Kelompok Transgender India Tuntut Inklusivitas di Kepolisian

Dia masih berjuang untuk inklusivitas dalam kepolisian India terhadap kelompok transgender
Ilustrasi - Pasukan kepolisian di Nagpur, India, saat mengikuti parade Hari Republik pada 26 Januari 2020 (Foto: dw.com/id - Azhar Khan/NurPhoto/picture alliance)

TAGAR.id - Terlepas dari peraturan yang meminta lebih banyak pekerja transgender di layanan publik, rintangan birokrasi masih membuat banyak orang tak bisa mewujudkan mimpinya. Dharvi Vaid melaporkannya untuk DW.

Seorang transpuan asal India, Nikita Mukhydal, masih mengalami hari yang sulit. Pasalnya, dia masih berjuang untuk inklusivitas dalam kepolisian India terhadap kelompok transgender.

Menggunakan pakaian kamuflase, Nikita memimpin parade protes dengan sejumlah pihak lain dari komunitas transgender untuk menentang kebijakan persyaratan anggota kepolisian Maharashtra, India. Ini merupakan aksi protes keduanya dalam dua bulan belakangan.

"Hal ini selalu menjadi perjuangan untuk identitas gender," kata Nikita Mukhydal -yang diberi identitas laki-laki saat lahir, kepada DW.

"Saat umur saya sekitar 4 tahun, tingkah laku saya mulai terlihat seperti seorang perempuan. Saya nyaman menjadi seperti seorang perempuan. Tubuh saya yang melakukannya, membuat saya berjalan seperti perempuan, berbicara seperti perempuan," tambah dia. "Lingkungan menyebut saya berbeda."

Mukhydal menyadari bahwa keinginannya adalah menjadi seorang polisi, setelah dirinya bekerja sebagai seorang satuan pengaman (satpam). Dia mendaftar menjadi pasukan polisi Maharashtra pada tahun 2022, tetapi menyadari bahwa tidak ada pilihan gender ketiga. Sehingga, dia tidak diperbolehkan mendaftar menggunakan identitas gender perempuan.

Kemudian, Mukhydal dan sejumlah transgender lainnya mencoba pendekatan lewat pengadilan administratif. Sehingga, negara diperintahkan untuk membuat sebuah ketentuan untuk transgender dalam formulir pendaftaran.

"Departemen datang ke pengadilan untuk menentang keputusan itu dengan mengatakan bahwa kami tidak mampu untuk mengikuti proses perekrutan anggota polisi. Pengacara kami berargumen soal anggapan ketidakmampuan kami tanpa diperiksa dan tanpa mengikuti ujian fisik hingga tulis. Pengadilan tinggi memenangkan kami," jelas Nikita.

transgender india unjukrasaNikita Mukhydal (tengah, memegang pengeras suara) dan sejumlah aktivis transgender lainnya melakukan aksi protes di India (Foto: dw.com/id - Dharvi Vaid/DW)

Pelamar transgender hadapi banyak rintangan

Pada Desember 2022, kelompok transgender diperbolehkan untuk mengisi formulir pendaftaran. Hanya saja, prosesnya tidak semudah itu. Mukhydal menyebut kelompok transgender hanya diberi waktu untuk mengisi formulir selama lima hari.

"Terlepas dari itu, ada 73 transgender yang ikut mengisi formulir. Namun, semisal waktu pengisian diperpanjang menjadi sebulan, kemungkinan bakal ada 1000 pelamar transgender yang ikut mendaftar," papar dia.

Mereka diberikan waktu sekitar tiga bulan untuk mempersiapkan tes fisik.

"Sikap pemerintah masih negatif terhadap kami. Mereka telah menyimpulkan bahwa kami tidak punya kapabilitas," kata Nikita Mukhydal.

Mukhydal sendiri lulus dari tes fisik itu. Namun, dia merasa kecewa ketika mengetahui namanya beserta para pelamar transpuan lainnya dituliskan di kolom pelamar perempuan, meskipun telah menghabiskan banyak waktu dan tenaga agar jenis kelamin ketiga dapat dimasukkan dalam formulir.

Saat proses ujian tulis, kelompok transgender digabung dengan peserta laki-laki dan perempuan, yang mana mereka punya lebih banyak waktu untuk mempersiapkan diri.

