Kharisma Keraton Jogja pada Abad Modern

Bagaimana kharisma Keraton Jogja pada abad modern ini?
Naik Tahta: KGPH Mangkubumi dinobatkan sebagai Sri Sultan HB X, Raja Keraton Yogyakarta pada 7 Maret 1989. Tepat 30 tahun naik tahta, Keraton Yogyakarta menggelar acara mangayubagya Sri Sultan HB X. (Foto: Dok Keraton Yogyakarta/Ridwan Anshori)

Yogyakarta, (Tagar 7/3/2019) - Tanggal 7 Maret, 30 tahun yang lalu, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X naik tahta. Menjadi raja memimpin Keraton Yogyakarta Hadiningrat, menggantikan ayahnya Sri Sultan HB IX.

Keraton Yogyakarta pun menggelar serangkaian acara untuk memperingati 30 tahun Sultan bertakhta. Acara itu bertajuk Tingalan Jumenengan Dalem, yang puncaknya dihelat selama tiga hari, 5-7 Maret 2019 ini.

Seluruh abdi dalem Keraton yang berjumlah ribuan itu sudah menyiapkan segala sesuatu untuk gelaran akbar itu. Tentunya acara dikemas dengan unsur tradisi dan budaya Keraton yang kental. Rakyat Yogyakarta, maupun wisatawan dari daerah lain sudah menunggu momen ini.

Abdi dalem yang akan membawakan Beksan Lawung Agung, atau tarian kolosal untuk memperingati mangayubagya 30 tahun Sri Sultan HB X bertahta juga sudah intensif latihan. Memadukan gerak kolektif dan persiapan stamina atau fisik. "Latihan intens, termasuk outbound untuk persiapan fisik," kata Danumerta, abdi dalem Keraton.

Keraton Yogyakarta ingin menyuguhkan sesuatu yang istimewa bagi rakyatnya, bahkan dunia internasional. Dalam tingalan jumenengan dalem ini, sejumlah dubes rencananya akan hadir, peneliti internasional juga menjadi pemateri dalam simposium tentang seluk beluk Keraton Yogyakarta dan peradabannya.

Menurut Danu, sapaan akrab abdi dalem, Keraton Yogyakarta selama ini masih menjadi magnet budaya Mataram khususnya Jawa. Banyak tradisi dan adat istiadat Keraton yang masih tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat Jawa. "Banyak orang bilang, Keraton masih menjadi pusat budaya Jawa," kata dia.

Artinya, kata dia, pengaruh Keraton masih sangat kuat di masyarakat, meski arus modernisasi sangat kencang. Tata perilaku dalam pergaulan keseharian di Yogyakarta masih terlihat kearifan lokalnya. "Ini berbeda dengan daerah lain, di mana tepo seliro, tata krama, berucap krama inggil (bahasa Jawa halus) masih sering dijumpai," paparnya.

Sutarmono, warga Pringgokusuman, Yogyakarta, mengungkapkan, pengaruh Keraton Yogyakarta masih sangat kuat. Tidak hanya adat dan budayanya, tetapi sosok di lingkungan keraton apalagi di istana masih kuat pengaruhnya. "Ini bukan karena raja yang bertahta sekaligus sebagai gubernur," kata dia.

Dia mencontohkan, sosok di dalam istana yang masih berpengaruh kuat di tengah masyarakat Yogyakarta adalah Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas. Istri raja ini sudah terpilih sebagai anggota DPD RI tiga kali berturut-turut dengan perolehan suara yang bombastis.

"Sulit mengalahkan perolehan suaranya, meski beliau (GKR Hemas) tidak kampanye sekali pun," anggota tim sukses salah satu calon DPD RI ini.

Sebagai gambaran, pada Pemilu 2014 lalu, sekitar 2 juta suara yang masuk, GKR Hemas memperoleh 1.017.686 suara. Dengan kata, lain, permaisuri Keraton Yogyakartaa ini mendulang lebih dari setengah dari total suara yang masuk atau 50,59 persen.

Sedangkan empat tahun gelaran Pemilu sebelumnya, perolehan suara GKR Hemas juga lebih dari total suara yang masuk. Dari total 1.789.089 pemilih, GKR Hemas memborong 941.153 suara.

