Komnas Perempuan: Jangan Menghubungkan Bencana dengan Penghakiman Berbasis Teologi

“Termasuk menghubungkan kondisi jenazah perempuan dengan stigma-stigma yang merendahkan tanpa menimbang dampaknya pada keluarga yang ditinggalkan.” – Komnas Perempuan.
Seorang relawan mengevakuasi bayi korban gempa dan tsunami Palu-Donggala saat tiba di Lanud Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (1/10/2018). Diperkirakan sejak evakuasi hari pertama melalui jalur udara sebanyak 2.000 warga korban gempa dan tsunami Palu-Donggala tiba di Makassar. (Foto: Ant/Sahrul Manda Tikupadang)

Bandung, (1/10/2018) - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyerukan kepada semua pihak, terutama pengguna media sosial agar bisa menahan diri untuk tidak menghubungkan bencana dengan penghakiman baik itu berbasis teologis maupun budaya yang cenderung menyalahkan, menakut-nakuti, dan justru memperparah kesakitan bagi para korban bencana.

Ketua Komnas Perempuan, Azriana menuturkan Komnas Perempuan menemukan di beberapa wilayah bencana, ada kecenderungan menyalahkan perempuan atau mengaitkan bencana dengan isu moralitas perempuan.

“Termasuk menghubungkan kondisi jenazah perempuan dengan stigma-stigma yang merendahkan perempuan tanpa menimbang dampaknya pada keluarga yang ditinggalkan dan martabat perempuan korban yang kehilangan nyawa,” tuturnya dalam keterangan tertulisnya yang diterima Tagar di Bandung, Senin (1/10/2018).

KORBAN GEMPA DAN TSUNAMI TIBA DI MAKASSARWarga negara asing korban gempa dan tsunami Palu-Donggala tiba di Lanud Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (1/10/2018). Diperkirakan sejak evakuasi hari pertama melalui jalur udara sebanyak 2.000 warga korban gempa dan tsunami Palu-Donggala tiba di Makassar. (Foto: Ant/Sahrul Manda Tikupadang)

Menurut Azriana, media dan pengguna media sosial untuk bisa turut sensitif pada penderitaan korban dan keluarganya termasuk korban perempuan dengan menyampaikan berita yang informatif, mendorong 'sense of urgensi' dan solidaritas publik, mengupayakan penanganan cepat dan informasi wilayah-wilayah yang belum atau minim penanganan.

“Seperti menyampaikan data korban dan menghubungkan dengan keluarganya dibandingkan dengan pemberitaan yang mengeksploitasi penderitaan korban dan keluarganya, termasuk penyebaran foto-foto atau video jenazah yang telah ditemukan,” ujarnya.

Pentingnya Kebutuhan Perempuan

Di sisi lain, Azriana mengingatkan kepada para pihak baik itu pemerintah maupun elemen masyarakat lainnya mengenai pentingnya memperhatikan kebutuhan khusus perempuan dan kelompok rentan lainnya dalam situasi bencana seperti di Palu-Donggala.

“Kebutuhan khusus yang dimaksud, yaitu sensitivitas pada kebutuhan khusus perempuan yang hamil, melahirkan, menyusui dan menstruasi. Distribusi layanan dan bantuan yang berprinsip afirmasi, di mana kelompok rentan mendapat prioritas, baik lanjut usia (lansia), anak, disabilitas, korban yang sakit, termasuk perempuan. Kecenderungan distribusi bantuan yang mengandalkan kekuatan fisik karena berdesak-desakan, akan menimbulkan risiko bagi kelompok rentan terjauh dari akses bantuan,” terangnya.

Selain itu, Komnas Perempuan pun meminta kepada semua pihak terkait untuk memastikan dan menata pengungsian yang aman dan sensitif pada perempuan. Sebab, Komnas Perempuan mencatat adanya kekerasan seksual di sejumlah pengungsian pada beberapa konteks pengungsian dan bencana sebelumnya di sejumlah wilayah.

“Tidak lupa, harus ada pelibatan perempuan dalam penanganan emergensi respons, pemulihan dan rehabilitasi, serta sensitif budaya setempat, berkeadilan dan tidak diskriminatif atas dasar apa pun,” tegasnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah mendorong negara segera melakukan mobilisasi besar-besaran penanganan bencana di Donggala, Palu dan sekitarnya, tanpa mengurangi konsentrasi penanganan bencana di wilayah bencana yang lain.
“Prioritas mitigasi bencana pada fasilitas emergensi untuk penyelamatan nyawa, akses pangan dan air bersih untuk bertahan hidup, sarana penerangan, komunikasi, informasi, juga transportasi untuk memudahkan mobilitas bantuan dan relawan, dan lain-lain,” tuturnya.

Selain itu, Yuniyanti pun menyerukan upaya solidaritas publik untuk membantu meringankan para korban dan keluarga sesuai dengan keahlian maupun kapasitas masing-masing, terutama dukungan untuk emergensi respons.

“Informasi sementara yang dihimpun Komnas Perempuan dari mitra-mitra di lapangan, kebutuhan yang sangat mendesak adalah relawan untuk mencari korban yang belum ditemukan, pemulihan karena trauma bencana, tim medis, kebutuhan pokok makan minum dan air bersih, pakaian dan tempat tinggal sementara,” jelasnya.

Di samping itu, Komnas Perempuan mengajak dan mendukung berbagai pihak untuk menyalurkan dukungan finansial dan lainnya yang dapat digunakan untuk membantu membangun kembali kehidupan korban.

AKSI SOLIDARITAS KORBAN GEMPA DI SLEMANSiswi Muhammadiyah Boarding School (MBS) Prambanan melakukan penggalangan dana di simpang Candi Prambanan, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (1/10/2018). Aksi solidaritas dengan mengumpulkan donasi tersebut sebagai wujud kepedulian untuk meringankan beban korban gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. (Foto: Ant/Hendra Nurdiyansyah)

“Khususnya melalui lembaga-lembaga yang mengelola bantuan dengan transparan dan akuntabel, baik lembaga pemerintah maupun lembaga yang diinisiasi masyarakat,” ujarnya.

Dia pun menambahkan, selain apresiasi kepada langkah cepat pemerintah dan masyarakat sipil dalam menangani korban dan mengupayakan bantuan dalam situasi yang terbatas. Komnas Perempuan mendorong Pemerintah dan masyarakat membangun skema dukungan yg kreatif dan mudah diakses, dengan membuka dan mengaktifkan stok persediaan bahan pangan yang masih ada di daerah sekitar yg tidak terdampak, dengan tanpa mengurangi dukungan dari berbagai penjuru tanah air, yang dikhawatirkan terhambat karena kendala pengiriman. []

Berita terkait