TAGAR.id - Riset teranyar menunjukkan laju pencairan es yang sangat cepat di kedua kutub Bumi. Kedaruratan itu diharapkan bakal dijawab dalam KTT Kutub di Paris, Prancis, hingga Jumat (10/11-2023) ini. Serdar Vardar melaporkannya untuk DW.
Kriosfer, yang berarti ekosistem beku, saat ini mencakup hampir 10% permukaan Bumi. Namun, seiring dengan meningkatnya suhu akibat emisi yang disebabkan oleh aktivitas manusia, ilmuwan mencatat adanya akselerasi pencairan es di kedua kutub.
"Dalam dua tahun terakhir kita telah kehilangan sebagian besar es di Laut Antartika,” kata Antje Boetius, Direktur Pusat Penelitian Kutub di Jerman dan salah satu ketua dewan penasehat ilmiah pada pertemuan puncak kutub di Paris, Prancis.
"Dalam tiga tahun terakhir, perubahan di penjuru kriosfer telah melampaui ramalan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC)," imbuhnya.
Kerusakan ekosistem es Bumi berpotensi berdampak pada miliaran orang di seluruh dunia, dalam berbagai cara.
Saat ini setidaknya 1,9 miliar orang diperkirakan bergantung pada pasokan air bersih dari pencairan salju dan gletser, yang ikut mengairi irigasi pertanian. Ketika pencairan es semakin cepat karena suhu yang menghangat, ketersediaan air di masa depan menjadi terancam.
Ancaman kepunahan kriosfer
Perubahan pada kriosfer dapat mengubah pola sirkulasi atmosfer, menyebabkan salju dan curah hujan ekstrem, yang dapat memicu banjir bandang dan semburan danau glasial. Insiden serupa di Pakistan menewaskan lebih dari 1.700 orang antara bulan Juni dan November 2022.
Lebih dari dua juta orang kehilangan rumah. Adapun nilai kerugian diperkirakan mencapai lebih dari USD15 miliar atau sekitar Rp234 triliun, menurut Bank Dunia.
Kerugian antara lain dipicu kenaikan muka air laut akibat kepunahan kriosfer. Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan jurnal ilmiah Nature, sekitar 410 juta orang yang tinggal di daerah pesisir dan pulau-pulau dataran rendah bakal menghadapi tingkat banjir berfrekuensi ekstrem akibat naiknya air laut pada tahun 2100.
Antje Boetius, peneliti Kutub di Jerman, berharap pertemuan di Paris, yang diadakan tepat sebelum Konferensi Iklim PBB COP28, dapat meyakinkan politisi agar mempercepat upaya mencapai netralitas iklim dan "benar-benar terlibat dalam menyelamatkan keanekaragaman hayati," di kedua kutub Bumi.
"Hasil terbaik dari pertemuan puncak ini adalah para kepala negara yang hadir dapat membuat komitmen yang jelas dan membahas pentingnya memenuhi tujuan iklim Paris,” kata Boetius.
Ketertinggalan dalam mitigasi bencana iklim
Tujuan utama dari Perjanjian Paris, yang ditandatangani oleh 195 negara, adalah untuk menjaga kenaikan rata-rata suhu global di bawah 2 derajat Celsius dan mengupayakan untuk membatasi kenaikan suhu maksimal 1,5 derajat di atas suhu pra-industri.
Boetius juga mengimbau kolaborasi penelitian ilmiah yang lebih luas "untuk mengalahkan laju kepunahan kriosfer.," demi menghindari maraknya bencana ekstrem di Bumi.
"Bahkan negara-negara yang telah beradaptasi dengan baik seperti Norwegia saja berkali-kali mencatatkan jatuhnya korban jiwa,” katanya. "Mereka belum memiliki sistem pemantauan dan penilaian risiko, serta peringatan dini yang luas bagi masyarakat.”
Mengacu kepada kerja sama internasional seperti sistem peringatan dini tsunami di Indonesia, Boetius mengatakan pendekatan serupa dapat digunakan untuk memprediksi curah hujan ekstrem, yang dapat menyelamatkan nyawa dan melindungi kerusakan pada pemukiman penduduk. (rzn/as)/dw.com/id. []