Komnas Perempuan: Hentikan Pembunuhan Perempuan di Indonesia

Komnas Perempuan meminta kepada aparat penegak hukum hentikan pembunuhan perempuan atau femicide yang banyak terjadi di Indonesia.
Femicide ini terjadi karena kuatnya kuasa patriarki, relasi kuasa antara pelaku dan korban, dan pelaku adalah orang-orang dekat yang dikenal korban. Kemudian, pola-pola femicide yang selama ini dianalisa Komnas Perempuan berasal dari data terlaporkan langsung, tertulis, media dan mitra, menunjukkan bahwa femicide dapat disebabkan oleh kekerasan seksual dengan atau berakhir pembunuhan, ketersinggungan maskulinitas seksual laki-laki, kecemburuan. “Kawin siri yang tidak ingin terbongkar, menghindar tanggung jawab karena menghamili, prostitusi terselubung yang minim,” ujarnya. (Foto: Ilustrasi/Ist)

Bandung, (Tagar 16/11/2017) - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan meminta kepada aparat penegak hukum hentikan pembunuhan perempuan atau femicide yang banyak terjadi di Indonesia.

Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, banyaknya kasus femicide  atau pembunuhan perempuan di Indonesia, salah satunya kasus pembunuhan dr. Letty, ini adalah puncak dari KTP atau Kekerasan Terhadap Perempuan yang berakhir pada hilangnya nyawa perempuan, dan ironisnya kasus femicide  ini jarang terungkap atau dilaporkan karena dianggap korban sudah meninggal.

“Kasus dr.Letty ini, sebenarnya almarhumah telah melaporkan tersangka pembunuh, dr. Helmi (suaminya), ke polisi atas kasus KDRT yang dialaminya, tetapi polisi tidak menahan pelaku dan tidak memberikan perlindungan sementara kepada korban,” tuturnya dalam keterangan tertulisnya yang diterima Tagar di Bandung, Kamis (16/11).

Padahal lanjut Mariana, UU PKDRT menyebutkan terdapat 10 pasal khusus yang mengatur tentang perlindungan sementara, dan perintah perlindungan untuk korban. Pada review 10 tahun implementasi UU PKDRT yang dilakukan Komnas Perempuan, aspek perlindungan dan keamanan korban inilah yang paling lemah dijalankan.

“Oleh karena itu, Komnas Perempuan imbau Polri harus siaga penuh untuk menjaga dan menjamin keamanan pelapor atau perempuan yang terindikasi terancam jiwanya, termasuk media dalam hal ini harus menghindari viktimisasi pada korban dengan menjaga integritas korban dan keluarganya,” jelasnya.

Kasus Femicide Banyak Tak Diungkap Tuntas Polisi

Adapun kasus femicide  ini terang Mariana, merupakan kasus penghilangan nyawa perempuan yang berhubungan dengan identitas gendernya. Dalam hal ini Komnas Perempuan mencatat femicide  ini minim terlaporkan ke Komnas Perempuan maupun lembaga layanan, karena dianggap korbannya sudah meninggal. “Padahal hak asasi seseorang atas martabat, kebenaran, keadilan dan sebagainya tidak berhenti dengan hilangnya nyawa,” terangnya.

Selain itu kasus femicide  ini pun cenderung hanya dianggap kriminalitas biasa yang dianggap polisi, yang lebih fokus untuk mencari pelaku dan ironisnya minim analisa GBV atau Gender Based Violence atau kekerasan berbasis gender tidak ada diskusi dan kurang perhatian aspek pemulihan korban serta keluarganya.

“Kasus femicide ini cenderung hanya dianggap kriminalitas biasa, yang femicide perlu menjadi perhatian. Pasalnya, dapat saja terjadi karena tidak dijalankannya fungsi perlindungan korban saat terancam nyawanya, termasuk dalam konteks PKDRT,” katanya.

femicide ini terjadi karena kuatnya kuasa patriarki, relasi kuasa antara pelaku dan korban, dan pelaku adalah orang-orang dekat yang dikenal korban. Kemudian, pola-pola femicide  yang selama ini dianalisa Komnas Perempuan berasal dari data terlaporkan langsung, tertulis, media dan mitra, menunjukkan bahwa femicide dapat disebabkan oleh kekerasan seksual dengan atau berakhir pembunuhan, ketersinggungan maskulinitas seksual laki-laki, kecemburuan. “Kawin siri yang tidak ingin terbongkar, menghindar tanggung jawab karena menghamili, prostitusi terselubung yang minim,” ujarnya.

Lalu, dari aspek pelaku pun tambah Mariana, polanya biasanya adalah orang-orang yang dikenal dekat, baik pacar, kawan kencan, suami, pelanggan dan lainnya. Diikuti dengan pola femicide-nya yang sadis dan cenderung tidak masuk akal.

“Seperti korban dimasukkan dalam koper, dibuang dibawah jalan tol, terjadi di tempat kost atau hotel dengan kondisi jenazah dihukum secara seksual, dibunuh dalam keadaan hamil, dibuang ke lumpur hingga dibuang ke jurang dan lainnya,” tegasnya.

Sementara itu, Komnas Perempuan mencatat 5 (lima) kasus pengaduan femicide yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan. Kemudian melalui penelusuran kliping di media tahun 2017 saja. Sudah ada sekitar 15 kasus pembunuhan perempuan, termasuk kasus dr.Letty. Di 2016 saja, kasus-kasus yang mencuat antara lain kasus pembunuhan dan perkosaan termasuk kasus YY di Bengkulu.

“Kisah korban yang diperkosa lalu dibunuh dengan gagang cangkul menancap di vagina korban, pembunuhan dan kekerasan seksual kepada F anak 9 tahun di Kalideres, pembunuhan korban dibuang dalam kardus di bawah jalan tol, mutilasi ibu hamil di Tangerang karena relasi personal janji nikah (eksploitasi seksual),” ungkapnya.

Oleh karena itu, Komnas Perempuan turut berduka cita atas korban-korban femicide  tersebut, dan terutamanya mengutuk keras kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan yang semakin menggerus rasa aman kita semua.

“Maka dari itu, dalam hal ini masyarakat termasuk keluarga besar, tempat kerja, organisasi, lembaga pendidikan untuk menjadi bagian pencegahan dan perlindungan berbasis komunitas. Pemerintah pun diharapkan menyerukan pendataan yang serius terhadap femicide  sebagai acuan agar bisa diambil langkah sistemik untuk pencegahan dan penanganannya,” tutupnya. (fit)

Berita terkait
0
Tjahjo Kumolo Wafat, Jokowi: Semoga Amal Ibadah Almarhum Diterima oleh Allah SWT
Tjahjo Kumolo meninggal dunia di Rumah Sakit (RS) Abdi Waluyo, Menteng, Jakarta Pusat, pukul 11.10 WIB.