"Kami didiskualifikasi karena kami tidak bisa berkompetisi dengan orang-orang di kategori umum," jelas dia.

Saat berusia 35 tahun, Mukhydal berada di ambang batas pencalonan anggota kepolisian Maharashtra. Dia yakin, kalau bukan karena rumitnya sistem birokrasi, dia bakal diterima menjadi anggota kepolisian. Meskipun demikian, hal ini tidak menyurutkan niatnya untuk mengkampanyekan hak-hak kelompok lain yang menghadapi persoalan serupa.

Pada tahun 2014, Pengadilan Tinggi India memerintahkan bahwa kelompok transgender bakal diberlakukan sebagai jenis kelamin ketiga.

Putusan itu juga memerintahkan negara untuk menyediakan sebuah kuota sebanyak satu persen untuk kelompok transgender agar diikutsertakan dalam pekerjaan dan pendidikan. Nilai persentase ini serupa dengan kelompok minoritas lainnya.

Oleh karena itu, kelompok transgender di seluruh India menuntut implementasi dari kuota satu persen ini. Hanya saja sejauh ini, hanya negara bagian selata, Karnataka, yang memberlakukan kuota satu persen untuk transgender ini di lingkup pekerjaan publik.

Polisi anti huru-hara IndiaPolisi anti huru-hara India tengah berjaga saat demonstrasi menentang Undang-Undang Pertanian di perbatasan Singhu, New Delhi, India, 30 Januari 2021 (Foto: dw.com/id - Adnan Abidi/REUTERS)

Para transgender termotivasi jadi pelayan publik

Pada negara bagian pusat, Chhattisgarh, sebanyak 13 transgender telah direkrut oleh kepolisian setempat pada tahun 2021. Sembilan orang transgender kini tergabung dalam unit pasukan khusus kepolisian Chhattisgarh. Mereka ditempatkan di daerah-daerah yang mengalami pemberontakan Maoist.

"Mereka menjalani pelatihan khusus perang umum. Mereka menjalaninya dengan cukup baik. Mereka termotivasi. Selain itu, semangat mereka cukup tinggi setelah bergabung dengan pasukan ini," kata Pejabat Senior Kepolisian Chhattisgarh yang tidak ingin disebutkan namanya, kepada DW.

"Keputusan ini membuat pasukan kepolisian menjadi lebih inklusif dan sensitif. Imparsialitas dan rasa sensitif lebih terlihat saat Anda melibatkan semua kelompok masyarakat," tambahnya.

Bahkan, pejabat senior ini menyebut departemen kepolisian juga menyambut baik para transgender ini di lingkungannya, meskipun ada pekerjaan tambahan yang harus dilakukan.

"Ketika Anda melibatkan gender ketiga, pasukan ini harusnya lebih sensitif sehingga tidak ada lagi diskriminasi antar sesama anggota. Semua pihak di anggota kepolisian juga merupakan bagian dari masyarakat, sama seperti kelompok gender ketiga. Sekarang, Anda berada di dalam satuan yang sama, Anda harus menjalankan tugas bersama bahu-membahu," tegasnya.

Meskipun dia mengklaim hingga saat ini belum ada keluhan, tetapi dia mengakui bakal ada komplikasi ke depannya.

"Ada sejumlah tantangan, contohnya pemisahan kamar kecil dan barak. Sampai sekarang, hal itu belum muncul, tetapi menurut saya hal-hal seperti ini jadi tantangan ke depannya. Sekarang, jumlah anggota polisi transgender masih sedikit, begitu jumlahnya bertambah, kemungkinan bakal ada tantangan seperti itu," terang pejabat senior ini.

Mukhydal meyakini saat kelompok transgender diikutsertakan dalam pemerintahan, nilai kesetaraan bakal muncul.

"Perubahan terbesar adalah kaum transgender dapat melepaskan diri dari pekerjaan mengemis dan menawarkan jasa seks. Ketika kami mendapat pekerjaan dari pemerintah, generasi masa depan kita akan melihat bahwa masih ada pilihan lain dan kehidupan yang lebih terhormat." pungkas Mukhydal. (mh/hp)/dw.com/id. []

Berita terkait
Transgender Bukan Orientasi Seksual
Ada salah kaprah di masyarakat tentang transgender. Mereka menyamakan transgender dengan orientasi seksual, padahal itu sama sekali tidak benar