Keluhkan Pengeras Suara Tidak Berarti Keluhkan Suara Azan

Keluhkan pengeras suara tidak berarti keluhkan suara azan. Permintaan mengecilkan volume azan bukan penistaan agama.
Keluhkan Pengeras Suara Tidak Berarti Keluhkan Suara Azan | Ilustrasi. (Malay Mail)

Jakarta, (Tagar 24/8/2018) - Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyatakan keprihatinan mendalam atas keputusan Pengadilan Negeri Sumatera Utara yang memvonis ibu rumah tangga di Tanjung Balai, Meiliana, dengan hukuman 18 bulan penjara.

"Keputusan pengadilan tersebut mencederai rasa keadilan dan kemanusiaan," kata Juru bicara PSI HM Guntur Romli dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Jumat (24/8) seperti dirilis Antara

PSI setuju bahwa di Indonesia, penghinaan dengan sengaja terhadap agama, apalagi yang dengan sengaja dilakukan untuk menimbulkan kebencian dan permusuhan antarumat beragama, harus dilarang.

Namun dalam kasus Meiliana, menurut dia, sulit sekali diterima argumentasi bahwa apa yang dilakukan ibu Meiliana adalah sesuatu yang menghina atau menodai agama.

"Ibu Meiliana hanya membandingkan suara pengeras suara dari masjid yang menurutnya lebih keras dari sebelumnya. Itu tentu saja bukan penghinaan atau penodaan. Mengeluhkan suara pengeras suara tidak berarti mengeluhkan suara azan," tegasnya.

Dia pun mengingatkan Kementerian Agama pada 1978 pernah mengeluarkan peraturan tentang penggunaan pengeras suara di masjid, langgar, dan musala, yang tidak pernah dicabut sampai sekarang.

Dinyatakan dalam peraturan tersebut, penggunaan pengeras suara tersebut harus ditata agar jangan sampai suara dari masjid justru menimbulkan antipati dan kejengkelan.

"Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) juga pernah mengeluhkan hal yang sama agar pengeras suara diatur sebaik-baiknya," ucap Guntur.

Oleh karena itu, DPP PSI menyatakan keprihatinannya atas keputusan Pengadilan Negeri Sumatera Utara memvonis terdakwa atas nama Meiliana penjara 18 bulan atas dasar tuduhan penodaan agama.

Pengadilan Negeri Tanjung Balai memvonis bersalah terdakwa kasus dugaan penistaan agama, Meiliana, dan menghukumnya dengan 18 bulan penjara.

Meiliana dianggap terbukti menghina agama Islam setelah mengeluhkan volume suara azan yang dinilainya terlalu keras.

Untuk itu pula PSI berharap pengajuan banding yang dilakukan tim penasihat hukum Meiliana dapat dikabulkan oleh pengadilan tinggi.

"Dan, Bu Meiliana dapat dilepaskan dari tahanan sampai turun keputusan hukum yang bersifat tetap dan mengikat," ujar Guntur Romli.

Jangan Sedikit-sedikit Penistaan Agama

Sehari sebelumnya Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) menyayangkan putusan Pengadilan Negeri Medan yang menjatuhkan vonis 18 bulan penjara terhadap Meiliana, ibu rumah tangga di Tanjung Balai, yang meminta suara azan di masjid dikecilkan.

"Kasus ini bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat," kata Sekretaris Umum Bamusi Nasyirul Falah Amru, di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis.

Sekretaris Umum Organisasi Sayap KeIslaman PDI Perjuangan ini berharap masyarakat tidak terprovokasi, serta lebih mengedepankan toleransi dan saling menghormati antarsesama warga negara yang berbeda keyakinan. 

"Tidak ada ruang untuk intoleransi di bumi Pancasila," kata Nasyirul Falah Amru yang akrab disapa Gus Falah.

Menurut Gus Falah, persoalan yang dialami Meiliana ini seharusnya bisa diselesaikan secara musyawarah dan kekeluargaan, bukan diselesaikan secara hukum, apalagi dengan delik pidana penistaan agama.

"Saya pikir apa yang dilakukan Ibu Meiliana dengan meminta mengecilkan volume azan bukan penistaan agama. Kalau memohonnya dengan baik, tentunya harus direspons dengan baik, bukan malah dibawa ke sentimen agama," ujarnya.

Anggota Komisi VII DPR RI ini menilai, vonis 18 bulan penjara tidak adil untuk Meiliana yang memohon agar volume suara azan dapat dikecilkan. 

"Permohonan Ibu Meiliana dilakukan dengan baik, bukannya dengan menantang. Ini bukan penistaan agama," katanya.

Gus Falah berharap, dalam proses banding nanti, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Sumatera Utara dapat lebih cermat dalam mempertimbangkan dan memutuskan. 

"Hakim harus berpihak pada keadilan yang substantif," ujarnya.

Wakil Bendahara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini juga berahap ke depan ada kajian hukum yang benar-benar bisa menjabarkan soal penistaan agama.

"Jangan sedikit-sedikit penistaan agama. Nanti ada masalah sedikit 'digoreng' jadi penistaan agama. Masyarakat kita kan sekarang lebih suka gorengan matang, mentahnya nggak ngerti, tapi matangnya dimakan juga," kata Gus Falah.

Gus Falah juga meminta nilai-nilai toleransi di bumi Pancasila ini tidak hanya jadi slogan dan meminta para elite untuk tidak memainkan sentimen agama demi ambisi atau kepentingan tertentu.

"Nilai-nilai Pancasila harus kita bumikan. Semua pihak harus dapat menahan diri demi keutuhan bangsa dan negara," ujarnya. []

Berita terkait