Ketika Soeharto Akhirnya Jatuh Juga (Bagian 1)

Ketika Soeharto akhirnya jatuh juga. Tiba-tiba dia mengeluarkan pengumuman singkat. Hanya selama sekitar tiga menit. Dia menyatakan mundur, sesuatu yang tak pernah diduga sebelumnya.
Presiden Soerhato mengumumkan mundur. (Foto: Ist)

Jakarta, (Tagar 22/5/2018) – Suasana di Istana Merdeka, Jakarta Pusat pada 21 Mei 1998 terasa agak lain. Muka puluhan orang yang hadir tampak tegang.

Para wartawan yang tergabung dalam Wartawan Kelompok Sekretariat Negara alias KS, hari itu sudah diingatkan untuk meliput acara sangat penting, walaupun tak jelas apa yang disebut acara "sangat penting" itu.

Hari itu Presiden Soeharto telah hadir. Di Istana Merdeka tampak pula putri tertuanya Siti Hardiyanti Indra Rukmana alias Mbak Tutut, Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, serta Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Jenderal TNI Wiranto, bersama beberapa pembantu terdekat jenderal berbintang lima itu.

Saat itu, Soeharto tiba-tiba mengeluarkan pengumuman singkat hanya selama sekitar tiga menit. Dia menyatakan mundur dari jabatannya, sesuatu hal yang tak pernah diduga sebelumnya.

Wapres Habibie yang baru menjadi orang kedua dalam pemerintahan sejak sidang MPR pada bulan Oktober tahun 1997 secara otomatis menjadi Kepala Negara.

Sambil digandeng Tutut, Pak Harto kemudian meninggalkan Istana Merdeka untuk pulang ke rumahnya di Jalan Cendana Nomor 6-8 Jakarta Pusat. Anehkah suasana ini?

Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun menggantikan Presiden Pertama Soekarno tentu tidak luput dari berbagai kritik, bahkan kecaman terutama dalam beberapa tahun terakhir pemerintahannya saat itu.

Sebut saja, dia dikatakan sebagai penguasa otoriter. Soeharto puluhan tahun menjadi presiden tanpa putus-putusnya. Sedangkan wakil presidennya sudah berganti-ganti seperti Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, hingga Try Sutrisno.

Saat itu Soeharto dianggap sangat membatasi kehadiran partai politik karena hanya ada Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Golkar yang saat itu tidak disebut sebagai sebuah partai.

Selain itu, kaum "oposisi" acapkali menuduh Soeharto sebagai pemimpin yang tak mau memerhatikan aspirasi orang banyak, misalnya dengan membangun proyek mercusuar Taman Mini Indonesia Indah alias TMII yang menggusur lahan puluhan warga setempat serta mendirikan Rumah Sakit Kanker Dharmais di Jakarta Barat.

Beberapa bulan sebelumnya kejatuhan Soeharto sudah bisa diduga. Misalnya beberapa bulan sebelum turun dari singgasananya, saat melakukan kunjungan kenegaraan ke Mesir, Soeharto bertemu dengan warga Indonesia yang tinggal di Kairo dan sekitarnya.

Saat itu Soeharto menyatakan, dia sudah siap mundur dari kursi kepresidenan asalkan sesuai peraturan perundangan. Seorang wartawan yang ikut ke Mesir langsung membuat berita tersebut sehingga suratkabar terkemuka di Tanah Air keesokan harinya langsung menurunkan berita dengan judul "Soeharto Siap Mundur".

Berita itu mendapat perhatian luas dari kelompok-kelompok penentang Soeharto, apalagi ucapan tersebut muncul dari mulut Soeharto sendiri.

Gara-gara menulis berita itu, di kalangan wartawan yang sedang mengikuti kunjungan kenegaraan Soeharto tersebut, muncul lelucon atau canda atau bahkan "desas-desus" bahwa wartawan yang menulis berita itu akan "dilempar" atau "didorong" dari pesawat PT Garuda Indonesia yang akan membawa pulang rombongan RI.

Tiba di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, suasana tegang amat terasa lantaran pada siang harinya telah terjadi unjuk rasa besar-besaran di Jakarta. Bahkan pada saat seluruh rombongan pulang, di jalan-jalan terlihat bekas-bekas kerusuhan seperti mobil yang habis terbakar atau toko serta rumah yang dirusak oleh para pengunjuk rasa.

Selain karena Soeharto sudah berkuasa selama 32 tahun, yang dianggap terlalu lama, ternyata juga ada beberapa faktor lain yang mengakibatkan dia jatuh dari kursi empuknya.

