Kriminalisasi Nakes di Pematangsiantar dan 'Mengubur Anjing' di Jogja

Nakes di Pematangsiantar tak pantas dikriminalkan. Yang pantas dihukum itu anggota DPRD Jogja yang bilang pemakaman covid seperti mengubur anjing.
Prosesi pemakaman bagi jenazah Covid-19 di TPU Bambu Apus, Jakarta. (Foto: Tagar/Getty Images)

Judul Asli: Gagal Pandang

Kepada yang terhormat Kapolri. Apa yang terjadi di Pematangsiantar, Sumatera Utara, dan Bantul, Yogyakarta, baru-baru ini adalah gambaran nalar pincang dalam melihat kondisi abnormal. Pandemi Covid-19 adalah bencana nasional non-alam yang artinya suatu kondisi kedaruratan atau abnormal.

Jika kondisi abnormal dilihat dan diperlakukan cara normal, pasti akan berujung perilaku bodoh dari anak manusia yang gagal menjalankan kondratnya sebagai makhluk Tuhan yang paling adaptif terhadap suatu perubahan. Karena kebodohannya tersebut, menyebabkan respons diri sangat bebal alias inert dan feeling-nya tidak jalan alias stubborn.

Bagaimana bisa, Nakes yang sedang menjalankan tugas di era pandemi Covid-19, dikriminalisasikan dengan delik penistaan agama? Pejuang kemanusiaan yang dikriminalkan di jalannya sendiri.

Sangatlah wajar dalam kondisi darurat, segala sesuatu serba terbatas, dan berpontensi terjadi suatu kesalahan. Mestinya diselesaikan secara beradab dan bermartabat, yaitu cara-cara kekeluargaan, bukan malah dibawa ke ranah hukum. Bagi saya ini jelas suatu bentuk kriminalisasi Nakes.

Anggota DPRD Bantul, Yogyakarta, ini pantas diproses hukum, bukan keempat Nakes di Pematangsiantar, Sumut.

Nakes adalah garda paling depan penuntasan pandemi Covid-19 di Tanah Air. Empat Nakes di Pematangsiantar, Sumut, sangat dibutuhkan perannya. Jika keempatnya ditahan, pasti kinerja rumah sakit tempat mereka bekerja akan sangat terganggu. Saya bersedia menjadi jaminan penangguhan penahanan bagi keempat Nakes tersebut: dua muslim dan dua non-muslim. Tidak masalah bagi saya. Nilai kemanusiaan yang saya anut sifatnya universal.

Dua hari yang lalu Jogja digemparkan ucapan anggota DPRD Bantul yang mengatakan pemakaman jenazah pasien terkonfirmasi positif Covid-19 seperti mengubur anjing. Jujur saya jadi bingung, yang lebih pantas jadi anjing siapa? Perilaku anggota DPRD Bantul tersebut bukan hanya menjungkir-balikkan nilai-nilai kemanusiaan, menerjang etika dan moral, juga melanggar hukum. Ucapannya sangat kasar dan provokatif yang sangat berpotensi memunculkan pembangkangan di tengah masyarakat atas protokol Covid-19. Justru pemakaman jenazah pasien terkonfirmasi positif Covid-19 yang sesuai protokol Covid-19 adalah upaya pemerintah memuliakan jenazah tersebut dari perspektif kedaruratan.

Anggota DPRD Bantul, Yogyakarta, ini pantas diproses hukum, bukan keempat Nakes di Pematangsiantar, Sumut.

Bukan soal tajam ke bawah tumpul ke atas, mohon jangan pidanakan orang yang tidak bersalah. Terima kasih. 

*Akademisi Universitas Gadjah Mada

Berita terkait
Upaya Damai Gagal, Kasus Penistaan Agama 4 Nakes Siantar Berlanjut
Upaya restorasi justice kasus penistaan agama kepada empat nakes RSUD dr Djasamen Saragih Kota Pematangsiantar menemui jalan buntu.
Ini Pengakuan Nakes RSUD Siantar yang Dijerat Pasal Penistaan Agama
Empat tenaga kesehatan RSUD dr Djasamen Saragih Pematangsiantar, dijerat pasal penistaan agama karena memandikan jenazah.
Pengucap Pemakaman Corona Menguburkan Anjing Minta Maaf
Anggota DPRD Bantul Supriyono akhirnya meminta maaf atas ucapannya yang menyebut pemakaman jenazah pasien corona seperti memakamkan seekor anjing.