkan untuk hal tersebut.

“Sehingga, saya berharap dari berbagai webinar ini akan ada yang lebih. Ada sesuatu yang bisa dihasilkan untuk menata ulang pendidikan kita ke depan, dan, kami di IKA UPI akan menyampaikan dan menyerukan kepada Mas Menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim) mengenai urgensi dari hal ini. Lebih tajam dan lebih jauh. Kita sampaikan secara tertulis dan terbuka kepada pemerintah,” tegas mantan Menteri Perdagangan Kabinet Kerja Jokowi tersebut.

2. Pandemi Momentum Ubah Kurikulum

Sementara itu, Ketua IKA UPI Bidang Pembinaan Profesi Unifah Rosyidi mengungkapkan pandemi Covid-19 membawa dampak luar biasa pada sektor pendidikan. Hal ini terjadi karena pada dasarnya pendidikan tidak mengakomodasi situasi ini. Apalagi terjadi disparitas mencolok antara satu sekolah dengan sekolah lain atau satu daerah dengan daerah lain. Pada saat yang sama, hanya sedikit guru yang siap melakukan pembelajaran online secara mandiri. Kepemilikan siswa terhadap perangkat komunikasi juga terbatas. Belum lagi orang tua yang belum terbiasa dengan pembelajaran online.

Pandemi adalah momentum. Masa pandemi ini adalah momentum untuk kita melakukan hal-hal besar dan mendasar. Untuk mencegah penularan virus, sementara ini para siswa harus mematuhi protokol kesehatan, seraya melakukan berbagai upaya praktis agar pendidikan berjalan normal. Benang merahnya bukan menaikan angka partisipasi sekolah seperti yang kini banyak dilakukan. "Tapi, melakukan perubahan menyeluruh dan mendasar kurikulum sekolah, baik dominasi kontennya maupun remodeling sistem pembelajarannya,” ujar Unifah yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

Menurut Unifah, sistem pembelajaran tidak bisa kembali ke suasana seperti sebelum pandemi, terutama selama vaksin belum ditemukan. Maka dari itu, sudah saatnya sektor pendidikan menggunakan dengan cara baru. Jika biasanya belajar di kelas dilakukan selama 6-8 jam, sekarang tidak bisa karena siswa harus berbagi ruangan kelas. Dengan demikian, pemerintah tidak bisa lagi mengharuskan 24 jam mengajar bagi guru. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus melakukan penyesuaian untuk menyelaraskan dengan kenormalan baru tersebut.

“Dengan pandemi dan setelahnya nanti, kita tidak bisa melakukan tata kelola pendidikan secara business as usual. Kita harus melakukan dengan pendekatan kontekstual. Harus melakukan usaha-usaha khusus. Seperti misalnya membuat modul pembelajaran yang penting adalah bagaimana guru memberikan penjelasan sejelas-jelasnya sehingga anak bisa belajar bersama orang tua,” kata dia.

3. PB PGRI Susun Kurikulum Pandemi

Secara kelembagaan, sambung Unifah, PB PGRI tengah menyusun konsep kurikulum era pandemi. Kurikulum ini didesain menjadi sangat praktis dan aplikatif dengan target pembelajaran rasional. Konsep kurikulum yang sedang disusun PB PGRI sangat berbeda dengan kurikulum sekarang yang padat konten, sulit mendorong anak untuk belajar secara mandiri di rumah. Kurikulum ini pun lebih memberikan keleluasaan kepada sekolah menyusun pembelajaran yang mungkin dicapai oleh siswa.

“Dengan kurikulum era pandemi ini, guru tidak harus menyampaikan teori mata pelajaran, tetapi melatih anak belajar secara praktis untuk mencapai kompetensi minimum literasi dan numerasi. Basic literacy yaitu membaca, menulis, menyimak, mengkomunikasi dan logika matematika untuk survival hidup di alam nyata,” jelas dia.

Remodelling sistem belajar tersebut menciptakan proses pembelajaran yang memungkinkan anak termotivasi untuk terus belajar, menjadi pembelajar mandiri, bertumpu pada proses, dan guru berperan sebagai learning manager. Model pembelajaran berupa thematic instruction, collaborative learning, problem based learning and experiential learning.

“Era pasca pandemi nanti, transformasi pendidikan akan sukses jika dalam kurikulum sekolah itu dirancang program-program pendidikan dengan standar-standar kompetensi yang jelas dan terukur. Kemendikbud harus merancang banyak aplikasi digital sistem mikro, mulai dari pembelajaran, asesmen, pelatihan guru termasuk manajemen sekolah, baik online maupun offline,” terang dia.

Untuk memastikan sistem mikro bekerja, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun perlu merancang berbagai aplikasi digital sistem makro tata kelola pendidikan, seperti perencanaan guru, keuangan pendidikan, pendidikan guru, pengadaan sarana-prasarana, pengawasan, dan sistem evaluasi. Aplikasi mikro dan makro tersebut hanya dapat dilakukan ketika arah transformasi kurikulum dan pembelajaran sudah semakin kredibel dan akseptabel secara politis.

