Kembang Api: Lain Dulu Lain Sekarang

Kembang api dan petasan dipercaya oleh masyarakat Cina abad ke-9 sebagai medium ritual pengusir roh jahat.
Kembang Api. (Foto: Istimewa)

Jakarta, (Tagar 31/12/2018) - Gumpalan asap pipih terbang melesat ke langit, meletupkan semburat kilau warna-warni cahaya, hiasi malam pergantian tahun di berbagai kota di dunia. 

Hanya dalam hitungan jam, semua orang akan merayakan datangnya tahun 2019. Tak lupa berpesta ria menyalakan kembang api. Gambaran kebahagiaan menyambut datangnya tahun yang baru guna merefleksikan kebahagiaan mereka menyongsong tahun yang baru.

Dalam latar sejarah, kembang api dan petasan sejatinya diciptakan, serta dipercaya oleh masyarakat Cina abad ke-9 sebagai medium ritual pengusir roh jahat, diledakkan di dalam wadah bulat (bambu), dengan campuran bubuk mesiu berbahan dasar batu bara, potasium nitrat, dan sulfur.

Seiring dengan perkembangan industri serta perayaan kebudayaan di sana, medium bambu kemudian diganti dengan gulungan kertas yang dipasangi sumbu, dimutakhirkan kembali agar saat meletup dapat menyumbulkan warna-warni api yang beterbangan menghiasi udara.

Di China, untuk selanjutnya, kembang api tak lagi digunakan sebagai mediator pengusir roh jahat untuk hidup kekal abadi di dunia. 

Seiring perkembangan waktu, masyarakat di sana menggunakan kembang api sebagai alat mewarnai perayaan pesta pernikahan, pawai kemenangan perang, peristiwa gerhana bulan, upacara-upacara keagamaan hingga perayaan tahun baru Imlek atau tahun baru China.

Penjelajah asal Italia Marcopolo, diketahui berjasa mengembangkan penggunaan bubuk mesiu di daratan Eropa pada abad ke-13 sebagai bahan dasar amunisi perang yang diisikan pada senapan, meriam dan roket kembang api. 

Penggunaan mesiu pada akhirnya tidak digunakan untuk keperluan militer semata, namun digunakan pula sebagai hiasan yang mewarnai langit kelam pasca peristiwa perang.

Setelah Italia, Jerman lambat laun berkembang sebagai negara terbesar yang memproduksi kembang api hingga tersohor ke seantero tanah Eropa. 

Orang-orang di Barat konon bersepakat mempertahankan gagasan penemuan kembang api sebagai tanda hiburan dan hanya menggunakan kembang api selama perayaan dalam hari besar tertentu.

Mengutip Tempo, di Inggris, para penguasa menggunakan pertunjukan kembang api untuk menghibur pengikutnya. Pertunjukan kembang api kerajaan pertama diperkirakan terjadi pada hari pernikahan raja Inggris, Henry VII pada 1486. 

Tak mau kalah, kaisar Rusia pertama yang dijuluki Czar Peter the Great of Russia juga mengadakan pertunjukan kembang api selama 5 jam untuk menandai kelahiran putrinya.

Salah satu sumber lain mengemukakan bahwa para ahli kembang api pada akhirnya bisa membuat kembang api berwarna-warni, seperti merah, kuning, hijau, dan biru. 

Warna merah berasal dari strontium dan litium, warna kuning berasal dari natrium, warna hijau berasal dari barium, dan warna biru dari tembaga.

Kemudian, campuran bahan kimia itu dibentuk ke dalam kubus kecil-kecil
yang disebut star. Star inilah yang memantik warna dan bentuk bila kembang api itu meledak nantinya.

Seiring perkembangan kebudayaan di dunia modern, atraksi kembang api disulap menjadi sebuah upaya guna menggaet kunjungan wisatawan agar datang menyambangi negara-negara yang paling memesona dalam memeriahkan momen pergantian tahun.

Mayoritas masyarakat di seluruh dunia akan meramaikan momen tahun baru dengan menyalakan kembang api dengan konsep semegah mungkin, sekali lagi, adalah upaya wisatawan dari negara mana pun merayakan gemerlap kebahagiaan, tumpah ruah bersama di jalan, melantunkan harapan terbaik bersama-sama yang akan datang di tahun yang baru, agar hidup lebih baik dari tahun yang sebelumnya. []

Berita terkait
0
DPR Terbuka Menampung Kritik dan Saran untuk RKUHP
Arsul Sani mengungkapkan, RUU KUHP merupakan inisiatif Pemerintah. Karena itu, sesuai mekanisme pembentukan undang-undang.