Kisah Pasukan UNAMID Indonesia Dijarah

Kisah pasukan UNAMID Indonesia bertugas menjaga perdamaian di Sudan, Afrika: dijarah, cup cup, hingga setahun lebih puasa kretek.
Ilustrasi - Kontingen Garuda di bawah kendali UNAMID (UN Mission in Darfur). (Foto: UNAMID)

Addis Ababa - Personel Tentara Nasional Indonesia yang tergabung dalam pasukan perdamaian dunia selalu punya banyak cerita pengalaman bertugas di negeri asing. Satu di antaranya yang dialami Tim Garuda ketika bertugas menjaga perdamaian di Sudan, Afrika.

Kontingen Garuda yang berjumlah 800 prajurit ditugaskan PBB di bawah kendali UNAMID (UN Mission in Darfur) menjaga perdamaian di Sudan sejak April 2018 hingga Juni 2019. Mereka tergabung dalam pasukan UNAMID XXXV-D bersama pasukan dari beberapa negara lain.

Di Sudan, para prajurit Indonesia ini dibagi ke beberapa titik. Antara lain camp yang ada El Geneina, El Fasher. Mereka berasal dari berbagai kesatuan, baik dari Polri, TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, dan TNI Angkatan Udara.

Sebelum pemulangan pada Juni 2019, beberapa kloter pasukan terlebih dulu kembali ke Tanah Air. "Yakni pada Desember 2018 dan April 2019," kata Mayor (Arh) Muhammad Arifin, ketika berkunjung ke KBRI Addis Ababa, Ethiopia, Senin, 1 Juli 2019. Tersisa Arifin bersama 28 personel lain yang berada di Addis Ababa dalam rangka transit menuju Indonesia.

Arifin adalah wakil komandan Satuan Tugas Indonesian Force Protection Company (FPC) UNAMID XXXV-D atau yang kerap disebut INDOBATT 04. Ia bersama pasukannya menjadi yang terakhir balik ke Indonesia karena bertugas memastikan pemulangan semua peralatan tempur milik Indonesia. Setelah semua selesai, mereka bisa berkemas pulang.

UNAMIDMayor M. Arifin (kanan), wakil komandan Satgas Indonesian FPC UNAMID XXXV-D dan Duta Besar Al Busyra Basnur di KBRI Addis Ababa. (Foto: Tagar/Tito Sianipar)

Arifin berkisah, kepulangan mereka ini mengalami penundaan dari yang seharusnya meninggalkan Sudan pada 16 Juni 2019. Penyebabnya adalah camp UNAMID yang ada di El Geneina, tempat mereka bertugas, dijarah oleh penduduk lokal. Sejumlah amunisi milik tentara hilang dirampas warga.

Karena kejadian tersebut, mereka harus kembali lagi ke camp El Geneina untuk mendata ulang serta melaporkan kejadian tersebut ke otoritas setempat. "Akibat insiden itu, kami tertunda pulang selama dua minggu," kata Arifin di hadapan Duta Besar RI untuk Ethiopia Al Busyra Basnur dan staf KBRI lain.

Setelah menyelesaikan urusan penjarahan tersebut, sisa 29 orang pasukan UNAMID asal Indonesia itu baru bisa pulang ke Tanah Air. Dari El Geneina di barat Darfur, mereka bertolak ke ibu kota Karthoum, lalu ke Addis Ababa untuk melanjutkan penerbangan ke Jakarta.

Berdasarkan keterangan dari situs resmi UNAMID, penjarahan serupa kerap terjadi terhadap misi perdamaian dan kemanusiaan di Sudan. Satu di antara yang terbaru, selain di El Geneina, kejadian serupa juga terjadi di tempat lain di Sudan, yaitu di Graida pada waktu hampir bersamaan.