“Dengan demikian, kualitas pendidikan tidak bisa hanya ditentukan oleh guru semata. Saat ini berkembang stigma bahwa rendahnya kualitas pendidikan akibat rendahnya kualitas guru. Padahal, kualitas guru merupakan mencerminkan kualitas kebijakan. Artinya, kualitas guru saat ini merupakan cermin tata kelola dan kebijakan pendidikan,” ujar dia.

4. Sistem Remunerasi Dikritik

Ia pun mengkritik sistem remunerasi yang berdampak buruk terhadap guru sebagai jabatan profesional karena disamakan dengan pegawai administrasi. Tunjangan profesi guru bagi guru bersertifikat tidak memperhitungkan kinerjanya, tetapi ditentukan oleh syarat administratif, seperti mengajar minimal 24 jam per-minggu, tidak absen lebih dari tiga hari, serta dengan peraturan yang berbelit-belit.

Kurangnya pelatihan guru disebabkan oleh anggaran pelatihan yang minim atau bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Sangat jarang pemda menyelenggarakan program pelatihan guru yang sistematis dan terprogram. Selain karena belum menganggap pentingnya pelatihan guru. "Pemda juga tidak memiliki tenaga pelatih yang profesional dan kurang mampu bekerjasama dengan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) setempat,” keluh dia.

Terkait hal itu, Unifah meminta jangan ada kesan meminggirkan LPTK di dalam agenda besar negara untuk peningkatan mutu dan keunggulan pendidikan. Sebab hal tersebut terkesan sebuah philosophical error.

““Visi presiden tidak demikian. Dalam ‘peta jalan pendidikan Indonesia berbagai solusi telah diangkat. Namun memerlukan pemikiran kebijakan yang mendasar. Sebaiknya bekerjasama dan bersinergi dengan para ahli pendidikan dan para ahli lain yang relevan,” pinta dia.

Selain itu tambah Unifah, rendahnya kemampuan literasi siswa yang diukur oleh Program for International Student Assessment atau PISA, berakar pada cara mengajar yang terlalu teoritis dengan kurikulum yang padat konten akademik. Menurut kurikulum yang berlaku, matematik, sains, dan membaca yang diajarkan di sekolah, sepenuhnya berbasis akademik sekolah menyiapkan siswa semuanya menjadi ilmuwan. Padahal, yang diukur oleh PISA bukan aspek akademik, tetapi aspek literasinya. Selain itu, pendidikan di Indonesia harus berakar pada budaya bangsa.

Tekanan pada pendidikan akademik di sekolah, guru tidak dituntut mengaktifkan siswa untuk berlatih dan belajar secara aplikatif yang dilakukan oleh semua guru lulusan manapun, karena requirement kurikulum sekolah. Sejak tahun 2005, guru lulusan pendidikan tinggi umum semakin besar proporsinya, namun sejak saat itu pula skor PISA anak Indonesia tidak semakin baik, bahkan cenderung semakin menurun. Jadi, masalahnya bukan terletak pada guru dan LPTK.

Hingga kini pemerintah belum melakukan diagnosa yang cermat terhadap faktor pengelolaan guru, seperti rekrutmen yang merit, pengelolaan yang profesional, asesmen kinerja, dan pembinaan profesional berkelanjutan. Padahal, itulah penyakitnya dan LPTK tidak berperan di situ. "Jadi, jangan sampai kesalahan mendiagnosa karena LPTK dalam Peta Jalan Pendidikan adalah kebijakan yang tidak luput dari pemeo Solving the Wrong Problem (type 3 error), seperti halnya dokter yang keliru mendiagnosa penyakit dan fatal akibatnya,” keluh dia. []

Berita terkait
Fraksi Golkar Jabar Tak Perlu Buru-buru Buka Sekolah
Fraksi Golkar DPRD Jabar apreasisi Pemprov Jawa Barat perpanjang pembelajaran jarak jauh (PJJ) untuk pelaksanaan sekolah tahun ajaran 2020/2021
Disdik Jabar Dorong Sekolah Harus Menyenangkan
Dinas Pendidikan Jawa Barat berupaya tingkatkan kualitas pendidikan di Jawa Barat, termasuk penguatan mental guru dan siswanya
Sekolah se-Jabar Ditutup, Siswa Belajar di Rumah
Disdik Jabar menutup kegiatan belajar mengajar di sekolah se-Jabar dan menggantinya dengan pembelajaran jarak jauh di rumah.
0
Massa SPK Minta Anies dan Bank DKI Diperiksa Soal Formula E
Mereka menggelar aksi teaterikal dengan menyeret pelaku korupsi bertopeng tikus dan difasilitasi karpet merah didepan KPK.