Harmoko yang telah berulang kali menjadi menteri penerangan hingga dikenal sebagai pengikut setia Soeharto misalnya, tiba-tiba menunjukkan sikap mendesak sang jenderal untuk mundur.

Perubahan sikap Harmoko dan beberapa menteri dan pejabat tinggi lainnya yang selama itu dikenal sebagai orang-orang terdekat di "ring satu" kemudian berubah sikap, mendesak Soeharto untuk turun ternyata semakin menambah semangat warga untuk melakukan atau menerapkan era reformasi.

Akhirnya Soeharto jatuh juga. Suasana keterbukaan mulai terasa di lingkungan Istana Kepresidenan, apalagi Presiden BJ Habibie sudah puluhan tahun hidup di luar negeri khususnya di Jerman yang menerapkan sistem demokratis sehingga ahli konstruksi pesawat itu sudah terbiasa hidup dalam susana keterbukaan.

Selama 1,5 Tahun

Salah satu kelebihan atau kehebatan Habibie adalah walaupun dia hanya berkuasa sekitar 1,5 tahun hingga Oktober 1999, dia berhasil memulihkan kepercayaan dunia luar terhadap situasi poltik domestik.

Sejumlah tokoh pejabat asing berdatangan ke Jakarta untuk memperlihatkan bahwa negara-negara mereka kembli mendukung penuh pemerintah Indonesia. Sejumlah pengusaha asing pun berjanji berinvestasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selain itu, Habibie juga berkeliling ke berbagai daerah, menunjukkan bahwa pemerintah Jakarta ingin menenangkan serta memulihkan kehidupan sehari-hari masyarakat terutama dalam bidang ekonomi.

Sebelum menjadi Wakil Presiden, Habibie sudah memiliki setumpuk jabatan seperti Menteri Ristek serta Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Direktur Utama PT PAL Surabaya, Direktur Utama Industri Pesawat Terbang Nusantara alias IPTN, Direktur Utama PT Pindad, serta jabatan strategis lainnya.

Karena itu, dia dikenal sebagai pejabat tinggi yang "cuma" mengenal atau "menguasai" jalan dari rumahnya di Patra Kuningan-MH Thamrin-Medan Merdeka Selatan-Medan Merdeka Utara Jakarta Pusat serta terbang ke Bandung dan Surabaya untuk meninjau industri-industri strategis yang dipimpinnya.

Karena itu, ketika suatu hari datang ke Pasar Glodok, Jakarta Pusat yang ikut dijarah untuk meninjau suasana di sana, sambil berguyon kepada para wartawan dia berujar, "Kalau saya dibawa ke sini oleh orang yang tak dikenal, maka saya pasti tak tahu jalan pulang".

Habibie pun pernah mendatangi beberapa kota untuk melihat situasi perekonomian seperti Kota Malang, Jawa Timur. Sebagai seorang menteri alias pejabat tinggi, pasti Habibie tak pernah merasakan suasana sumpek, semrawut dan riuh-rendah pasar tradisional rakyat.

Jatuhnya pemerintahan Soeharto harus diakui telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial politik.

Jika dulu, ABRI mempunyai dua atau dwifungsi ABRI, sebagai kekuatan pertahanan dan sosial poltik maka kemudian TNI hanya berperan sebagai kekuatan pertahanan. Sedangkan fungsi keamanan diserahkan ke Kepolisian Republik Indonesia.

Selain itu, kehidupan pers yang dahulu dikendalikan melalui surat izin usaha penerbitan pers atau SIUPP kemudian bebas tanpa ada kewajiban memiliki surat izin apa pun juga. Bahkan setiap orang kini bisa mendirikan media online, media sosial tanpa takut "dibredel" kecuali jika membahayakan keamanan umum serta NKRI.

Jatuhnya Soeharto tentu tak bisa dilepaskan dari kesalahan, kekhilafan pemerintahan di era Orde Baru itu.

Karena itu, setelah masa pemerintahan Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono serta kini Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Mohammad Jusuf Kalla dan presiden di masa mendatang, --siapa pun orangnya, maka bangsa Indonesia jangan lagi melakukan kesalahan-kesalahan yang sama.

Indonesia harus semakin atau kian maju dan jangan malahan sebaliknya apalagi banyak orang Indonesia yang pintar alias pandai sehingga pasti didambakan presiden, wakil presiden serta semua pemimpin yang sadar bahwa tugas mereka adalah mengabdi dan melayani rakyat Indonesia. (Arnaz Firman/ant/yps)

Berita terkait