Keraton JogjaNgubluk Apeman: Permaisuri Keraton Yogyakarta GKR Hemas saat ngubluk apeman yang merupakan rangkaian dari acara tingalan jumenengan dalem. (Foto: Dok Keraton Yogyakarta/Ridwan Anshori)

Dosen Filsafat Budaya Mataram Universitas Widya Mataram Yogyakarta, Heru Wahyu Kismoyo mengatakan Sultan yang bertahta maupun entitas Keraton Yogyakarta, saat ini masih sebagai simbol identitas, sekaligus entitas peradaban budaya adiluhung Yogyakarta. Hal itu bisa dilihat oleh masyarakat dalam dua perspektif.

"Pertama, secara personal atau sosok yang bertahta. Kedua, secara institutional atau kelembagaan tempat seseorang mengemban tahta atau amanat," jelasnya.

Heru secara khusus menyoroti Sultan HB X dalam dua periodeisasi. Pertama, fase paugeran adat. Periode ini masih bertumpu pada satu kesatuan entitas sekaligus identitas kesultanan Yogyakarta dengan Sultan Hamengku Buwono X sesuai paugeran adat. "Periode ini berlaku sejak 7 Maret 1989 Sampai 30 April 2015," katanya.

Menurut dia, sejak naik tahta 7 Maret 1989, Sultan HB X masih seusuai dengan paugeran adat Keraton yang sudah berlangsung selama ratusan tahun dengan gelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjueng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurakhman Sayidina Panatagama Khalifatullah.

Gelar Sultan HB X ini juga tercantum di dalam Undang-Undang nomor 13/2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta, pasal 1 ayat 4. Raja Keraton yang bertahta dengan gelar tersebut otomatis sebagai gubernur DIY.

Periodesasi kedua, yakni fase di mana Sri Sultan HB X, keluar dari paugeran adat dengan gelar baru, yakni Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati Ing Ngalogo Langgeng ing Bawono Langgeng, Langgeng ing Tata Panatagama. "Itu berlangsung sejak 30 April sampai sekarang," kata dia.

Pada 30 April 2015 tak lain merupakan momen di saat Sri Sultan HB X mengeluarkan sabda raja di Siti Hinggil Keraton Yogayakarta. Salah satu inti sarinya adalah mengubah nama dan gelarnya. Isi dari sabda raja tersebut adalah:

"Gusti Allah, Gusti Agung, Kuoso Cipto paringono siro kabeh adiningsun, sederek dalem, sentono dalem lan abdi dalem nompo welinge dawuh Gusti Allah, Gusti Agung, Kuoso Cipto lan romo ningsun eyang-eyang ingsun, poro leluhur Mataram wiwit waktu iki ingsun nompo dawuh kanugrahan dawuh Gusti Allah, Gusti Agung, Kuoso Cipto asmo kelenggahan ingsun Ngarso Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Surya ning Mataram, Senopati ing Kalogo, Langenging Bawono Langgeng, Langgeng ing Toto Panotogomo. Sabdo Rojo iki perlu dimangerteni diugemi lan ditindakake yo mengkono sabdo ingsun"

"Tuhan Allah, Tuhan Agung, Maha Pencipta, ketahuilah para adik-adik, saudara, keluarga di Keraton dan abdi dalem, saya menerima perintah dari Allah, ayah saya, nenek moyang saya dan para leluhur Mataram, mulai saat ini saya bernama Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Surya ning Mataram, Senopati ing Kalogo, Langenging Bawono Langgeng, Langgeng ing Toto Panotogomo. Sabda Raja ini perlu dimengerti, dihayati dan dilaksanakan seperti itu sabda saya".

Menurut Heru, masyarakat DIY dan luar DIY tentu memiliki perspektif masing masing dalam melihat reputasi seorang Sultan yang bertahta di era modern ini. "Namun, Kasultanan Yogyakarta sebagai mata rantai terakhir peradaban nusantara, akan semakin berkharisma jika mampu mempertahankan entitas sekaligus identitasnya sebagaimana didirikan oleh para leluhur Mataram , sejak Sri Sultan HB I sampai Sri Sultan HB IX," paparnya. []

Berita terkait
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.