Keraton Jogja: Kenapa Raja yang Bertahta Otomatis Gubernur?

Bagaimana cerita di balik tradisi Jogja, raja yang bertahta otomatis menjabat Gubernur?
Larung: Tradisi larung ke Pantai Parangkusumo dan Gunung Merapi terus dilakukan Keraton Yogyakarta sampai saat ini. (Foto: Dok Keraton Yogyakarta/Ridwan Anshori)

Yogyakarta, (Tagar 7/3/2019) - Keraton Yogyakarta lahir sebelum republik ini ada. Dia lahir saat Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, momen dimana Kasultanan Mataram terbagi menjadi dua bagian, Kasultanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi merupakan raja pertama yang bertahta di Kasultanan Yogyakarta.

Dalam referensi, Pangeran Mangkubumi disebut sebagai pendiri Kasultanan Yogyakarta atau raja pertama yang bertahta dengan nama dan gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah di atas separuh dari Kerajaan Mataram.

Dalam Perjanjian Giyanti tersebut, Pangeran Mangkubumi juga mendapatkan hak turun temurun atas tahta kepada pewarisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.

Nama dan gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah itu dipakai sejak Sri Sultan HB I sampai Sri Sultan HB X. Namun, Sri Sultan HB X mengubahnya melalui Sabda Raja pada 30 April 2015.

Nama Sultan yang bertahta berganti dari Hamengku Buwono menjadi Hamengku Bawono. Gelar Sultan berganti dari Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjueng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurakhman Sayidina Panatagama Khalifatulla.

Berganti menjadi Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Surya ning Mataram, Senopati ing Kalogo, Langenging Bawono Langgeng, Langgeng ing Toto Panotogomo.

Nama dan gelar sebelum Sabda Raja yang dikumandangkan oleh Sultan HB X tersebut, tertuang dalam Undang-undang 13/2012 tentang Keistimewaan DIY. Raja yang bertahta dengan gelar tersebut otomatis sebagai Gubernur DIY, Adipati Pakualaman yang bertahta otomatis sebagai Wakil Gubernur DIY.

Hak keistimewaan Yogyakarta lainnya, mendapatkan anggaran khusus dari pusat atau APBN sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Selama UU Keistimewaan ada, selama itu pula anggaran tersebut mengalir untuk Yogyakarta.

Keraton JogjaAbdi dalem: Para abdi dalem, selain melayani keraton juga bertugas membawa dan mengajarkan seni dan budaya Keraton di tengah-tengah masyarakat. (Foto: Dok Keraton Yogyakarta/Ridwan Anshori)

Dana itu bernama Dana Keistimewaan. Dikucurkan sejak sejak 2012. Nominalnya tiap tahun bertambah. Awal 2012 setengah triliun rupiah, pada 2018 menembus satu trilun.

Banyak pertanyaan muncul, sejak Sri Sultan HB X mengeluarkan Sabda Raja pada 30 April 2015, masih relevenkah dengan raja yang bertahta sekaligus Gubernur DIY?

Raja sebagai Gubernur DIY adalah konsekuensi logis sebagai Daerah Istimewa yang bersifat kerajaan. Selama Sultan yang bertahta sesuai paugeran adat, maka jabatan Gubernur DIY adalah hak Sultan

Terlebih setelah Sri Sultan HB X pada 5 Mei 2015 mengeluarkan Dawuh Raja berisi penggantian putri tertua Sri Sultan HB X, GKR Pembayun berganti menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawano Langgeng Ing Mataram.

Saat itu, publik maupun kerabat Keraton bertanya-tanya, Dawuh Raja ini bagian dari pengangkatan putri tertua diangkat sebagai putri mahkota penerus tahta. Benarkah Kasultanan Yogyakarta yang sangat patriarki tidak lagi dipimpin oleh raja, tetapi oleh ratu?

Ini menjadi polemik berkepanjangan. Adik-adik Sultan HB X atau para pangeran menolaknya. Mereka kompak beranggapan, Sabda Raja dan Dawuh Raja Sri Sultan HB X sudah keluar dari paugeran Keraton yang sudah lestari selama ratusan tahun.

Saat itu, Penghageng Tepas Dwara Pura Karaton Keraton Yogyakarta, KRT Jatiningrat menegaskan, paugeran Keraton Yogyakarta sudah jelas, Sultan yang bertahta harus laki-laki. Sultan itu maskulin.

Dosen Fisipol UGM Bayu Dardias Kurniadi mengatakan dua momen Sabdatama dan Dawuhraja menunjukkan Sultan sedang berupaya memuluskan pewaris tahta dari keturunan biologisnya. "Itu akan berdampak luas," kata dia.

Keraton JogjaNaik Tahta: KGPH Mangkubumi dinobatkan sebagai Sri Sultan HB X, Raja Keraton Yogyakarta pada 7 Maret 1989. Tepat 30 tahun naik tahta, Keraton Yogyakarta menggelar acara mangayubagya Sri Sultan HB X. (Foto: Dok Keraton Yogyakarta/Ridwan Anshori)

Sementara Dosen Filsafat Budaya Mataram Universitas Widya Mataram Yogyakarta, Heru Wahyukismoyo mengatakan, Kasultanan Yogyakarta itu nas-nya adalah laki-laki. "Karena menggunakan prinsip-prinsip imammah, sesuai nama, gelar, kedudukan seorang Sultan sejak Perjanjian Giyanti 1755 sampai dengan Piagam Kedudukan 1945," jelasnya.

Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945, Sri Sultan HB IX menguatkan melalui Dawuh Dalem 01/dd-hbx/1998, bahwa Kasultanan Yogyakarta sebagai pancering budaya Jawa berdasarkan Quran Hadits. "Di sana tertulis nama Ngarso Dalem secara lengkap dan negeri dalem secara lengkap sebagai landasan yuridis antara lembaga Kasultanan dengan lembaga negara," jelasnya.

Menurut dia, di internal Keraton Yogyakarta sudah ada landasan baku, yaitu paugeran adat, musyawarah adat dan ahli waris penerus Kasultanan Yogyakarta. Dengan kata lain, sejak Sabda Raja 30 April 2015, sebenarnya secara de jure terjadi kekosongan Sultan HB X karena berganti nama dan gelar.

Heru menjelaskan, raja sebagai Gubernur DIY adalah konsekwensi logis sebagai Daerah Istimewa yang bersifat kerajaan. Selama Sultan yang bertahta sesuai paugeran adat, maka jabatan Gubernur DIY adalah hak Sultan.

Namun, kata dia, jika Sultan/Adipati keluar dari pakem paugeran adat, maka rakyat melalui DPRD DIY dan pusat (DPR RI dan Presiden) dapat mencabut UU Keistimewaan Yogyakarta. Sehingga, siapa saja bisa menjadi gubernur/wagub Provinsi DIY seperti provinsi lain pada umumnya di Indonesia. "Yogyakarta istimewa karena paugeran adatnya, kalau paugeran adat dilanggar maka hilang sifat kerajaannya," tegasnya.

Banyak pihak menilai, jika raja yang bertahta otomatis Gubernur DIY terus berlanjut, maka perlu melakukan judicial review UU Keistimewaan Yogyakarta. Pasalnya dalam UU Keistimewaan Yogyakarta tersebut sudah "mengunci" Gubernur DIY adalah raja yang bertahta adalah nama dan gelar seperti paugeran adat sejak ratusan tahun lalu. Bukan nama dan gelar seperti dalam Sabda Raja dari Sri Sultan HB X pada 30 April 2015. []

Berita terkait
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.