UNAMIDKapten Novendi Simangunsong memberikan testimoni soal tugas sebagai pasukan UNAMID. (Foto: Tagar/Tito Sianipar)

Markas World Food Programme (WFP) yang ada di selatan Sudan itu diserbu dan dijarah massa dua hari berturut pada 19 dan 20 Juni. "Perilaku semacam ini tidak bisa diterima sama sekali, terutama terjadi pada misi kemanusiaan yang memberikan bantuan bagi mereka yang rentan," kata Gwi-Yeop Son, Koordinator Misi Kemanusiaan PBB di Sudan.

Soal pengalaman menjadi pasukan perdamaian, tentara Indonesia juga memiliki pengalaman manis. Satu di antaranya adalah bagaimana masyarakat lokal Sudan yang menerima kehadiran tentara Indonesia. "Mereka sangat bersahabat. Di mana pun kami patroli selalu diterima dengan baik," kata Kapten (P) Novendi Simangunsong.

Novendi bertugas sebagai penerjemah kontingen Garuda karena mahir berbahasa Arab. Perwira TNI Angkatan Laut ini berkisah bahwa masyarakat selalu menghampiri pasukan Indonesia ketika berpatroli. "Mereka biasanya mendatangi kami sambil bilang, 'cup cup'," kata Novendi.

'Cup cup' yang dimaksud adalah ungkapan untuk meminta makanan pada pasukan perdamaian. "Karena memang kami punya makanan, kami sering membaginya ke warga lokal," ujar Novendi yang sehari-hari berugas di Pangkalan Utama TNI AL Belawan, Sumatera Utara. Berdasarkan kesaksian warga, cuma tentara Indonesia yang mau dan sering membagikan makanan seperti itu.

UNAMIDSebanyak 29 personel pasukan UNAMID XXXV-D Indonesia berfoto dengan duta besar di KBRI Addis Ababa. (Foto: Tagar/Tito Sianipar)

Selama bertugas di Sudan, salah satu yang membuat para prajurit sedih adalah karena harus meninggalkan keluarga, orang tua, maupun sanak famili lain di Indonesia. Mayor Arifin punya kisah sendiri.

Pria lulusan Akademi Militer ini sejatinya berharap bisa menemani istri saat melahirkan anak ketiga. Soalnya ketika anak pertama dan kedua lahir, ia berhalangan karena bertugas sebagai prajurit TNI. "Besar harapan saya bisa mendampingi istri untuk anak ketiga," kata Arifin.

Namun harapan itu tetap tidak bisa terwujud. Panggilan untuk bertugas sebagai pasukan UNAMID ia terima pada awal 2018 ketika usia kandungan istri memasuki bulan kedua. "Ternyata anak ketiga juga tidak bisa (mendampingi)," ujarnya.

Akhirnya anak ketiga Arifin sama seperti kakak-kakaknya: tak didampingi ayah ketika lahir. Kali ini Arifin sedang menjalankan misi perdamaian PBB di Darfur, Sudan. Sebagai pasangan prajurit TNI, kata Arifin, istrinya sebenarnya sudah paham bahwa akan sering ditinggal tugas. "Sebenarnya sedih ditinggal. Tapi sudah risiko," ujarnya.

Kini semua kesedihan dan kisah-kisah pahit itu sudah sirna. Yang hadir di Addis Ababa adalah wajah-wajah ceria para prajurit yang segera berkumpul kembali dengan keluarga dan kerabatnya. Senyum mereka mengembang. Tak ada lagi gurun tandus dan kepanasan karena menjalankan patroli keamanan UNAMID.

Seusai acara di KBRI Addis Ababa, penulis meriung bersama beberapa prajurit. Saya membagikan rokok kretek produk Indonesia kepada para prajurit yang perokok. Satu di antara mereka berujar, "Sudah terasa ini di Indonesia-nya." Disambut tawa rekan-rekan nya.

Muka mereka memancarkan senyum bahagia sambil mengisap kretek di Addis Ababa. "Sudah setahun lebih nih puasa kretek," ucap prajurit lain. Mereka berterima kasih untuk kretek tersebut sembari berpamitan. "Sampai jumpa di Tanah Air, Bang," ujar seorang prajurit. []

Berita terkait